Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kesehatan Dalam Pusaran Pandemi Covid-19

Sabtu, 04 April 2020, 21:05 WIB
Kesehatan Dalam Pusaran Pandemi Covid-19
Update Kasus Covid-19 di Indonesia per Sabtu (4/4)/RMOL
KALANG kabut. Tanpa persiapan. Pandemik terjadi, begitu cepat, menginfeksi populasi dan merenggut nyawa. Tenaga kesehatan dielu-elukan, menjadi garda terdepan, tidak luput menjadi korban.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Seluruh negara di dunia sedang berkutat dengan urusan masing-masing. China yang menjadi wilayah awal wabah mulai berangsur pulih, menawarkan bantuan. Bahkan Amerika pun, dibuat tidak berdaya.

Dalam kajian geopolitik, China membangun keseimbangan tatanan dunia yang baru. Poros kekuatan politik Amerika terkikis, dengan bantuan alat kesehatan ala diplomasi masker China.

Pada periode pandemik, kesehatan benar-benar menjadi kenikmatan yang berharga. Dokter dan perawat bak pahlawan di medan perang, menghadapi wabah tak kasat mata, jasad renik.

Kekalutan terjadi, karena tenaga kesehatan berperang secara compang-camping seadanya. Kekurangan peralatan pendukung. Tidak bisa disebut konsekuensi profesi, karena tanpa persiapan perangkat pelayanan, merupakan pengabaian.

Kita sampaikan rasa simpati pada seluruh korban, dari bencana non alam ini. Jumlah tenaga dokter dan perawat yang turut dalam daftar korban juga bertambah. Perang tidak cukup berbekal semangat.

Momentum Berbenah

Fenomena pandemik terjadi di seluruh dunia, dalam keseragaman sikap, yakni gugup dan gagap. Tidak siap serta tidak sigap. Negara-negara maju berjibaku dengan perangkat teknologi yang dimilikinya.

Jauh sebelum pandemik, sektor kesehatan lokal di tanah air, masih berpusat pada persoalan program kesehatan nasional, BPJS Kesehatan, yang terus menerus dirundung defisit.

Sektor kesehatan tidak pernah benar-benar menjadi fokus dalam kekuatan bangsa. Kesehatan disinggung dalam narasi kampanye, tetapi minim dalam realisasi, khususnya melalui bentuk dukungan politik anggaran.

Padahal jika merujuk sejarah kebangsaan, melalui kajian Hans Pols, Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia, 2018, maka peran tenaga kesehatan menjadi penting di permulaan rintisan nasionalisme Hindia Belanda.

Jika kemudian dilanjutkan dengan penelitian Vivek Neelakantan, Memelihara Jiwa-Raga Bangsa: Ilmu Pengetahuan, Kesehatan Masyarakat, dan Pembangunan Indonesia di Era Soekarno, 2019, periode pasca kemerdekaan menempatkan pembangunan kesehatan sebagai prioritas, untuk menjaga kedaulatan.

Pendekatan ekonomi politik selanjutnya, mengesampingkan penguatan sektor kesehatan, dibandingkan dengan pendekatan infrastruktur fisik, yang dikejar melalui terma pembangunan.

Padahal melalui indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM), kriteria utama yang dipergunakan untuk mengukur ketahanan dan kekuatan kehidupan sebuah negara, didasarkan pada pondasi bidang pendidikan dan kesehatan.

Pandemik semakin membuka selubung carut-marut tata kelola sektor kesehatan kita. Para dokter, perawat dan tenaga kesehatan lain, bila tidak dilindungi dalam memberikan pelayanan di situasi pandemi ini, hanya akan menjadi tameng hidup.

Kegagalan Pembangunan

Orientasi pembangunan yang hanya bertujuan pada harapan kemakmuran melalui eksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan, pada akhirnya mendegradasi kualitas kehidupan manusia itu sendiri.

Noam Chomsky, Guru Besar Linguistik dan Filsuf  MIT dan University of Arizona -Amerika, memberikan kritik keras pada negaranya sendiri, terkait pandemik yang kini dialami, sebagai buah dari hasil kekejaman kerja kapitalisme.

Dalam wawancara kepada media truthout.org, Chomsky menyebut antisipasi pandemik dengan pembuatan vaksin pasca MERS 2012, sebagai cikal bakal Corona, tidak benar-benar dipersiapkan setelah outbreak, dikarenakan ketidaklayakan nilai keekonomian.

Lebih jauh, Chomsky menyebut, kekurangan ventilator di negeri Paman Sam, disebabkan upaya pembuatan ventilator bagi kebutuhan respirasi manusia, dalam biaya produksi yang lebih murah, terhalangi oleh persoalan paten dan hak cipta.

Penyangkalan, adalah bentuk dari kebuntuan kekuasaan, Yuval Noah Harari dalam 21 Lessons for the 21st Century, 2018 mengungkapkan bila kita kerap mengecilkan serta menyangkal masalah menuju pengabaian. Reduksi dan over simplifikasi, pada kompleksitas besar justru berakhir kegagalan.

Begitu pula pada soal pandemi ini, banyak informasi yang seolah meremehkan situasi ini, tidaklah sedemikian mengerikan, dibandingkan jatuhnya korban karena merokok dan kanker. Hal tersebut tentu sebuah perimbangan sesat dan keliru.

Pandemik Covid-19, mendisrupsi kesehatan manusia dalam tempo singkat, belum ada penangkal, berakhir mematikan. Meremehkan adalah ciri khas manusia, dan untuk itu kita harus perbaiki mulai sekarang.

Termasuk untuk kembali mereformasi tata kelola pembangunan kesehatan kita, karena kita tidak bisa melihat nyawa menjadi sekedar data rilis pers, terkait angka statistik jumlah pasien dan kematian yang menyertai pandemi. Berubah dan berbenah.rmol news logo article

Yudhi Hertanto

Penulis sedang menjalani Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA