Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Covid-19 Dan Masa Depan Pilkada Serentak

Rabu, 01 April 2020, 14:50 WIB
Covid-19 Dan Masa Depan Pilkada Serentak
Ilustrasi Pemilu/Net
SENIN, 30 Maret 2020 melalui rapat terbatas, Presiden Jokowi menetapkan tahapan baru perang melawan Covid-19, yaitu Pembatasan Sosial berskala Besar dengan Kekarantinaan Kesehatan. Penyebaran Covid-19 memang sudah semakin memprihatinkan.

Dari 34 Provinsi di Indonesia, Covid-19 belum muncul atau belum terdeteksi di 3 provinsi, yaitu Bengkulu, Gorontalo, dan NTT. 31 Provinsi lainnya sudah terpapar. Update BNPB per 31 Maret 2020 pukul 15.30, data kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 1.528 kasus, dengan 136 orang meninggal dan pasien sembuh 81 orang.


Di waktu yang sama, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP menghasilkan sejumlah keputusan. Pertama, melihat perkembangan pandemik Covid-19 yang hingga kini belum terkendali, dan demi mengedepankan keselamatan masyarakat, Komisi II DPR RI menyetujui penundaan tahapan pilkada serentak 2020.

Sebelumnya, Sabtu 21 Maret 2020 KPU menetapkan Keputusan No: 179/PL.02-Kpt/01/KPU/111/2020, yang menegaskan bahwa KPU menunda sejumlah tahapan pilkada, tetapi tidak termasuk tahapan pemungutan suara. Dengan demikian, fix pilkada serentak 2020 ditunda seluruhnya.

Kedua, pelaksanaan pilkada lanjutan akan dilaksanakan atas persetujuan bersama KPU, Pemerintah dan DPR. Ketiga, dengan penundaan pelaksanaan pilkada serentak 2020 maka komisi II DPR RI meminta pemerintah menyiapkan payung hukum berupa Perppu.

Keempat, dengan penundaan pelaksanaan pilkada serentak 2020, Komisi II DPR RI meminta kepada kepala daerah yang akan melaksanakan Pilkada serentak 2020 merealokasikan dana Pilkada serentak 2020 yang belum terpakai untuk penanganan pandemik Covid-19.


Dalam RDP itu, KPU memberikan pemaparan opsi pelaksanaan pilkada selanjutnya. Dalam keterangan di media yang disampaikan KPU RI, dijelaskan tiga opsi penundaan waktu yang disepakati dalam RDP.

Pertama, penundaan selama 3 bulan dari jadwal pemungutan suara awal, yaitu 9 Desember 2020 jika tahapan pra pemungutan suara bisa dimulai akhir Mei 2020. Kedua, penundaan selama 6 bulan dari jadwal awal, yaitu 17 Maret 2021. Ketiga, penundaan selama 12 bulan hingga 29 September 2021.


Kesepakatan tersebut tentu memiliki konsekuensi, baik hukum dan politik, khususnya terkait dengan masa depan Pilkada serentak di negeri ini. Berdasarkan UU 10/2016 (UU Pilkada), Pilkada serentak 2020 adalah pelaksanaan pilkada serentak terakhir yang terpecah dalam tiga gelombang (2017, 2018 dan 2020). Selanjutnya akan dilaksanakan pilkada serentak di 2024.

Pertanyaan selanjutnya, apakah dengan kesepakatan itu kemudian Pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan pada 2021, hasilnya hanya menjabat selama 3 tahun saja? Karena akan tetap dilaksanakan pilkada serentak 2024, seperti amanat UU Pilkada yang menjadi dasar pilkada serentak 2017, 2018 sebelumnya? Atau masih memungkinkan muncul alternatif lain dari kesepakatan itu ketika pemerintah membuat Perppu?

Skema Pilkada Serentak 2024

Sesuai UU Pilkada 2016 sudah diatur secara detail, bagaimana desain Pilkada serentak dirumuskan sejak UU ini dibentuk. Yaitu dengan membagi atau mencari jalan tengah masa jabatan dari Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil bupati, dan walikota dan wakil walikota yang telah terpilih sebelumnya dengan mengurangi dan melebihkan masa jabatan, sehingga tidak genap 5 tahun. Kok bisa? Apakah tidak inkonstitusional? Jawabnya, bisa! Dan konstitusional.

UUD Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah, hasil amandemen ke - II, pada 18 Agustus 2000, menjadi pasal yang penting untuk kemudian kita memahami skema pilkada yang sesuai dengan konstitusi UUD kita.

Pasal 18 ayat (1) NKRI dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan UU. Jadi, selama ada aturannya dalam UU, maka sah dan legal.


Ayat (3) Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki DPRD yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.  Dan ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dari sini dapat kita pahami bahwa pilkada bukan bagian dari pemilu, atau dengan kata lain, pilkada adalah bagian dari pemilihan yang terpisah dari pemilu.

Pilkada bukan pemilu yang wajib dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Tidak seperti pemilu yang diatur dalam UUD Pasal 22E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Jadi, sekali lagi, pengaturan pilkada yang rentang waktunya tidak 5 tahun sekali dalam UU, sah dan konstitusional.

Kemudian, pada pasal 201 UU Pilkada mengatur jelas tentang tahapan proses dan skema Pilkada serentak 2024, UU ini memetakan hasil Pilkada sebelumnya, yang berakhir antara 2015 dan 2016 (Januari-Juni), diseragamkan pelaksanaanya pada Desember 2015.

Begitu juga dengan yang berakhir pada 2016 dan 2017 (Juni-Desember) dilaksanakan pada Februari 2017. Dan yang berakhir, masa jabatannya pada 2018 dan 2019 dilaksanakan pada Juni 2018.


Selanjutnya, hasil pilkada di 2015 akan dilaksanakan pada 2020 dan akan berakhir pada 2024. Sementara yang pilkada pada 2017 dan 2018 tidak ada pilkada pada 2022 dan 2023, setelahnya berakhir masa jabatan, akan digantikan oleh penjabat kepala daerah hingga 2024. Hingga akan dilaksanakan Pilkada serentak nasional pada November 2024, dan masa penjabat kepala daerah akan digantikan oleh hasil Pilkada serentak 2024.

Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur itu, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya, dan untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.


Dari awal perencanaan skema pilkada serentak ini, memang semangatnya adalah agar tidak ada persinggungan pelaksanaan Pilkada dengan pelaksanaan pemilu 2019. Ini penting untuk kita garis bawahi. Catatan penting lainnya dari rencana pelaksanaan pilkada serentak pada 2024 adalah, pelaksanaanya tidak berbarengan dengan pemilu 2024.

Bahkan setelah pemilu serentak 2024 selesai, Presiden dan wakil presiden, hasil pemilu 2024 sudah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024, begitu juga dengan DPR, DPD dan DPRD hasil pemilu 2024. Jadi, tidak ada 6 kotak suara (di DKI Jakarta) atau 7 kotak suara (di Provinsi lain) sekaligus pada pemilu dan pilkada serentak 2024.

Skema ini juga dianggap akan lebih efisien, karena lembaga adhoc penyelenggara pemilu dan Pilkada serentak (PPK, PPS, KPPS, Pengawas Pemilu Kecamatan, Pengawas Pemilu Kelurahan, Pengawas TPS) dapat langsung mengerjakan hajatan demokrasi ini secara pararel. Tanpa mengulang tahapan seleksi dan pelantikan.

Sekalipun dapat diprediksi akan ada beberapa tahapan Pilkada yang beririsan waktu pelaksanaannya dengan pemilu, ini PR bagi KPU untuk memastikan tahapan yang beririsan ini tidak menjadi masalah.


Jadi adanya jeda pelaksanaan, setelah presiden, wakil presiden, DPR, DPD dan DPRD dilantik akan  mengurangi kemungkinan chaos dan konflik horizontal antar pendukung yang tidak berujung. Ketika ada gugatan hasil Pilkada, situasi kepemimpinan nasional sudah definitif, sehingga upaya untuk meredam konflik hotizontal dapat lebih kondusif.

Masa Depan Pilkada Serentak

Seperti apa Perppu yang baik untuk memastikan skema pilkada serentak di negeri ini? Ada dua pilihan alternatif. Pertama, tetap menjalankan skema UU Pilkada 10/2016 yang memastikan puncak Pilkada serentak secara nasional dilaksanakan pada 2024.

Artinya, opsi penundaan pilkada serentak 2020 yang akan dilaksanakan pada 2021 memastikan bahwa kepala daerah terpilih hanya menjabat sekitar 3 tahun masa jabatan. Opsi ini juga mengharuskan pemerintah menyiapkan 270 penjabat kepala daerah ketika pelaksanaanya melampaui masa jabatan kepala daerah terkait.


Kedua, mempertimbangkan tawaran alternatif putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 yang dalam putusan itu memberikan alternatif model pemilu serentak yang berjeda dengan waktu. Akan tetapi modelnya adalah pembagian antara Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak.

Teknisnya, Pilkada serentak 2020 diundur hingga 2022, dan 2022 menjadi puncak pelaksanaan Pilkada serentak nasional. Maka untuk mengisi kekosongan masa jabatan hingga 2 tahun kedepan, pemerintah menyiapkan 270 penjabat kepala daerah.

Konsekuensi lainnya adalah, hasil Pilkada serentak 2018 dipotong masa jabatannya setahun, bukan selesai 2023. Tetapi dipercepat menjadi 2022. Opsi kedua ini tentu meniadakan penjabat kepala daerah menuju 2024 dari jabatan kepala daerah yang selesai pada 2022 dan 2023. Tentu ini keputusan sulit. Tetapi dalam konteks mendesain Pilkada serentak yang berjeda waktu dengan pemilu serentak 2024 menjadi penting untuk dipertimbangkan.

Jika pilihan ini ditetapkan, maka Pilkada serentak selanjutnya adalah 2027 dan pemilu serentak selanjutnya 2029. Ada jeda 2 tahun. Jika ini menjadi bagian dari solusi atas perdebatan pola keserentakan pemilu nasional dan Pilkada nasional, mungkin ini bagian dari hikmah Covid-19.

Last but not least, dengan berakhirnya masa jabatan 270 Kepala Daerah yang Pilkadanya tertunda, penting untuk segera dipersiapkan penjabat kepala daerah. Mengapa? Karena APBD yang sudah dialokasikan untuk pelaksanaan Pilkada, yang belum terpakai harus direalokasikan untuk penanganan pandemik Covid-19 di setiap daerah terjangkit.

Dalam kondisi dimana petahana juga bagian dari kandidat dalam kompetisi Pilkada, tentu hal ini berpotensi akan terjadi penyelewengan. Minimal politisasi, sehingga harus dicegah dan diminimalisir.

Dari 34 provinsi dan 514 kab/kota, dengan total 548 pemerintahan daerah di Indonesia. Opsi kedua di atas, penyiapkan 270 penjabat kepala daerah untuk Pilkada serentak 2020 yang tertunda ini, akan lebih ringan dibandingkan jika harus juga menyiapkan penjabat 278 penjabat kepala daerah kembali pada 2022 dan 2023 jika menggunakan opsi pertama.rmol news logo article

Munandar Nugraha
Penulis adalah Pegiat Pemilu

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA