Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Melawan Imperialisme Israel

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Kamis, 02 Juli 2020, 09:27 WIB
Melawan Imperialisme Israel
Ilustrasi/Net
MESKIPUN telah diurungkan, rencana Israel melakukan aneksasi terhadap sekitar 30 persen wilayah Tepi Barat Palestina pada 1 Juli 2020 kemarin telah mendapatkan dukungan kuat dari pemerintah Amerika Donald Trump. Ini catatan penting.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Persetujuan Amerika ini tidaklah mengejutkan karena sejak awal memang Trump mendorong Benyamin Netanyahu untuk meluaskan wilayah kekuasaan imperialistic terhadap Palestina. Duet Israel-Amerika ini memperjelas fakta bahwa spirit imperialisme abad XXI tidaklah surut.  

Ini jelas merupakan kejahatan hukum, politik, dan sekaligus kemanusiaan yang sangat gamblang.

Apa yang terjadi di Palestina memang tidak lagi bisa dianggap sebagai sengketa politik domestik yang selain melibatkan Israel sebagai aktor utama juga melibatkan berbagai kelompok politik misalnya Fatah-Hammas, Suni-Syiah, dan bahkan melibatkan negara-negara Liga Arab.

Apa yang terjadi di Palestina adalah pelanggaran sistemik terhadap kedaulatan dan kemerdekaan wilayah, pelanggaran berat HAM serta penghancuran kehidupan sosial ekonomi dan keamanan Palestina. Pelaku utamanya ialah Israel yang didukung oleh Amerika.

Resonansi isu ini sudah sangat terasa secara global dan mendorong keterlibatan banyak negara termasuk Indonesia dan badan-badan internasional. Jadi, problem utamanya ialah kedaulatan atau kemerdekaan rakyat Palestina yang diinjak-injak oleh invasi dan aneksasi Israel yang sudah terjadi bertahun-tahun dan rencananya akan disempurnakan dengan aneksasi 1 Juli.

Sekadar mengingatkan kembali bahwa upaya penyelesaian untuk menciptakan perdamaian sesungguhnya sudah berkali-kali dilakukan. Mandat Majelis Umum dan Dewan Kemananan PBB, misalnya, sudah menegaskan solusi yaitu “Two-State Solution”.

Lewat skema ini maka kedaulatan Palestina dan Israel dijamin dan keduanya bisa hidup berdampingan dengan damai. Dukungan internasional terhadap kedaulatan Palestina juga sudah ada. Antara lain pada 14 September 2015, sebanyak 136 negara dari 193 negara anggauta PBB telah mengakui Palestina.

Kemudian 9 dari 28 negara Uni Eropa juga mendukung Palestina. Bahkan, pada 29 November 2012, Palestina telah diterima sebagai ”nonmember observer state” melalui resolusi MU PBB di mana Indonesia termasuk co-sponsor pentingnya. Dan masih banyak bukti dukungan internasional terhadap Palestina.

Akan tapi semua dukungan, resolusi MU PBB, dan solusi "Two-State Solution" ini dirusak dan dikhianati oleh Amerika melalui hak vetonya dan ini semakin memperkeruh suasana Timur Tengah dan bahkan mengganggu harmoni hubungan-hubungan global.

Aneksasi 1 juli, dengan mengambil 30 hingga 40 persen wilayah Tepi Barat adalah kelanjutan dan upaya peneguhan spirit imperialistik Israel dan Amerika. Pemerintah Benyamin Netanyahu benar-benar bersikukuh untuk melakukan aneksasi meskipun ditolak oleh Palestina dan bahkan oleh masyarakat Internasional sekalipun.

Israel tampak menolak untuk melakukan kompromi. Dua negara ini benar-benar memanfaatkan situasi pandemik ini untuk melancarkan kejahatan hukum, politik, dan kemanusiaan.

Jika aneksasi ini benar-benar dilaksanakan maka negara Yahudi ini akan memperoleh “victory”. Tapi ini sekaligus menunjukkan dengan gamblang bahwa Israel dan Amerika sebetulnya adalah dua negara yang “pengecut” tak bernurani. Apa yang dilakukan oleh dua negara ini akan membuka pintu lebar bagi eskalasi politik global yang semakin tinggi dan akan mengganggu keamanan dan ketenteraman global.

Situasi Riil

Israel memang tak pernah berhenti untuk melancarkan invasi dan aneksasinya ke wilayah Tepi Barat, hingga akan menyempurnakannya pada 1 Juli. Penghancuran terhadap pemukiman, pengusiran penduduk, dan kemudian dibangun pemukiman baru bagi warga Yahudi sudah merupakan pemandangan sehari-hari dan berpotensi besar menyulut konflik.

Ditambah lagi dengan berbagai tindakan kekerasan yang dilancarkan terhadap orang-orang Palestina. Bahkan, Isreal telah mengesahkan undang-undang negara bangsa tahun 2018, dan undang-undang ini benar-benar menggambarkan secara jelas politik Apartheid Israel terhadap warga Palestina.

Di pihak lain, sejak 2018 pemerintah Trump secara bertahap menghapus lebih dari 200 juta dolar AS untuk proyek bantuan ekonomi Tepi Barat dan Gaza. Bahkan juga telah menghilangkan kontribusi tahunannya kepada badan bantuan dan pekerjaan PBB untuk pengungsi Palestina yang selama ini memberikan perawatan kesehatan, pendidikan dan layanan lainnya kepada pengungsi Palestina.

Diperkirakan ada 1 juta warga Palestina di Gaza yang terancam kelaparan. Tidak terlalu berlebihan untuk berpandangan bahwa tidak ada pemerintah AS yang menunjukkan kebencian dan permusuhan yang begitu terbuka terhadap rakyat Palestina dan merusak kehidupan secara sistemik kecuali pemerintah Trump.

Kesengsaraan massal ini diperburuk dengan serangan Covid-19. Di era pandemik ini tindakan kekerasan terhadap warga Palestina justru meningkat dan benar-benar memberikan ruang bagi pemerintah Israel untuk melakukan aneksasi wilayah Palestina di Tepi Barat.

Penggusuran atau penghancuran tempat tinggal, dan bahkan air, terus dilakukan dan ini menjadi titik rawan bagi proses penyebaran pandemik.
Oxfam menegaskan agar pemerintah Israel benar-benar menghentikan kebijakan dan langkah-langkah ilegal melawan hukum internasional karena ini sangat membahayakan penduduk Palestina terutama di masa pandemik. Tingkat kemiskinanpun di wilayah ini cenderung naik.

World Bank menyebutkan bahwa sebelum pandemik tingkat kemiskinan di Gaza mencapai 53 persen. Selama pandemik, angka ini mengalami lonjakan menjadi 64 persen. Jadi, pemerintah Israel memang benar-benar melakukan tindakan penghancuran terhadap warga Palestina sekaligus melakukan perlawanan terhadap upaya global mengatasi penyebaran pandemik.

Melawan Israel

Indonesia sudah menolak keras proposal aneksasi Israel ini. Berbagai upaya politik diplomasi memang sudah dimulai dan harus terus dilakukan untuk melawan tindakan Israel. Indonesia tidak mungkin melakukan upaya diplomatik dengan Isreal karena Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel.

Akan tetapi, berbagai cara bisa dilakukan. Antara lain melalui:

1. Jalur PBB dan forum bilateral atau multilateral lainnya. Negara-negara anggota OKI, juga bisa memanfatkan OKI untuk mengambil langkah-langkah taktis dan strategis melawan Isreal dan Amerika.

2. Pembicaraan dengan Amerika, sendiri atau bersama-sama dengan negara-negara lain yang telah menyatakan dukungan terhadap kedaulatan Palestina.

3. Tekanan publik. Dalam hal ini peran kekuatan civil society seperti ormas, pegiat HAM, pers, sangat penting untuk melakukan tekanan dengan cara-cara konstitusional kepada  Amerika.

Hal lain yang patut digarisbawahi di sini ialah bahwa isu Palestina ini bukanlah isu agama yaitu konflik antara Islam dengan Yahudi, akan tetapi isu kedaulatan dan kemanusiaan. Oleh karena itu Umat Islam Indonesia bisa  mengambil peran penting untuk melakukan tekanan kepada Amerika sebagai mitra baik Israel.

Secara proaktif kekuatan umat Islam membangun aliansi lintas agama untuk menekan Israel dan Amerika dan mendukung perdamaian secara penuh. Aliansi ini sekaligus juga mendorong agar negara-negara Timur Tengah atau Liga Arab khususnya “bersatu, tidak bercerai berai”.

Stop konflik Suni Syiah, stop konflik Fatah-Hamas, karena konflik-konflik ini justru akan menjadi amunisi bagi Israel dan Amerika untuk menghancurkan Palestina. Waktunya saat ini, meskipun di tengah kesulitan akibat pandemik, bahu membahu untuk melawan imperialisme Isreal Amerika.

Aneksasi 1 Juli Urung


Aneksasi yang seharusnya dilakukan pada 1 Juli kemarin urung dilakukan. Pemerintah Israel dan Amerika memang menghadapi banyak kecaman dan perlawanan dari banyak negara. Di kalangan internal Israel sendiri juga pecah, tidak sedikit masyarakat Yahudi mengecam rencana Aneksasi 1 Juli.

Jika ini dibiarkan, maka popularitas Benyamin Netanyahu akan ambrol karena aliansi masyarakat sipil akan terbentuk melawan Netanyahu. Faksi Hamas-Fatah pun telah siap bersatu menyerang Netanyahu.

Posisi Netanyahu satu minggu sebelum rencana aneksasi sudah mulai terjepit. Sementara Donald Trump yang sebetulnya sedang mulai kelelahan menghadapi ancaman kekalahan dalam Pemilu, memburuknya ekonomi akibat pandemik dan tekanan masyarakat luas sebagai akibat pembunuhan George Flyod, juga merasakan tekanan yang semakin kuat atas dukungannya terhadap aneksasi Israel.

Baik Netanyahu maupun Trump mulai merasakan kesendirian mereka. Seharusnya, situasi ini bisa dimanfaatkan untuk membangun dan memperkuat aliansi global lintas agama, profesi dan peradaban, serta berbagai kekuatan civil society lainnya untuk menghentikan segala bentuk penjajahan antara lain yang dilakukan oleh Israel.

Ini kesempatan OKI untuk segera melakukan konsolidasi menguatkan persatuan, menghentikan pertikaian khusunya yang terjadi di Timur Tengah. Liga Arab harus segera bersatu padu.

Bagi negara-negara anggota PBB, ini juga merupakan kesempatan untuk melakukan sidang bersepakat mengeluarkan Israel dari keanggotaannya di PBB, sebagaimana Maklumat MUI kemarin.

Jika diperlukan, hukuman lain kepada Israel dilakukan sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. Langkah ini perlu dilakukan karena Israel tampaknya memang tidak bisa dipercaya akan menghentikan semangat imperialistiknya. Wallahu a'lam. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri, Associate Professor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Wakil Ketua Majelis Dikti Litbang PP. Muhammadiyah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA