Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tragedi Tiananmen 1989, Demonstrasi Paling Berdarah Yang Berakhir Sia-sia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Selasa, 02 Juni 2020, 06:43 WIB
Tragedi Tiananmen 1989, Demonstrasi Paling Berdarah Yang Berakhir Sia-sia
Aksi mahasiswa di Lapangan Tiananmen 1989/Net
rmol news logo Ribuan demonstran tewas dengan kondisi mengenaskan di lapangan Tiananmen, 31 tahun yang lalu. Sesosok pria berdiri dengan kantung di tangan kiri dan kanannya menghadang barisan tank menjadi gambar ikonik abad ke-20 yang dikenal dunia sebagai catatan kelam insiden pembantaian yang pernah terjadi di tanah Tongkok.

Demonstrasi paling berdarah yang juga sekaligus dianggap gagal karena tidak menghasilkan apa pun kecuali kematian ribuan mahasiswa, pernah tercatat dalam kisah kelam Negeri Panda.

Aksi mahasiswa yang menyuarakan ketidakstabilan ekonomi dan korupsi politik ini memunculkan serangkaian protes yang merembet menjadi demonstrasi besar massa Tiongkok sepanjang 15 April hingga 5 Juni 1989, menyusul kematian seorang politisi terkemuka beraliran liberal bernama Hu Yaobang.

Para mahasiswa itu menuntut kebebasan politik yang lebih besar. Namun, media pro pemerintah yang memuat headline di koran yang intinya memojokkan mahasiswa malah membuat suasana semakin memanas. Tiongkok bergejolak. Lapangan Tiananmen pecah.

Aksi brutal aparat pun terjadi.

Awalnya dimulai, pada 1980-an, China mengalami perubahan besar. Partai Komunis yang berkuasa mulai mengizinkan beberapa perusahaan swasta dan investasi asing. Pemimpin Deng Xiaoping berharap untuk meningkatkan ekonomi dan meningkatkan standar hidup.

Namun, langkah itu membawa korupsi, sementara pada saat yang sama meningkatkan harapan untuk keterbukaan politik yang lebih besar.

Partai Komunis terpecah antara mereka yang mendesak perubahan lebih cepat dan kelompok garis keras yang ingin mempertahankan kontrol negara yang ketat.

Pada pertengahan 1980-an itulah protes yang dipimpin mahasiswa dimulai. Yang ikut serta termasuk orang-orang yang pernah tinggal di luar negeri dan terpapar ide-ide baru dan standar hidup yang lebih tinggi, seperti dikutip dari BBC.

Kemudian aksi terus berlanjut, hingga tragedi itu terjadi pada 1989.

Siang itu, 4 Juni 1998, sebuah parade berkeliling Beijing yang diikuti oleh sekitar 100 ribu mahasiswa dan aktivis (ada yang menyebutnya jumlah mencapai 300.000 orang) melintasi Lapangan Tiananmen. Mereka berorasi menyuarakan protes terhadap Pemerintah China yang dianggap membungkam kebebasan demokrasi.

Para mahasiswa menuntut untuk bertemu dengan Perdana Menteri Li Peng dan meminta kejelasan atas kematian Hu Yaobang yang dianggap misterius. Namun, Pemerintah China menolak pertemuan itu. Hal ini memicu aksi demonstrasi besar yang dilakukan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh China. Mereka mulai menyuarakan reformasi.

Panas terik, hati yang terbakar, perut yang kelaparan, dan idealisme yang tercabik melengkapi amarah para pendemo. Ketika muncul perintah dari negara kepada militer untuk meredam para demonstran, mereka tersulut. Amanat itu terdengar seperti perintah pembantaian kepada massa.

Aparat di bawah pemerintahan Partai Komunis pimpinan Deng Xiaoping yang memang terkenal keras, kemudian membubarkan paksa kerumuman pendemo. Puluhan tank dikerahkan untuk membantu tentara "membersihkan kembali" Lapangan Tiananmen dari aksi demonstrasi yang terjadi sejak pertengahan April 1989.

Upaya pembersihan ini terekam dalam sebuah foto ikonik yang memperlihatkan seorang mahasiswa mengadang laju tank dengan berdiri di hadapannya. Namun, upaya pengadangan tak menuai hasil. Tentara tetap membubarkan paksa dengan jalan kekerasan, termasuk melepaskan tembakan. Demonstran berusaha melakukan perlawanan dengan cara melempar batu dan bom molotov.

Ribuan pendemo yang berkerumun dan menyemut di satu titik, kocar-kacir. Mereka tersingkir. Peluru aparat menembus jantung ribuan pendemo yang kelelahan berjuang berminggu minggu dalam aksinya.

Saksi mata menyebutkan, di antara tubuh-tubuh yang kehilangan nyawa, aparat terlihat puas. Mereka gembira ketika menembaki para pendemo menghamburkan jutaan peluru.

Usai kematian ribuan mahasiswa di Lapangan Tiananmen hari itu, demo masih berlanjut. Diperkirakan lebih dari 1 juta orang memenuhi Lapangan Tiananmen, tempat Mao Zedong memproklamasikan berdirinya Republik Rakyat China (RRC) pada 1949.

Pada 20 Mei 1989, Pemerintah China menetapkan darurat militer di Beijing, seiring jumlah massa yang semakin besar. Pemerintah China mengerahkan tentara dan tank ke Ibu Kota untuk membubarkan aksi demonstran.

Yang menyedihkan, ribuan nyawa melayang sia-sia. Ribuan orang yang meninggal ternyata tak membuat segalanya berubah. Begitu demo berdarah ini usai, tetap tak ada yang benar-benar berubah. Kebebasan media juga tak pernah tercipta. Sejarah mencatat ini adalah demonstrasi paling mengerikan yang memakan banyak korban tapi tak menghasilkan satu apa pun.

Hingga saat ini, setelah 31 tahun berlalu, pemerintah China berusaha menutup rapat peristiwa bersejarah itu. Angka korban tidak ada yang mengetahui dengan pasti persisnya. Anak-anak muda Tiongkok pun sedikit sekali yang mengetahui tragedi Lapangan Tiananmen 1989.

Namun, pada 2017, segepok dokumen dari Inggris yang baru dirilis mengungkapkan bahwa sebuah kabel diplomatik dari Duta Besar Inggris untuk China saat itu, Sir Alan Donald, mengatakan bahwa 10.000 orang telah meninggal pada Tragedi Lapangan Tiananmen. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA