Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

BOS Dan Tantangan Pendidikan Di Masa Pandemik

Jumat, 24 April 2020, 08:49 WIB
BOS Dan Tantangan Pendidikan Di Masa Pandemik
Kader muda Muhammadiyah dan peneliti muda pada International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) Fahmi Syahirul Alim bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir/Net
BEBERAPA waktu yang lalu viral di media sosial kisah seorang guru yang merasa menjadi guru yang tidak baik karena tidak mematuhi anjuran pemerintah untuk di rumah aja. Bahkan karena viral, cerita guru tersebut diliput oleh beberapa media. Baik media lokal, maupun media nasional.

Karena penasaran, saya pun bergegas melihat akun media sosial guru tersebut. Dan akhirnya sayapun berhasil menemukan akun Facebook sang guru “kontroversial” tersebut. Namanya, Avan Fathurrahman, tinggal di Kabupaten Sumenep, Madura, sebuah pulau di ujung timur Jawa.

Saya agak telat sebetulnya mengetahui cerita viral ini. Ketika saya cek, status yang viral tersebut ternyata diunggah pada 16 April 2020. Hingga tulisan ini diketik, unggahan Mas Avan mendapatkan 28 ribu respon dari netizen, baik yang mengekspresikan suka, cinta, maupun sedih, 12 ribu kali dibagikan oleh netizen dan ada sekitar 6 ribu 3 ratus komentar.

Tentu komentar-komentar tersebut semuanya bernada positif, yaitu berisi dukungan dan doa bagi Sang Guru agar sehat selalu dan lancar dalam menjalankan tugas mulia di masa pandemik ini. Saya pun tak berpikir dua kali untuk menambahkan Mas Avan sebagai teman dalam lini masa tersebut.

Mengajar di Tengah Badai

Cerita viral mas Avan sebetulnya mencerminkan kondisi masyarakat kita yang sebagian masih harus hidup dalam keterbatasan. Terutama masyarakat di desa-desa, yang sumber ekonominya sangat bergantung pada hasil pertanian, itupun kalau hasil panenya sedang bagus atau mereka yang kerja-kerja ala kadarnya sebagai buruh dan tukang yang menunggu panggilan.

Oleh karena itu, mana kepikiran mereka membeli gawai, terlebih gawai canggih yang selalu update setahun sekali, diburu oleh  mereka yang gila akan gengsi, bahkan rela antri untuk membeli. Karena selalu ingin dianggap  bergaya, mereka lupa dan tidak peka pada kondisi sesama.

Dengan kondisi tersebut, Mas Avan yang nuraninya masih bekerja tentu dilema. Sebagai guru, dia harus menjadi suri tauladan dengan mematuhi pemerintah tentang anjuran jaga jarak sosial dan fisik di masa pandemi Covid-19 ini. Yaitu dengan bekerja, belajar dan beribadah di rumah.

Namun melihat realita yang ada, beberapa wali murid ternyata tidak memiliki gawai untuk sarana belajar daring bagi anaknya. Bahkan yang membuat kita menahan nafas, beberapa orang tua menurut cerita Mas Avan, sampai rela meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan anaknya selama pandemik ini.

Mas Avan sempat gembira dengan adanya siaran edukasi di TVRI selama pandemi. Artinya, orang tua murid tidak harus memaksakan diri untuk membeli telepon pintar atau bahkan komputer jinjing bagi anaknya. Namun Mas Avan ternyata harus menelan ludah, karena beberapa siswanya tidak memiliki televisi, apalagi televisi cerdas yang akhir-akhir ini digandrungi kaum menengah urban karena bisa terkoneksi dengan mudah pada jaringan internet.

Fakta di atas menyuguhkan kita adanya disparitas kemiskinan antara desa dan kota yang masih tinggi. Tercatat dalam laporan Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) pada (15/1), persentase kemiskinan kota sebesar 6,56 persen. Sementara, persentase penduduk miskin pedesaan mencapai 12,6 persen.

Kondisi tersebut tak jauh berbeda dengan posisi periode yang sama tahun lalu, di mana persentase kemiskinan perkotaan 6,89 persen dan pedesaan 13,1 persen. Dari tahun ke tahun, kesenjangan ini hampir selalu setengahnya bukan? (Andianta P, 2020).

Dengan kondisi tersebut, akhirnya mas Avan menyerah. Dia rela disebut guru tidak baik dengan berkeliling ke rumah-rumah anak didiknya untuk mengajar di tengah badai. Ditambah lagi dengan jalanan pedesaan yang tak semuanya bisa dilalui kendaraan bermotor, tak jarang guru nekad tersebut berjalan kaki menyusuri kampung yang jarak antar rumah dengan rumah lainya sangat berjauhan.

Dana BOS Menjadi Andalan?

Fenomena di atas menjadikan kita sadar bahawa permasalahan ekonomi sangat berimplikasi pada persoalan dan tantangan pendidikan kita, terutama di masa pandemi ini. Jika bukan karena Mas Avan adalah seorang guru muda yang melek teknologi, aktif di media sosial serta didukung dengan kemahiranya dalam bernarasi merangkai kata dan bercerita. Mungkin kita tidak akan pernah tahu kisah haru dan inspiratif tersebut.

Atau jangan-jangan sebetulnya masih banyak sosok guru lain di luar sana yang rela berkorban dengan tetap mengajar, turun ke rumah-rumah warga karena minimnya fasilitas untuk kegiatan belajar mengajar secara daring di masa pandemi Covid 19 ini. Sosok-sosok guru seperti mas Avan ini tentu patut didukung baik secara moril maupun materil. Berkeliling ke rumah-rumah di pedesaan tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit serta  mental dan fisik yang prima.

Di tengah ujian seperti ini memang selalu ada kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar dan berjuang dengan ikhlas seperti Mas Avan dan Guru-guru lainya di era pandemi ini (QS: Al-Baqoroh Ayat 155). Yaitu adanya dukungan dari pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan memberikan fleksibilitas dan otonomi kepada para kepala sekolah dalam menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler. Penyesuaian kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran dari rumah sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19.

Tidak hanya itu, para kepala satuan pendidikan PAUD dan Pendidikan Kesetaraan juga diberikan fleksibilitas dalam pengelolaan dana Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP). Permendikbud 20/2020 juga mengubah ketentuan besaran persentase dana BOP per kategori pemakaian di Permendikbud sebelumnya tidak berlaku. Penggunaan BOP PAUD dan Kesetaraan juga sekarang diperbolehkan untuk honor dan transportasi pendidik (Kompas.id).

Namun tentu dukungan pemerintah melalui BOS tidak akan cukup jika kita sebagai masyarakat apatis dan tidak memberikan apresiasi dan penghargaan pada para pejuang pendidikan di masa pandemik ini. Di tengah musibah ini, selain mereka harus mengurus dan melindungi keluarga tercinta di rumah, mereka selalu memikirkan anak didiknya agar tetap belajar dan memiliki budi pekerti yang baik selama belajar di rumah masing-masing.  

Saatnya sekarang kita meringankah beban para pahlawan tanpa tanda jasa dengan menjadi guru terbaik bagi anak kita masing-masing. Karena sejatinya guru terbaik adalah orang tua di rumah, dan perlu diingat bahwa seorang anak pada hakekatnya tumbuh dan berkembang pertama kali dimulai dari keluarga. “Education is power. Information Is liberating. Education is the premise of progress, in everyday Society, in every Family”, kata Kofi Annan.

Fahmi Syahirul Alim

Kader muda Muhammadiyah dan peneliti muda pada International Centre for Islam and Pluralism (ICIP)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.