Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Dolar Amerika, Virus Corona, dan Stabilitas Ekonomi Politik

Jumat, 20 Maret 2020, 18:01 WIB
Dolar Amerika, Virus Corona, dan Stabilitas Ekonomi Politik
Ilustrasi/Net
SAYA bukan seorang analis ekonomi politik  yang tajam, tapi sekadar menuangkan pikiran, melihat konstelasi situasi sekarang. Merespons konteks yang sedikit "mengawatirkan" tanpa dibarengi tendensius yang distruktif dan atraktif.

Pertumbuhan ekonomi global mengalami pelambatan drastis. Isu virus Corona (Covid-19) menggiring masyarakat dunia hingga ke tebing mematisurikan. Virus Covid-19 menjadi icon horor yang mendampak "knock down". Keramaian jagad manusia menjadi redup, sepi.

Aktivitas masyarakat tidak bebas lagi, bahkan dibatasi, lalu lintas ekonomi lesu, investasi dan perdagangan saham dunia anjlok, harga minyak mentah dunia terjun bebas. Kini ekonomi global sedang berbenah diri.

Dalam situasi seperti ini, kita harus lebih keras bekerja, juga responsible dalam menghadapi situasi yang gamang dan rentan. Jangan terlampau terjebak dan larut berkepanjangan mengikuti arus informasi dunia tentang gencarnya isu virus Covid-19. Ikhtikat bahwa bangsa ini dapat melepaskan diri dari jejaring "perang paradigma" antara Amerika dengan China itu yang harus kita pahami dengan jeli. Mengapa terjadi perang paradigma, wacana, Amerika dengan China?

Hari ini, perang ekonomi sedang berjalan terkait Amerika dengan China. Amerika sebagai pemimpin dunia, tidak akan menyerah kepada China dalam hal apa saja. Ekspansi ekonomi China yang memiliki jaringan luas dengan overseas Chinese, telah menggeliat dan menunjukkan kekuatannya,  dianggap Amerika sudah melampaui batas toleransi, sedikit banyak akan berpengaruh pada pergeseran roda ekonomi Amerika. Kewaspadaan ini disadari betul oleh Amerika .

Virus Covid-19 yang dianggap sebagai biang keladi mampu merontokkan ekonomi negara-negara yang tidak mempunyai basis ekonomi kuat. Hal itu akan mengakibatkan efek domino. Meski tidak sedahsyat seperti 1997, ketika George Soros mencoba memonopoli dolar Amerika lewat valas, yang pada akhirnya menggerus beberapa mata uang lain khususnya di Asia Tenggara.

Indonesia mendapat dampak yang sangat berat hingga rejim Orde Baru kukut dan terjadi reformasi ekonomi politik. Pengalaman 1997 dapat menjadi pelajaran penting meski isu yang terjadi berbeda.

Peringatan kepada pemerintah sekarang dalam merespons serta mensiasati gelombang besar tsunami wabah penyakit virus Covid-19 yang berdampak pada seluruh aktivitas manusia di muka bumi.

Dunia seakan lumpuh oleh virus tersebut. Meski semua pihak baik dalam negeri maupun luar negeri sibuk mengantisipasi wabahnya virus ini. Bahkan pemerintah mengeluarkan peraturan agar seluruh tempat wisata di tutup, mall ditiadakan aktivitasnya, aktivitas kantor di-lockdown dan transportasi massal dibatasi.
 
Kemandegan aktivitas masyarakat tentu saja berdampak pada lumpuhnya ekonomi. Sedang perkembangan politik juga berakibat menjadi dinamis. Pemerintah jika tidak hati-hati mengurai problematika keadaan ini akan terperosok pada jurang kesengsaraan.

Isu virus Covid-19 membuat pikiran saya menjadi terbalik. Ini hanya sekadar analisis pinggiran yang mungkin menjadi kontradiktif di saat dunia bersama-sama memerangi virus yang mahadahsyat ini.

Virus Covid-19 diyakini dapat membunuh manusia dalam waktu singkat. Saya justru sedikit mengkritisi dengan gelora isu  secara masif tentang virus ini. Kewaspadaan tentu saja penting, tapi jangan juga terlampau naif.

Penulis tidak ikut melakukan radikalisasi aturan yang tidak membolehkan ini itu. Jika seluruh aktivitas manusia di-lockdown maka konsekuensinya akan lebih buruk. Ekonomi nasional mengalami pelambatan secara ekstrem.

Virus Covid-19 tidak akan pilih kasih hinggap pada orang yang yang dijangkitinya. Pada Presiden, Menteri, Gubernur, Kiai, Ustaz, Pendeta, Jenderal, tukang dawet, penjual sayur mayur pasar, sopir angkot, cendikia, mahasiswa, dll.

Virus ini dianggap mematikan. Dari cerita semua tentang pembicaraan virus Covid-19 yang mendunia yang kemudian menjadi aneh bagi saya adalah, begitu cepat kabar bahwa Amerika kini sudah tersedia obat penyembuh virus tersebut. Begitu juga China mengklaim sudah memproduksi obat yang dapat membunuh virus Covid-19.

Senjata Biologi


Dua negara Adidaya, Amerika dan China, kini bertarung dengan narasi virus Covid-19. Pendulum virus dijadikan alat politik tingkat dunia yang mampu menghipnotis semua golongan kelas masyarakat.

Praktik bisnis antibiotik dan serum penawar virus Covid-19 akan menjadi trading system yang kini sudah tersedia di Amerika dan China. Di balik tebaran virus Covid-19, penulis curiga ada agenda besar di balik semua peristiwa ini.

Kehebatan berita tentang mewabahnya virus dibarengi ketakutan massif menjadi alasan "mengkarantina kegitan masyarakat, apapun aktivitasnya".

Perang dagang senjata biologi mematikan bukan saja sebagai program bencana kemanusiaan, tapi kita diseret menjadi bangsa yang idiot seperti menghadapi para zombi yang akan mengejar kita kemanapun berlindung.

Bisa jadi ini adalah program "perang dunia ketiga" yang secara langsung akan berbenah dalam "the emerging force" nya Amerika.

Sebab di kala Jepang menghancurkan Pearl Harbour serta Jerman dan Italia, Jepang melawan Britania raya yang kemudian Jerman dan Jepang harus mengakui kekalahan pada Sekutu yang dikomandoi Amerika.

Pascaperang dunia kedua, secara dinamis perekonomian dan politik dunia terjadi pergeseran. Persenjataan militer, nuklirisasi, menjadi agenda utama pembahasan pertemuan kepala negara di dunia.

Senjata biologis disinyalir telah disebar di Wuhan China. Dengan demikian etnis China menjadi bahan olok-olok dan menjadi negara yang tertuduh sebagai biang penyebaran virus Covid-19. Seluruh mata dunia terarah pada Wuhan.

Indonesia Dalam Dua Sisi

Perang ekonomi bahkan senjata biologi antara Amarika dengan China kini sedang berjalan. Sejauh mana China pandai menyangkal dan membersihkan nama buruknya dari tebaran isu virus Corona.

Benua Eropa, Timur Tengah, Asia, Afrika, Australia dibikin heboh dengan virus Covid-19. Bahkan kegiatan ibadah di Saudi untuk sementara ditiadakan. Sampai begitu takutnya manusia akan tertular wabah virus ini. Di beberapa negara Eropa, juga Indonesia beberapa tempat ibadah steril dari kegiatan spiritualitik.

Manusia merasa hidup mereka tidak lagi aman. Hidup dihantui oleh perasaan waswas dan tak percaya diri. Tidak kah para simbok dari Jawa yang tiap malam hari kurang menghiraukan akan bahaya virus Covid 19?

Para simbok tetap saja berjualan sayur mayur, ikan laut, buah-buahan. Meski mereka mendengar akan bahaya virus beserta dampaknya, tetapi mereka tetap menjalankan aktivitasnya.

Jika saja para simbok mengikuti anjuran Pemerintah Daerah secara konsisten mengikuti Lockdown dan tinggal di rumah, lantas siapa yang bertanggung jawab akan ekonomi mereka?

Adakalanya mereka berjualan sayur dengan mendapatkan keuntungan yang habis buat makan hari itu juga. Masyarakat menengah ke bawah memiliki imunisasi ekonomi tersendiri .

Mereka sudah terlatih menghadapi berbagai isu penyakit. Dari virus flu burung, virus Zika, virus Ebola, dan lain-lain. Perekonomian rakyat kecil tetap berjalan meski nilai tukar dolar sudah di atas 16 ribu rupiah/dolar.

Yang menjadi soal adalah bisnis tingkat atas, perbankan, impor, manufaktur akan terasa dampaknya. Dari munculnya isu virus Corona hingga memerangi serta pencegahannya bukan saja dilakukan Lockdown tapi semangat untuk tidak mempercayainya menjadi kemungkinan salah satu cara  melepaskan hegemoni atau penindasan sistem berpikir manusia dari intervensi radikal tentang segala macam isu virus. Apalagi harus meliburkan shalat bersama.

Sebab ibadah lebih utama dibanding harus dikooptasi oleh perang biologis yang kini mengklaim sama-sama? Mempunyai obat penawar dari virus yang bernama Covid-19.

Jangan sampai kita menjadi paranoid akibat para zombi Corona. rmol news logo article

Eko S Dananjaya

Aktivis 80-an

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA