Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

RUU HIP Dan Ketahanan Ideologi Pancasila

Senin, 29 Juni 2020, 14:44 WIB
RUU HIP Dan Ketahanan Ideologi Pancasila
Ilustrasi Pancasila/Net
AKHIR-akhir ini, kita semua digegerkan dengan polemik mengenai pembahasan tentang  Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Rancangan Undang-undang yang merupakan usulan dari Fraksi PDI Perjuangan kemudian ditetapkan sebagai usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapatkan kritikan tajam dari berbagai pihak.

Setidaknya ada tiga organisasi keagamaan yang menilai bahwa RUU Haluan Ideologi Pancasila belum dibutuhkan. Tiga ormas tersebut antara lain, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pada draf RUU Haluan Ideologi Pancasila yang telah diajukan ke DPR, terdapat 10 bab yang ada di dalamnya. Dilihat dalam ketentuan umum RUU itu, Haluan Ideologi Pancasila dijelaskan sebagai sebuah pedoman bagi cipta, rasa, karsa, dan karya seluruh bangsa Indonesia dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan dan gotong royong untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi yang berkeadilan sosial.

Pada ketentuan umum itu, nampak terlihat semangat lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila didasarkan pada upaya untuk menginternalisasi nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Artinya menjadikan RUU haluan Ideologi Pancasila sebagai pedoman dalam pembangunan, baik itu sektor hukum, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, pertahanan dan keamanan.

Kontroversi kemudian muncul pada Pasal 7 ayat (2) tentang ‘ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan yang berkebudayaan’. Kemudian ayat (3) yang menyebutkan ‘Trisila yang dimaksud terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong’.  Pada Pasal tersebut tampak jelas memperlihatkan adanya dominasi tafsir Soekarnois dalam memaknai Pancasila.

Tak heran jika proses pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila mendapatkan sorotan dari berbagai kalangan, karena terkesan didominasi gagasan Pancasila yang pernah disampaikan oleh Soekarno, bukan merujuk pada Pancasila yang telah disepakati pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Selain itu, pada RUU Haluan Ideologi Pancasila tersebut juga tidak memasukkan tentang TAP MPRS 25/1966 tentang Pembubaran PKI. Hal inilah yang kemudian memunculkan spekulasi bahwa RUU ini sangat berbahaya dan dinilai memberikan ruang bangkitnya ideologi Komunis di Indonesia.

Belakangan, beberapa alasan itu yang menjadi dasar bagi pemerintah untuk meminta DPR menunda pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila.

Dalam konteks ini, muncul situasi dimana RUU Haluan Ideologi Pancasila tersebut harus mengakomodir secara subtansi tentang TAP MPRS 25/1966 tentang Pembubaran PKI. Desakan tersebut kemudian direspons oleh beberapa kalangan untuk memasukkan juga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menjadi dasar dalam pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Wacana memasukkan Perppu tersebut ke dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila karena organisasi HTI merupakan organisasi terlarang yang telah dibubarkan oleh pemerintah karena dinilai bertentangan dengan Pancasila.

Sementara, dari segi mekanisme pembuatan UU, pembahasan RUU HIP terkesan tertutup dan terburu-buru. Mengacu pada UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, secara subtansi menerangkan bahwa sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) bisa berasal dari Presiden, DPR atau DPD.

RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR dalam jangka waktu 5 tahun. Setelah itu Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan kemudian membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.

Pada rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, setelah itu biasanya disetujui dengan perubahan atau ditolak. Apabila disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.

Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.

Sementara pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.

Dalam konteks alur pembuatan UU, dimulai dari pembuatan draf RUU sampai disahkannya menjadi Undang Undang, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh DPR.  Salah satu tahapan tersebut adalah dengan melibatkan pakar dan tokoh masyarakat.

Sementara melihat perjalanan pembahasan RUU HIP yang pembahasannya ditunda oleh DPR, tidak terlalu banyak melibatkan tim ahli, akademisi dan tokoh masayarakat. Menjadi logis kemudian jika dalam pembahsan RUU HIP, terjadi banyak kritikan dan spekulasi miring.

Langkah Pemerintah untuk menunda pembahasan RUU HIP sudah tepat. Disamping draf RUU menjadi polemik, Indonesia sedang berjuang untuk melawan pandemik virus corona baru (Covid-19). Sehingga seluruh elemen bangsa sedang fokus dalam menangani pandemik.

Keadaan demikian semestinya dijadikan sebagai evaluasi bagi DPR untuk lebih banyak lagi menyerap aspirasi dari rakyat dan melibatkan para pakar dan akademiisi dalam proses pembahasan RUU ini.

Jalan keluar yang dapat ditempuh untuk memuluskan rencana pembuatan RUU HIP, yaitu mencabut RUU HIP dari prolegnas 2020 kemudian mengembalikannya ke Baleg agar dibahas kembali pasal-pasal yang menimbulkan kontroversi.

Selain itu dalam proses pembahasan RUU HIP perlu melibatkan berbagai pihak, baik itu pakar, akademisi, tokoh masyarakat maupun kelompok masyarakat lainnya.

Polemik RUU HIP memiliki keuntungan dan kekurangan. Dari sisi keuntungan, negara Indonesia butuh sebuah undang-undang mengenai pembinaan dan penaman Ideologi Pancasila. Melihat semakin memudarnya internalisasi dan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila yang ada di tengah-tengah masyarakat.

Sementara kekurangannya adalah adanya degradasi terhadap Pancasila itu sendiri. Selain itu, dikhawatirkan akan adanya tafsir tunggal terhadap Pancasila. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam RUU HIP, perlu adanya sebuah upaya untuk membumikan kembali Pancasila yang hampir pudar digerus oleh perkembangan zaman.

Upaya memperkuat ketahanan ideologi Pancasila perlu dilakukan, di tengah semakin banyaknya ancaman terhadap Pancasila. Ancaman terhadap Pancasila muncul dari berbagai lini, mulai dari keinginan untuk mendirikan negara agama, praktik liberalisme, dan neo komunisme.

Saat ini, berbagai ideologi yang tidak senafas dengan Pancasila itu bertransformasi ke dalam berbagai macam isu, mulai isu politik, demokrasi, agama, HAM dan lain sebagainya.

Di tengah semakin menguatnya ancaman terhadap Pancasila, maka perlu adanya sebuah upaya untuk menjaga dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.rmol news logo article

Syaefuddin Ahrom Al Ayubbi
Penulis adalah Pengamat Ketahanan Nasional

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA