Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Buya Syafii, Suluh Bangsa

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Minggu, 31 Mei 2020, 21:14 WIB
Buya Syafii, Suluh Bangsa
Buya Syafii Maarif/Net
BUYA Syafii sudah 85 tahun, panjang melebihi usia Rasul Muhammad. "Panjang usia,  panjang amalnya," begitu harapan banyak orang.

Dengan teguh, Buya membuktikan dengan menjalani kehidupan yang panjang tidak lagi untuk dirinya. Dia sama sekali bukan tipe manusia egosentrik seperti banyak orang dan figur publik lainnya.  Dia bagi dan dedikasikan perhatian dan pemikirannya  untuk orang lain,  bangsa dan kemanusiaan, meskipun banyak orang yang kemudian salah memahami dan bahkan mencercanya.

Murid Buya

Penulis mengenal Buya melalui karya-karyanya dimulai akhir tahun 1970an saat penulis masih kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi yang membahas tentang Ki Bagus Hadikusumo tahun 1984,  mengharuskan penulis membaca berbagai literatur penting antara lain  karya Buya.  

Beruntung, setelah menyelesaikan program Doktoral (Doktorandus) penulis menjadi murid langsung Buya selama 6 bulan saat penulis terpilih menjadi salah seorang diantara 20 orang dosen muda dari berbagai IAIN seindonesia sebagai peserta Program Pembibitan Dosen IAIN angkatan pertama yang diselenggarakan oleh Departemen (sekarang Kementerian) Agama RI tahun 1988 di IAIN semarang.

Program ini dimaksudkan untuk mentraining calon-calon dosen IAIN secara intelektual agar bisa merebut peluang beasiswa internasional di berbagai universitas terbaik di Australia,  Eropa dan Amerika. Beruntung penulis memperoleh peluang skolarshsip di McGill University,  juga atas rekomendasi Buya meskipun tak sempat bertemu kembali menjadi muridnya saat Buya bertugas sebagai visiting Professor di McGill.

Selain Buya,  ada beberapa  mentor dan nara sumber lain antara lain  Prof. Sjafri Sairin, Prof. Djamaluddin Darwis,  (alm) Prof. Parsudi Suparlan dan Prof. Bernard Lewis (Princeton University). Perdebatan tajam tentang berbagai isu sosial, keagamaan dan politik dihidupkan di bawah asuhan Buya dan pak Sjafri.

Buya, sebagai mentor,  dengan gaya khasnya memperpanas perdebatan kelas. Kami diajari untuk membangun sikap kritis tapi tetap respek,  tolerans, rendah hati, tidak jumawa dan menjaga kebersamaan di tengah perbedaan pandangan dan sikap. Kami diteguhkan hati dan kepribadian serta tidak perlu sesak nafas dan kehilangan kendali jika memghadapi perbedaan dan kritik.

Buya saat itu meminta penulis untuk menyusun makalah tentang M. Natsir seperti  biasa untuk diperdebatkan. Kawan kawan yang lain juga ditugaskan untuk menulis berbagai topik yang terkait dengan Indonesian Islam.

Melalui penulisan dan perdebatan tentang M. Natsir, Buya ingin menunjukkan berbagai pelajaran intelektual,  moral dan kepribadian M. Natsir yang masih sangat relevan dan bermakna bagi kehidupan berbangsa. Penulis didorong mengenal dan memahami gagasan-gagasannya tentang kompatibelitas Islam, Pancasila dan demokrasi dan berbagai isu lainnya tentang politik kenegaraan.

Kontribusi monumentalnya yang dikenal dengan Mosi Integrasi Natsir juga kami perdebatkan di kelas. Bahkan mengapa Indonesia tidak memilih menjadi negara Islam, juga menjadi topik pembahasan hangat di bawah hentakan intelektual Buya Syafii. Salah satu pelajaran penting dari Natsir yang kembali ditegaskan Buya ialah pembelaan terhadap Pancasila dan NKRI.

Kepada kami, tahun 1988, Buya dengan penuh gairah mendorong untuk membangun cara berpikir out of the box, bersedia menerima dan menghargai perbedaan pandangan dengan siapapun sepanjang tidak melanggar martabat dan prinsip kemanusiaan, toleran dan bersikap adil kepada siapapun.

Pandangan dan spirit keislaman neo-modernis gurunya di Chicago,  Prof. Fazlurrahman,  Buya tularkan meskipun tak semua dari kami yang berdua puluh bisa memahami dan menerimanya untuk berbagai alasan.

Bagi kami yang berasal dari latar belakang ormas kemahasiswaan Islam (HMI, IMM dan PMII)  yang berbeda dan sering berbenturan untuk urusan yang remeh temeh, ajakan Buya untuk bersikap terbuka dan jangan partisan nampak sulit diterima. Ini tentu  juga kesulitan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok partisan lainnya apakah itu berbasis atau menggunakan  sentimen keagamaan, ideologi, etnis,  budaya dan ormas maupun politik untuk mencerna gagasan Buya.

Fenomena sikap partisan seperti ini masih banyak dijumpai dalam kehidupan berbangsa kita  yang, oleh Buya,  sering disebut sebagai mereka yang mudah "sesak napas."

Islam dan Pancasila

Bagi Buya, soal relasi Islam dan Pancasila sudah sangat jelas. Dua-duanya tidak bisa dan tidak boleh dipertentangkan. Siapa saja yang mempertentangkan Islam dan Pancasila,  sama saja meluluh lantakkan Indonesia. Semenjak pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta,  maka jelas Indonesia yang disepakati adalah Indonesia yang berdasarkan kepada Pancasila, bukan Negara Islam dan Negara Sekular.

Karena itu,  Islamisme dengan arah pembentukan negara Islam dan Sekularisme tidaklah sesuai dengan jiwa Indonesia dan harus ditolak. Sepandangan dengan Buya,  Muhammadiyah yang pernah ia pimpin,  juga menegaskan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila Darul Ahdi was Syahadah.

Buya sangat gigih mempertahankan prinsip dan keyakinannya tentang Islam dan Pancasila. Dengan berani, dan lugas Buya menghadapi dan mengkritik ide Khilafah Islamiyah,  ide mengembalikan dan menghidupkan Piagam Jakarta. Tak kurang,  Buya juga mengecam FPI dan gerakan apapun yang menggunakan simbol-simbol Keislaman akan tetapi justru merusak kedaulatan dan martabat kemanusiaan.

Buya sering menyebutnya sebagai "preman berjubah" yang dengan modal "teologi maut" melancarkan teror, Jihad Qitali dan Irhabi. Mereka berani mati tapi sebetulnya takut menghadapi kehidupan. Atas kritikan lugasnya,  tak jarang Buya diyakini sebagai tokoh yang tidak sungguh-sungguh memperjuangkan Islam dan umat Islam.

Bahkan, Islamnya diragukan. Kelompok-kelompok inilah sebetulnya yang telah gagal memahami pesan moral terdalam al-Qur'an dan mengkaitkannya dengan tugas-tugas kebangsaan dan keumatan. Mereka beragama dengan sumbu pendek.

Seluruh Sila dari Pancasila tidaklah bertentangan dengan Islam,  bahkan itu juga yang menjadi titah Allah dalam al-Qur'an. Karena itu,  mengimplementasikan seluruh Sila Pancasila berarti juga telah melaksanakan titah Allah.

Sebaliknya,  seorang muslim sejati yang benar-benar memahami dan melaksanakan pesan fundamental Islam berarti telah mengimplementasikan Pancasila.

Pada titik inilah keresahan Buya timbul menyaksikan fakta (1) adanya upaya sistimatik mempertentangkan Islam dan Pancasila  (2) banyaknya elemen masyarakat yang menelantarkan Islam/agama dan Pancasila. Banyak buktinya antara lain korupsi,  penipuan,  fitnah,  diskriminasi,  ketidak adilan dan kejahatan kemanusiaan.

Civil Society dan Kemanusiaan

Format relasi agama dan negara yang dipikirkan oleh Buya sangat jelas. Karena itu,  negara dan seluruh warga berkewajiban melindungi sesama warga bangsa apapun latar belakang agama, kepercayaan dan sosio kulturalnya.  

Siapapun tidak boleh  mendiskriminasi atas nama dan alasan apapun juga.  Dalam hal ini,  prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam Madinah, bagi Buya,  haruslah menjadi sumber inspirasi penting bagi banyak orang untuk membangun sebuah negara yang kuat dengan menempatkan masyarakat Madani atau civil society sebagai bagian penting.

Bagi Buya  mengembangkan dan memperkuat civil society urgen dilakukan tidak saja untuk mengontrol pemerintah,  akan tetapi juga membangun equilibrium dan integrasi nasional. Memperkuat civil society berarti sekaligus meningkatkan kualitas demokrasi; lalu membangun demokrasi yang berkualitas sama artinya dengan menciptakan keadilan sekaligus menjaga kemanusiaan.

Isu-isu kesederajatan dan kesamaan,  keadilan, kepercayaan agama, kedaulatan dan  kemanusiaan, toleransi,  dan pada akhirnya kemaslahatan sesungguhnya merupakan prinsip-prinsip yang diafirmasi dalam al-Qur'an.

Isu-isu utama ini jugalah yang menjadi perhatian Buya. Keprihatinannya sangat jelas,  penyimpangan terhadap prinsip-prinsip tersebut sudah kasat mata. Keluhuran agama dan Pancasila dan kedaulatan bangsa telah dicederai oleh berbagai kelompok kepentingan atas nama agama dan politik; egosentrismepun merajalela dan negara terancam dibajak oleh kelompok intoleran; kemanusiaan yang adil dan beradab juga disayat-sayat oleh para perompak. Seruannya digaungkan terus tanpa pamrih dan lelah didukung oleh kaum muda terpelajar dan progresif melalai Ma'aruf Institut.

Tanpa beban,  hingga di usianya yang ke 85,  Buya terus mengingatkan siapapun agar tidak menyelewengkan arah perjalanan bangsa ini. Suluh terus Buya nyalakan agar bangsa ini senantiasa memperoleh pencahayaan sehingga kezaliman tak terjadi. Selamat 85 tahun Buya, guru intelektual dan kebangsaanku semoga senantiasa menghidupkan dan mencerahkan, amin. rmol news logo article

Penulis  Assoc. Professor UIN Jakarta, Ketua MUI Bidang Hublu dan Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP. Muhammadiyah.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA