Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lika-liku Mudik Vs Pulang Kampung

Kamis, 23 April 2020, 22:58 WIB
Lika-liku Mudik Vs Pulang Kampung
Ilustrasi arus mudik di Pulogebang/RMOL
PEMERINTAH resmi melarang pelaksanaan mudik lebaran 2020 guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) ke berbagai daerah. Larangan tersebut disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas, Selasa (21/4).

Keputusan larangan mudik tak lepas dari hasil survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang mendata terdapat 24 persen warga masih nekat melaksanakan mudik, meski sudah ada imbauan sebelumnya dari pemerintah untuk tidak melakukan mudik. (Kompas.com, 22/4/2020)

Aturan larang mudik mulai diterapkan pada 24 April 2020. Meski demikian, sanksi pelarangan mudik baru diberlakukan pada tanggal 7 Mei 2020. Ini berarti potensi gelombang mudik bisa saja terjadi tanpa kendali.

Belajar dari pengalaman, ketika sanksi tak segera diberikan, masyarakat Indonesia cenderung menyepelekan. Sebelum aturan pelarangan mudiik itu keluar, masyarakat sendiri sudah mencuri start mudik dini.

Menurut data Kemenhub sudah ada 1 juta orang mudik ke kampung halaman. Hal ini segera dianulir oleh Presiden Jokowi dalam wawancara eksklusifnya bersama Mata Najwa di Narasi TV pada Rabu, 22 April 2020.

Menurut Presiden, 1 juta warga yang disebut Najwa itu bukan mudik tapi pulang kampung. Saya pun agak terheran. Ternyata definisi mudik dan pulang kampung itu berbeda. Menurut BNPB, mudik adalah adalah pulang kampung yang sifatnya sementara dan akan kembali lagi ke kota. Sedangkan pulang kampung adalah pulang ke kampung halaman dan tidak akan kembali lagi ke kota.

Ada beberapa golongan masyarakat yang dilarang mudik di antaranya Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI-POLRI, BUMN, BUMD, dan masyarakat berpenghasilan tetap.
 
Golongan ini dilarang mudik, keluar rumah, berkumpul, serta harus taat pada peraturan PSBB dan peraturan penanganan Covid-19. Sedang, kelompok yang dapat pulang kampung adalah kelompok PMI dan PHK dengan catatan mengikuti protokol pulang kampung secara ketat, seperti dilansir liputan6.com, (23/4/2020).

Meski larangan mudik berlaku, hal itu tak mengurangi penutupan akses jalan tol.
 
Apakah ini berarti mudik dilarang, pulang kampung dibolehkan? Apapun definisinya, yang jelas, baik mudik atau pulang kampung sama-sama perpindahan penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain baik antarkota maupun antarprovinsi. Sama-sama berpotensi menyebarkan Covid-19 dari satu daerah ke daerah lainnya. Terutama daerah yang menjadi zona merah dan PSBB.

Kebijakan larangan mudik seperti setengah hati. Sudahlah definisi dibuat berbeda, masyarakat dibikin bingung karenanya. Sanksi terhadap larangan mudik juga baru akan diberlakukan pada tanggal 7 Mei 2020 mendatang.

Dalam rentang waktu demikian, siapa yang berani menjamin masyarakat tak melakukan mudik? Bagaimana teknis pelarangan tersebut terhadap kendaraan pribadi seperti mobil atau motor? Bagaimana pula cara mengidentifikasi masyarakat yang mudik dan masyarakat yang pulang kampung?

Perbedaan definisi ini menjadi polemik jika diterapkan. Bikin ribet.
 
Bagi masyarakat yang nekat melakukan mudik, denda 100 juta menanti. Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang pulang kampung? Apa bakal didenda juga? Bukankah lebih efektif pelarangan mudik itu dibarengi dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang terdampak pandemi dan PSBB?

Seperti jaminan kebutuhan dan penghasilan bagi kepala keluarga. Bahkan jika mereka dijamin, saya yakin tak ada keinginan untuk mudik ataupun pulang kampung.

Mudik karena kangen keluarga bisa ditahan, tapi pulang kampung karena tak punya penghasilan, siapa yang mampu menahan? Kecuali pemerintah memberi jaminan bagi mereka yang terdampak. Itu solusinya.

Bukan berputar pada istilah mudik dan pulang kampung. Sebagaimana memutar balik istilah lockdown dengan karantina wilayah lalu ditafsirkan menjadi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
 
Mudik atau pulang kampung, tetap berisiko. Risiko penyebaran virus dan minus penghasilan. Sebab, fokus persoalannya bukan pada diksinya, namun dampaknya. Dampak inilah yang belum sepenuhnya diantisipasi oleh pemerintah. Dampak ekonomi dan keberlangsungan hidup rakyat.

Meski beraneka program dicanangkan untuk menekan dampak Covid-19, hal itu belum cukup menopang kehidupan ekonomi mereka selama pandemik. Kebijakan setengah hati itu hanya akan menjadi simalakama bagi pemerintah.

Imbauan tapi tak melarang. Melarang tapi tak ada ketegasan. Tegas tapi tak memberi jaminan. Serba ruwet dan mbulet. rmol news logo article

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA