Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengkaji Kebijakan Ekspor Benur Lobster

Selasa, 07 Juli 2020, 21:30 WIB
Mengkaji Kebijakan Ekspor Benur Lobster
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP) Efriza/Net
RESMI disahkan pada 4 Mei 2020 lalu, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) 12/2020 yang mengatur tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia beserta berbagai petunjuk teknis lainnya, masih menuai kontroversi hingga saat ini.

Peraturan ini digagas oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, untuk menggantikan Permen KP 56/2016 yang melarang ekspor benur lobster. Silang pendapat masih bermunculan, hingga menyembulkan pertanyaan, sejauhmana keuntungan buat nelayan di antara dua kebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut. Perdebatan ini perlu dikaji bersama.
 
Presiden Mendukung Permen KP Terbaru

Di tengah perdebatan itu, cukup menarik perhatian masyarakat adalah Susi Pudjiastusi, Menteri Kelatuan dan Perikanan periode lalu yang masih dianggap turut campur dalam diskursus ini. Ketika yang Kontra membangun asumsi didasari kekhawatiran bahwa keran ekspor dapat memicu over-exploitasi, juga dianggap berdampak buruk terhadap kelangsungan ekosistem laut dari keberadaan lobster tersebut.

Jika mengkaji kembali, Presiden Joko Widodo menyetujui untuk membuka kembali ekspor bibit lobster. Pola Pemerintahan dari Presiden Joko Widodo, menurut hemat penulis, selalu mengutamakan keseimbangan, seringkali variabel stabilitas pengambilan keputusan berbentuk segitiga dari keputusan tersebut. Dapat dikatakan pola segitiga dimaksud adalah segitiga stabilitas keputusan.

Maksudnya, jika ekspor bibit lobster diijinkan, menunjukkan, adanya keuntungan bagi pemerintah, keuntungan untuk nelayan, dan tetap terjaganya lingkungan.

Pola pengambilan kebijakan Presiden Joko Widodo berjalan selaras dengan perhitungan dan perincian dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Ekspor benur lobster akan menambah keuntungan yang didapatkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), nelayan pun mendapatkan keuntungan pemasukan keuangan dari menangkap benur lobster, dan tetap terjaganya lingkungan dan ekosistem laut.

Langkah yang dilakukan untuk memberikan keuntungan bagi nelayan sudah berulangkali disampaikan, pembukaan ekspor benur diperuntukkan untuk kehidupan nelayan yang penghasilannya dari menangkap benur, dengan diupayakan kembali pembukaan ekspor benur diharapkan membangkitkan geliat pembudidayaan lobster di berbagai daerah.

Merevisi Kebijakan dan Mengubah Hasil

Selama ini kebijakan yang didasari oleh Permen KP Nomor 56 terkait pelarangan ekspor benih lobster telah mengakibatkan pendapatan para nelayan terganggu, akhirnya kebijakan pelarangan ini menyebabkan nelayan nekat melanggar peraturan terkait dan berujung dipenjara.

Cerminan realitas yang terjadi di masyarakat menyebabkan regulasi yang lama memang patut direvisi. Semestinya nelayan memang yang diprioritaskan oleh pemerintah, melalui regulasi terbaru ini menguntungkan nelayan tangkap dan upaya membudidayakan lobster dalam menggiatkan perekonomian masyarakat, ini menunjukkan pemerintah telah hadir untuk nelayan.

Dengan ditetapkannya Permen KP 12/2020 pada 4 Mei lalu. Geliat sektor perdagangan dari ekspor dan budidaya lobster menyeruak, setidaknya KKP telah memberikan izin dan rekomendasi untuk 26 perusahaan yang berhasil menjadi eksportir benih lobster.

Menurut hemat penulis, yang juga menarik dan cerdas dilakukan oleh KKP adalah izin dan rekomendasi ini tidaklah dikeluarkan dengan cuma-cuma melainkan KKP meminta para eksportir tersebut harus melakukan budi daya lobster di dalam negeri dengan perincian sebesar 70 persen benih untuk budi daya dan 30 persen yang diekspor. Disisi lain, peranan perusahaan juga ditempatkan sebagai pengontrol ekspor benih lobster, selain diperinci mengenai teknis ekpor benih lobster terkait penangkapan benih lobster, pendaftaran eksportis, dan penetapan nelayan penangkap serta wilayah penangkapannya.

Merujuk kembali kepada pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh KKP, dengan melakukan revisi Permen KP. Menunjukkan bahwa dalam siklus pembuatan kebijakan, sebuah kebijakan baru dihasilkan berdasarkan oleh umpan-balik yang dilakukan oleh masyarakat atas implementasi dari kebijakan sebelumnya. Ini menunjukkan kebijakan yang lama, penuh kontroversi, menurut penulis kebijakan lama telah menempatkan negara dalam posisi bukan melayani masyarakat tetapi pemerintah dan masyarakat saling berhadapan berdasarkan pengaturan-pengaturan Permen KP Nomor 56 tersebut.

Wajar akhirnya, regulasi terbaru berupa Permen KP  12/2020, dianggap telah mengembalikan hak nelayan yang pernah terampas. Kebijakan ini juga menunjukkan bahwa nelayan yang semestinya dilindungi oleh pemerintah, bukan malah nelayan yang berurusan dengan pihak berwajib dikarenakan menangkap benih lobster, yang memang mata pencahariannya.

Bagi penulis, langkah merevisi sudah tepat dan juga pengaturan untuk impelementasi di lapangannya, artinya pola pengambilan kebijakan yang terbaru memang mengatur stabilitas pengambilan kebijakan seperti mengatur pola penangkapan, pengeluaran benih lobster, penentuan lokasi untuk pengembangbiakan benih lobster, perlindungan dan pemberdayaan nelayan, dan kontrol terhadap lingkungan mencakup kelestarian lingkungan dan ekosistem, semua harapan itu telah terpenuhi dalam peraturan dan turunannya berupa pengaturan teknis dilapangan.

Sejalan dengan realitas di lapangan, bagi penulis, keputusan untuk membuka ekspor benih lobster telah menunjukkan keseriusan pula dari pemerintah untuk tidak mengabaikan pembudidayaannya, eksportir pun yang telah mengantongi izin untuk mengekspor benih lobster tidak bisa sesuka hati langsung melakukan ekspor benih lobster, apalagi tanpa pembudidayaan benih lobster.

Ini menunjukkan bahwa kebijakan terbaru yang dikeluarkan oleh KKP telah memenuhi dan menghapus kekhawatiran dari masyarakat, sekaligus telah meluruskan polemik yang muncul, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah berhasil menterjemahkan model keseimbangan pengambilan keputusan yang disukai oleh Presiden Joko Widodo, ini menunjukkan pola variabel stabilitas yang dilakukan termuat dalam revisi Permen KP 12/2020, beberapa aspek keseimbangan dimaksud adalah keuntungan bagi negara, keuntungan bagi nelayan, dan lingkungan yang juga tetap terjaga. rmol news logo article

Efriza
Direktur Eksekutif Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA