Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

American First, Penghapusan GSP Dan Dampaknya Terhadap Ekonomi

Kamis, 27 Februari 2020, 18:06 WIB
<i>American First</i>, Penghapusan GSP Dan Dampaknya Terhadap Ekonomi
Ilustrasi/Net
KONSEKUENSI status Indonesia tidak lagi negara berkembang oleh Amerika adalah Indonesia kehilangan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) atau kehilangan keringanan bea masuk impor barang ke AS dan fasilitas bantuan Official Development Assistance (ODA) atau bantuan pembiayaan dari eksternal untuk pembangunan sosial dan ekonomi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Indonesia tidak sendiri bersama China, Afrika Selatan dan Brasil telah kehilangan fasilitas GSP tersebur. India dan Turki juga telah dikeluarkan dari status fasilitas GSP oleh AS pada tahun lalu 2019.
GSP merupakan sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO.

Kelebihan GSP ini diakui oleh WTO, jadi kehilangan fasilitas GSP di AS tersebut  akan diikuti juga hilangnya fasilitas impor di beberapa negara lain seperti Eropa dan anggota OECD lainnya.
 
Konsekuensi kehilangan fasilitas GSP adalah harga produk Indonesia di luar negeri baik di AS maupun di negara lainnya akan menjadi lebih mahal dari biasanya. Tentu saja ini merugikan neraca perdagangan RI.
Di era sebelum Trump, AS memasukan 26 negara berkembang dengan lebih dari 4800 produk ke dalam fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dengan tujuan merangsang perdagangan dengan negara berkembang sebagai bagian dari pelebaran kekuatan ekonomi AS.

Terdapat 157 negara di dunia yang dapat dinyatakan sebagai negara berkembang namun mereka yang dapat mendapatkan fasilitas GSP harus dengan syarat sulit yaitu mendapat persetujuan kongres AS.
Kini Presiden Trump mencabut fasilitas GSP terhadap berbagai negara sebagai konsekuensi politik ekonomi Trump yang bermotto “American First”.

Pencabutan fasilitas GSP terhadap India 2019 lalu didasarkan karena India adalah penerima manfaat terbesar dari pembebasan impor AS yaitu USD 5.6 miliar per tahun menurut BBC. Sedangkan terhadap Turki lebih kepada alasan politik karena Turki berani membeli alat pertahanan negara dari Rusia, pesaing utama perlengkapan militer AS dan Turki mendukung Venezuela melalui pembelian emasnya.

Tujuan pencabutan GSP serupa dengan tujuan Trade War dengan China yaitu Trump menginginkan keseimbangan dalam perdagangannya. Negara penerima GSP dituduh melakukan upah rendah dan mengobral fasilitas investasi lainnya (seperti tax evasion dan tax holiday) sehingga pemilik modal AS lebih menarik melarikan modalnya ke negara tersebut sehingga AS kehilangan banyak pekerjaan dan banyak keuntungan di pasar internasionalnya.

AS memilih diplomasi dagang yang bersifat proteksionist. Trump yakin dengan isu tersebut dirinya akan terpilih kembali pada November mendatang oleh  kubu konservatif yang menuduh kebijakan kaum liberal dengan pasar bebasnya menyebabkan AS kehilangan banyak pekerjaan dan berurut-urut mengalami double defisit yaitu defisit fiskal dan defisit neraca perdagangan internasionalnya.

Hal ini adalah alasan utama dari pencabutan status Indonesia dan negara lainnya sebagai negara berkembang yang menikmati fasilitas GSP.
Adalah pembodohan jika ada juru bicara yang menyatakan rasa bangganya bahwa Indonesia kini menjadi negara maju di mata Amerika.

Kenyataan sebenarnya adalah Indonesia tetap menjadi negara berkembang tanpa fasilitas GSP, kemarin Indonesia adalah negara berkembang dengan fasillitas GSP.

Potensi Terpuruknya Neraca Perdagangan Indonesia.
 
Kehilangan fasilitias GSP adalah kerugian bagi daya saing produk Indonesia di luar negeri yang ujungnya menambah besar defisit neraca perdagangan RI.

Oleh karena itu Indonesia sedang mencari jalan bagaimana mendapatkan fasilitas serupa tanpa payung GSP. Jalan tersebut adalah melalui limited free trade agreement (LFTA) antara Indonesia dan Amerika.

Fasilitas LFTA ini dapat disamakan sebagai GSP previllage Indonesia.
Melalui LFTA Indonesia akan mendapatkan fasilitas dari AS sekitar USD 2,4 miliar per tahun namun hal tersebut baru terealisasi pada April 2020 setelah Tim US Trade Representative (USTR) mengklarifikasi tuduhan subsidi biodiesel dan subsidi perikanan pada produk pertanian/perkebunan Indonesia dengan Tim Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan.

Produk Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP sebanyak 3.544 produk mayoritas adalah karet, ban mobil, emas, perhiasan logam, alumunium, baterai, hingga sarung tangan dengan total fasilitas sebesar USD 2,1 miliar pada 2018.

Hubungan dagang Indonesia-AS selalu surplus dalam 10 tahun terakhir. Di tahun 2019 Ekspor ke AS sebesar 17,7 miliar USD, Impor dari AS sebesar 9.3 miliar USD dan Indonesia mendapatkan surplus perdagangan 8,4 miliar USD.

Ketiadaan GSP diprediksi Indonesia akan mengalami defisit perdagangan dengan AS karena harga indonesia lebih mahal di pasar AS.
 
Tim Ekonomi harus berhati-hati bila pencabutan fasilitas GSP Amerika ditiru oleh Uni Eropa dan 12 Negara lainnya (Terutama Australia, Kanada, Rusia dan Jepang). Produk Indonesia yang menerima fasilitas serupa GSP dari Uni Eropa lebih tinggi dari AS. Uni Eropa mengizinkan 40 persen produk ekspor Indonesia menerima potongan bea masuk sementara Amerika hanya 9 persen produk ekspor Indonesia.

Kita semua harus waspada karena tahun 2020 defisit perdagangan akan membesar dari yang diprediksi ditambah virus corona dan adanya kehilangan GSP di Amerika akan memukul lebih dalam perdagangan kita.

Neraca perdagangan Indonesia di bulan pertama Januari 2020 telah mengalami defisit sebesar 864 juta USD bila kita tidak memperbaiki diplomasi dagang kita, maka pertumbuhan Indonesia akan beresiko dibawah 5% dan kita bisa mengalami double defisit yang mengancam reputasi nilai tukar rupiah di masa depan. kita harus waspada dan bersiap! rmol news logo article

Hidayat Matnoer
Pengamat Kebijakan Publik 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA