Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menanti Godot Vaksin Dan Obat Covid-19

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/yudhi-hertanto-5'>YUDHI HERTANTO</a>
OLEH: YUDHI HERTANTO
  • Minggu, 05 Juli 2020, 06:06 WIB
Menanti Godot Vaksin Dan Obat Covid-19
Ilustrasi/Repro
MENUNGGU dan bersabar. Hanya itu pilihan yang tersedia, dalam upaya mengatasi pandemik. Tidak ada yang mampu memastikan sampai kapan durasi kedaruratan wabah ini akan berakhir.

Dalam ketidakpastian, selalu muncul harapan, untuk menjaga asa mencapai masa depan. Meski harapan yang berkepanjangan juga bisa menyebabkan kehilangan kesabaran.

Periode penantian atas yang belum kunjung datang rupa serta bentuknya itu, persis sebagaimana naskah drama Samuel Beckett, 'Waiting for Godot', 1953. Dalam kisah penantian absurd tersebut, Godot terus ditunggu para aktor, mesti tidak pernah memastikan kehadirannya.

Ilustrasi Godot sebagai pihak yang ditunggu, membangkitkan rasa penasaran, disimbolkan dalam narasi ex absentia, yakni keberadaan dari ketiadaan. Bahkan bisa jadi, Godot antara ada dan tiada, yang tersisa hanya keyakinan akan penantian.

Pandemik sebagai status problem kesehatan di tingkat global, yang disebabkan oleh jasad renik tak kasat mata Covid-19, mengilustrasikan hal serupa, khususnya dalam menanti ilmu pengetahuan untuk menjawab sekaligus memecahkan persoalan riil yang saat ini terjadi.

Problematika Kita

Sesungguhnya, dalam sejarah manusia wabah datang silih berganti, dan melalui rekonstruksi historis, kita memahami bahwa yang dicatat dalam momentum peradaban tersebut. Bukan hanya aspek terkait penanganan wabah, juga tentang perilaku manusia dalam menyikapinya.

Turbulensi akibat pandemik, tidak hanya menyoal aspek medis, tetapi juga menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia. Mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi, hingga relasi internasional. Termasuk hal teknis dan prinsip yang menyertai.

Pada persoalan medis, seluruh dunia tengah berlomba untuk menemukan penawar pandemik. Kombinasi obat dan vaksin, kini tengah diujicobakan sebagai kandidat melawan virus. Produsen farmasi internasional, sedang berkutat di laboratorium penelitian masing-masing.

Mungkinkah terlahir jawaban di sana? Seperti halnya pertanyaan, apakah Godot akan benar-benar hadir? Di sini letak soalnya terbentuk.

Pertama: wabah Covid-19 adalah bentuk baru, belum ada pengetahuan yang utuh tentang pandemik, meski dianggap merupakan mutasi dari berbagai virus influenza yang telah teridentifikasi, tetapi kita belum final memahaminya.

Kedua: membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk memastikan kombinasi obat maupun vaksin dalam kondisi yang siap dipergunakan. Penelitian ilmiah medis, mempersyaratkan protokol dalam tahapan ketat melalui pembuktian uji klinis.

Ketiga: terkait aspek ekonomi politik, atas hak paten serta hak eksklusif untuk produksi dan distribusi obat maupun vaksin, akan menjadi persoalan tambahan. Dalam aspek supply demand, kita akan melihat ketimpangan yang semakin nyata antarbangsa di dunia.

Jadi, obat dan vaksin ternyata bukanlah Godot yang dinantikan sebagai pemecah masalah. Justru terdapat peluang dalam menciptakan ruang permasalahan baru yang tidak kalah rumit. Meski begitu, ikhtiar menangkal wabah tetap wajib dilanjutkan.

Over Claim dan Efek Plasebo

Kini di tengah situasi penuh ketidakpastian, banyak pihak yang mengajukan berbagai alternatif bentuk maupun obat, sebagai alat penyembuh dari Covid-19. Mulai dari ramuan herbal, aromaterapi, hingga keberadaan kalung antivirus juga ditawarkan.

Jelas belum ada yang dapat membuktikan efektivitas kegunaannya. Selain itu, belum pula terdapat keterangan atas relasi ilmiah, dari berbagai hal tersebut sebagai basis bukti kemampuan mengatasi virus. Sangat mungkin terjadi over claim, dan hal itu dipercaya publik secara luas, terlebih bila mendapat over expose.

Pada situasi sedemikian, sebagian publik kemudian mengasumsikan dengan menggunakan perspektif berbeda secara terbalik. Sikap antipati terjadi, sebagai respons atas tindakan anti sains.

Keterlibatan perusahaan farmasi, hingga berbagai produsen dari produk yang dipercaya mujarab dalam menangkal Covid-19, dianggap sebagai rekayasa dan manipulasi yang di-setting bagi kepentingan korporasi. Tak ayal, skenario dalam teori konspirasi semakin berkembang menjadi cara berpikir anti mainstream.  

Kegagalan membangun rasa kepercayaan -trust, turut disebabkan kelemahan dalam melakukan pendekatan komunikasi, guna menyakinkan kesungguhan langkah dan tindakan yang sedang diambil oleh kekuasaan.

Sejalan dengan itu, over claim dengan tautan persuasi, dalam balut kepentingan ekonomi, menimbulkan apa yang disebut sebagai efek obat kosong -plasebo, yakni sebuah kondisi dimana dampak yang dihasilkan, justru terjadi sebagai akibat dari konsumsi informasi yang dipercaya, dan bukan disebabkan komposisi formula medis.

Solusi Kolaboratif

Wajah dunia di era pandemik akan berhadapan dengan sentimen nasionalisme yang sempit. Hal itu semakin menjelaskan tentang derajat yang tidak seimbang antarnegara. Negara maju sangat mungkin memiliki hak istimewa, dibanding negara berkembang dan terbelakang.

Semakin jelas, bahwa vaksin dan obat yang jika dikalkulasikan dalam kerangka komersial, akan memberi ruang terbuka bagi negara-negara kuat dalam kapasitas ekonomi, untuk memperolehnya terlebih dahulu, bahkan berhak memesan.

Situasi ini mengakibatkan semua negara sibuk mencoba mencari penawarnya sendiri-sendiri. Seolah tidak ada jalan lain. Sesungguhnya, dalam penanganan masalah kesehatan, merentang dari aspek preventif -pencegahan dengan menggunakan vaksin, aspek kuratif -pengobatan, hingga promotif -perubahan perilaku sehat.

Beradaptasi dengan perubahan, adalah mekanisme alamiah manusia. Tentu kategori new normal bisa diklasifikasikan dalam lingkup tersebut, meskipun usaha untuk terus mendapatkan vaksin dan obat tetap harus diupayakan.

Di bagian akhir, pandemik sesungguhnya memberikan ruang reflektif bagi kita, selain bersabar dan menunggu. Pandemik mengajarkan kita tentang membangun rasa kemanusiaan dari seluruh umat manusia, karena virus ini telah menjadi masalah global sekaligus ancaman bagi eksistensi manusia.

Mengutip dr Tedros Adhanom, selaku Direktur WHO, maka kontribusi terbesar guna menyelamatkan seluruh sejarah kehidupan manusia dari persoalan pandemik, akan sangat bergantung pada solidaritas dan kemampuan berkolaborasi. Termasuk menyoal kehendak berdisiplin, dan melepaskan beban stigma.

Dengan seluruh kemampuannya, manusia sejatinya tengah menanti Godot, yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kemampuan untuk memenangkan perang melawan pandemik, sesungguhnya akan terletak pada kemauan untuk mengenali dan mengembangkan sifat dasar kemanusiaan itu sendiri. rmol news logo article

Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA