Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mencermati Penerbitan Global Bond Dan Kerjasama The Fed AS

Rabu, 08 April 2020, 14:46 WIB
Mencermati Penerbitan Global Bond Dan Kerjasama The Fed AS
Menteri Keuangan Sri Mulyani/Net
SRI Mulyani Indrawati (SMI) melakukan tindakan yang tidak populer di tengah wabah pandemik Covid-19 yaitu menerbitkan kembali surat utang.

Semua menteri keuangan akan melakukan hal yang sama jika dihadapi situasi ekonomi yang minim pendapatan negara, ditengah tuntutan besar akan stimulus ekonomi akibat pandemik Covid-19 dan untuk menghindari jatuhnya korban jiwa lebih besar lagi.

Tindakan SMI tersebut dapat dipahami sebagai tindakan counter cyclical crises yang tidak populer dan dalam bingkai kebijakan publik, tindakan tersebut cukup beralasan. Harus ada pejabat tidak populer untuk menyelamatkan keuangan negara saat ini. Kali ini, adalah Sri Mulyani, Menteri Keuangan periode kedua kabinet Presiden Jokowi.

Kementerian Keuangan mengeluarkan obligasi global (global bond) 4,3 miliar dolar AS atau Rp 68,8 triliun. Obligasi global tersebut diterbitkan dalam 3 bentuk Surat Berharga Negara (SBN) yaitu seri RI1030, RI1050, dan RI0470.

Ketiga seri tersebut memiliki tenor jangka panjang di atas 10 tahun. Hal ini adalah strategi yang bijak untuk memberikan ruang fiskal agak lebar di jangka pendek. Yield/kupon SBN ketiganya berkisar 3,9 persen sampai 4.5 persen per tahun berdenominasi dolar AS.

Seri RI1030 memiliki tenor 10,5 tahun yang jatuh tempo pada 15 Oktober 2030 diterbitkan sebesar 1,65 miliar dolar AS dengan yield global sebesar 3,9 persen. Seri kedua yaitu RI1050 dengan tenor 30,5 tahun atau jatuh tempo 15 Oktober 2050.

Nominal yang diterbitkan juga 1,65 miliar dolar AS dengan yield 4,25 persen. Seri ketiga adalah RI0470 dengan tenor 50 tahun, jatuh tempo 15 April tahun 2070 sebesar 1 miliar dolar AS dengan tingkat yield 4,5 persen.

Seri ketiga ini merupakan global bond pertama yang diterbitkan dengan tenor 50 tahun. SBN yang ketiga adalah series baru yang belum pernah diterbitkan sebelumnya. Jatuh tempo atau tenornya 50 tahun, yaitu 15 April tahun 2070 sebesar 1 miliar dolar AS dengan tingkat yield 4,5 persen.

Penerbitan dengan tenor 50 tahun tersebut juga merupakan tenor terpanjang yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini secara implisit menunjukkan kepercayaan investor jangka panjang terhadap track record kondisi ekonomi dan pengelolaan keuangan negara di masa depan.

Indonesia juga merupakan negara pertama di Asia yang menerbitkan sovereign bond sejak pandemi Covid-19 terjadi. Dari bulan Februari sampai dengan Maret tidak ada satu negarapun di Asia yang masuk ke global bond karena mereka melihat situasi volatilitas dan gejolak keuangan yang sangat besar.

Tidak ada kemeriahan tepuk tangan dari prestasi tersebut, sebab secara implisit Indonesia merupakan negara pertama di Asia yang memiliki ketergantungan tinggi terhadap pembiayaan luar dalam mengatasi Covid-19. Ini seharusnya menjadi evaluasi terhadap ketahanan fiskal saat ini.

Menkeu mengatakan, penerbitan ketiga seri SBN tersebut adalah penerbitan terbesar di dalam sejarah penerbitan US Dollar Bond oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Manfaat Penerbitan US Dollar Bond dan Kerjasama FED


Jelas bahwa manfaat penerbitan US Dollar Bond tersebut adalah Indonesia memiliki pendanaan sebesar hampir Rp 70 triliun untuk APBN 2020. Dengan dana tersebut negara bisa bernafas sedikit lega untuk memberikan stimulus ekonomi kepada individu dan perusahaan yang terdampak Covid-19.

Manfaat lain adalah cadangan devisa (cadev) BI bertambah 4,3 miliar dolar AS. Bulan Maret lalu cadev telah berkurang 9,4 miliar dolar AS ke level 120,97 miliar dolar AS (Bulan Februari sebelumnya cadev 130,3 miliar dolar AS). Peningkatan cadev diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan pasar terhadap Indonesia. Dampak kepercayaan tersebut akhirnya dapat menguatkan nilai tukar rupiah.

Dalam situasi yang demikian, nilai tukar diprediksi dapat menguat ke level 15.000 di akhir tahun 2020. Saat ini rupiah di level Rp 16.112 masih di atas dari nilai fundamental rupiah yang sebenarnya.

Penguatan rupiah terjadi juga karena sentimen positif kerjasama repurchase aggrement (repo) 60 miliar dolar AS antara Bank Indonesia (BI) dengan bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve manakala terjadi penurunan cadangan devisa. Kerjasama tersebut merupakan tambahan capital buffer untuk Bank Indonesia.

Sebelumnya BI telah memiliki kerjasama currency swap dengan China (30 miliar dolar AS), dengan Jepang (22,7 miliar dolar AS) dan dengan Singapura (10 miliar dolar AS). Tambahan kerjasama repo dengan the FED AS sebesar (60 miliar dolar AS) akan menambah ketahanan keuangan Indonesia melalui cadangan devisa.

Ekonomi Indonesia selama Maret 2020 sangat mengkhawatirkan sekali. Rupiah anjlok 15 persen (mtm) karena investor distrust kepada Indonesia, Yield SBN 10 tahun jatuh 4 basis poin ke level 8,16 persen dan defisit transaksi berjalan melebar ke level 2,88 persen PDB. Situasi tersebut sangat merugikan ekonomi Indonesia.

Dalam bingkai kebijakan publik, alasan untuk memperbaiki situasi ekonomi Maret 2020 tersebut melalui kerjasama repo BI-FED 60 miliar dolar AS dan penerbitkan global bond 4,3 miliar dolar AS adalah tindakan berani dan beralasan meskipun dilihat dari sisi cost of fund, kerjasama tersebut terbilang mahal.

Berbiaya Mahal Dibandingkan dengan Berdenominasi Euro

Bila otoritas cukup pintar, maka seharusnya mencari pembiayaan global bond berdenominasi dalam euro karena yield bond-nya lebih rendah di level 1,9 hingga 3,0 persen daripada yield berdenominasi dolar AS di level 3,9 hingga 4,5 persen dengan tenor yang kurang lebih sama.

Jumlah selisih yield tersebut sangat signifikan bila nilai tukar rupiah anjlok seperti Maret 2020 sebesar 15 persen. Selisihnya pembayaran menggunakan euro dapat lebih murah 30 persen hingga 93 persen daripada menggunakan dolar AS. Bila rupiah anjloknya lebih dari 50 persen, maka Indonesia membayar kupon global bond double (2x) lebih mahal dengan dolar AS daripada dengan euro.

Patut diingat, Pasar bond dalam EURO tidak sebesar pasar bond dalam dolar AS sehingga ada resiko SBN tersebut tidak terserap dengan baik. Namun usaha diversifikasi SBN perlu dilakukan sehingga ada SBN dalam denominasi dolar AS yang porsinya dipastikan lebih kecil karena lebih mahal dan ada SBN dalam denominasi euro dan lainnya yang porsinya lebih besar karena lebih murah. Idealnya, semakin ringan cost of fund-nya semakin besar porsinya dalam komposisi SBN Indonesia. D samping melakukan diversifikasi bond, Otoritas Indonesia juga perlu membangun kerjasama serupa dengan Bank Sentral Eropa, ECB seperti halnya fasiltas dari FED.

Previllege dengan Federal Reserve (FED)


Meski demikian, bila Kemenkeu menerbitkannya dalam euro, bisa jadi Bank Indonesia tidak dapat privillege untuk melakukan kerjasama repo 60 miliar dolar AS dengan Federal Reserve (FED), Bank sentral AS.

Tidak banyak negara berkembang yang mendapatkan fasilitas dari FED. Biar bagaimanapun mendapatkan fasilitas dengan FED adalah keuntungan besar bagi reputasi rupiah di masa depan karena secara de facto, FED tidak pernah memiliki kesulitan likuditas dolarnya. Patut diingat FED adalah satu-satunya bank sentral yang memiliki kewenangan mencetak mata uang dolar AS sebagai mata uang yang paling dicari pasar dunia.

Memiliki kerjasama dengan FED seolah-olah rupiah dibackup oleh otoritas keuangan AS, sehingga rupiah akan stabil di masa depan. Sebuah strategi yang brilian sekaligus menunjukan kedekatan ekonomi Indonesia yang lebih intim dengan ekonomi Amerika. rmol news logo article

Achmad Nur Hidayat

Pengamat kebijakan publik

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA