Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pentingnya Meneladani Bung Karno Dalam Mempelajari Islam

Kamis, 11 Juni 2020, 11:59 WIB
Pentingnya Meneladani Bung Karno Dalam Mempelajari Islam
Kader muda Muhammadiyah, yang juga Program Manager International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), Fahmi Syahirul Alim/Ist
“ALQURAN mendatangkan revolusi batin manusia. Alquran mendatangkan revolusi dalam pandangan manusia terhadap Tuhan. Alquran mendatangkan revolusi ekonomi. Alquran mendatangkan revolusi mengenai hubungan manusia dengan manusia, dus revolusi sosial. Alquran mendatangkan revolusi yang mengadakan perubahan mutlak, membentuk manusia baru. Alquran mendatangkan revolusi moral, moral yang meliputi seluruh dunia”.

Kutipan di atas disampaikan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia pada acara Nuzulul Quran di Istana Negara pada 6 Maret 1961. Dari penggalan pidato Bung Karno tersebut, kita bisa melihat bahwa Alquran sebagai sumber utama ajaran agama Islam dan kitab suci yang sangat dijunjung tinggi oleh umat Islam dijadikan sebagai inspirasi utama revolusi dalam berbagai aspek oleh Bung Karno.

Hal ini bermakna, ajaran Islam menjadi saripati utama yang mempengaruhi Bung Karno dalam berpikir dan bertindak selama beliau memperjuangkan kemerdakaan Republik Indonesia. Serta bersama-sama dengan founding fathers lainnya, Bung Karno melahirkan Pancasila yang menjadi falsafah dan fondasi bangsa hingga saat ini.

Dan Pancasila menjadi sebuah bukti bahwa Bung Karno dengan tokoh-tokoh bangsa lainnya yang beragama Islam sangat berpikir ke depan, mampu melihat realitas bangsa Indonesia yang beragam, namun tetap dalam landasan Ketuhanan dan prinsip-prinsip kebaikan universal sehingga dapat diterima oleh semua agama.

Proses Bung Karno mengenal dan mempelajari ajaran Islam tentu tidak berjalan mudah dan instan seperti fenomena yang kita lihat akhir-akhir ini. Karena adanya euforia dalam bermedia sosial dan hadirnya Era 4.0, masyarakat memiliki kebebasan dan kemudahan dalam mengakses berbagai informasi dan pengetahuan dari sumber-sumber yang belum jelas validitas dan kemaslahatanya untuk umat dan bangsa.

Pada akhirnya, situasi seperti ini melahirkan sebuah golongan yang sangat mudah menyalahkan dan mencap orang lain sesat atau bahkan kafir jika berbeda dengan apa yang mereka yakini selama ini. Bahkan tak jarang menjadi radikal dan ekstrim.

Sebagai contoh, laporan Randa Corporation pada 2014 mengkorfirmasi bahwa media berbasis website memaikan peran besar dalam proses radikalisasi kalangan teroris dan ekstrimis. Selain itu hasil riset Brookings Institute melaporkan bahwa lebih dari 46.000 akun Twitter dikendalikan oleh para pendukung ISIS guna memposting materi dan konten kekerasan untuk merekrut pengikut baru melalui Youtube, website Google dan Facebook (Thoyibi dan Khisbiyah, 2018).

Hal ini jelas sangat kontras dengan apa yang dilakukan Bung Karno dalam berkelana mempelajari Islam. Walaupun tentu saat itu belum ada media sosial atupun jaringan internet. Namun dengan berbagai keterbatasan di tengah-tengah perjuangan dalam melawan penjajah, Putra Sang Fajar menelaah dan mengkaji Islam melalui proses yang panjang, penuh dengan dialektika yang tajam dan dalam, serta berguru pada orang-orang yang bermutu dan berilmu. Dan yang paling utama, berguru pada orang yang memiliki rekam jejak yang baik dan jelas terbukti sumbangsihnya untuk masyarakat yang pada saat itu sedang tertindas oleh penjajah.

Sebut saja nama-nama seperti H.O.S Cokroaminoto dan H. Agus Salim. Keduanya sama-sama pernah memimpin Sarekat Islam (SI) dan mengenalkan Islam pada Bung Karno. Bahkan Agus Salim pernah bergumam “sungguh keras kepala anak muda itu, mudah-mudahan Allah menyadarkan pikirannya,”.

Pernyataan itu disampaikan Agus Salim saat Bung Karno mengunjunginya di Bandung. Mereka berdua, Bung Karno dan Agus Salim, sama-sama pernah dibuang di Muntok, Bangka Belitung (Nurhidayat, 2018).

Bahkan dalam sebuah Buku yang berjudul Soekarno dan Muhammadiyah (Faozan Amar, 2009), disebutkan ketika Bung Karno ditahan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1 Agustus 1932, seakan membawa berkah terselubung bagi dirinya untuk lebih menyerap berbagai pemikiran Islam dari tokoh tokoh terkemuka, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani sampai penganjur kebangkitan Islam seperti Arabi Pasha, Ali Pasha, Ahmad Bey Agayeff dan Mohammad Ali.

Dan pada Agustus 1933, Soekarno ditangkap untuk kedua kalinya, kemudian dibuang ke Ende, Flores. Di sinilah periode kehidupan Soekarno yang sarat persinggungannya dengan Islam. Di Ende, Soekarno melahap banyak buku-buku keislaman, mendalami pemikiran Maulvi Muhammad Ali (Tokoh Ahmadiyah Lahore) dan Khwaja Kamaluddin serta banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh setempat maupun surat-menyurat dengan sejumlah tokoh Islam nasional seperti HM. Natsir dan A. Hasan selaku pendiri dan pimpinan organisasi Persatuan Islam (Persis).

Bergabung dengan Muhammadiyah

Dan puncak dari proses pencarian dalam berislam seorang Bung Karno adalah ketika dia menyatakan bergabung dengan salah satu ormas Islam ternama yang dimiliki bangsa ini, yaitu Muhammadiyah. Tepatnya saat dia diasingkan ke Bengkulu pada tahun 1938.

Bahkan Bung Karno saat itu mempersunting putri dari salah satu petinggi Muhammadiyah Bengkulu, yang tidak lain adalah First Lady pertama Republik Indonesia, Ibu Fatmawati. Walaupun sebetulnya menurut pengakuan beliau dalam dokumen “Amanat Presiden 25 November 1962”, kali pertama mengenal dan tertarik kepada Muhammadiyah yaitu ketika mendengar langsung ceramah KH. Ahmad Dahlan di Surabaya sewaktu dia tinggal bersama H.O.S Cokroaminoto.

Pengembaraan yang panjang dalam mempelajari Islam hingga Bung Karno bergabung dengan Muhammadiyah kemudian menjadi Sang Prokramator sekaligus menjadi Presiden pertama Republik ini, merupakan bukti bahwa seorang yang ingin menjadi pemimpin besar dan berpengaruh, harus memiliki wawasan yang luas, berpikir terbuka, menerima perbedaaan dan belajar dari siapapun, namun tetap kritis dalam melihat persoalan kebangsaan.

Pengalaman panjang Bung Karno dalam mempelajari Keislaman maupun kebangsaan di atas, sangat berbanding terbalik dengan fenomena sebagian masyarakat kita di era 4.0 ini. Seperti yang sempat disinggung di atas, karena akses informasi di dunia maya sangat bebas, sehingga dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan memperburuk citra Islam itu sendiri.  Karena ingin belajar Islam dengan cepat dan mudah dari internet, tak jarang sebagian masyarakat terpapar oleh paham intoleran bahkan radikal.

Oleh karena itu, proses pengembaraan para pejuang kemerdekaan seperti Bung Karno dalam mempelajari Islam sangat penting untuk diketahui masyarakat, khususnya umat Muslim. Agar di era digital ini, umat Muslim tidak terseret pada sikap fanatisme buta, mudah mencela orang yang berbeda dan terjumus pada sikap ekstrim akibat mempelajari Islam dengan cara instan, taklid buta dan mudah berpuas diri. rmol news logo article

Fahmi Syahirul Alim

Kader muda Muhammadiyah, yang juga Program Manager International Centre for Islam and Pluralism (ICIP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA