Selamat Idul Fitri
Selamat Idul Fitri Mobile
Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Konflik Idlib: Lima Pilihan Kebijakan Dan Dampak Ekonomi Dunia

Kamis, 20 Februari 2020, 16:50 WIB
Konflik Idlib: Lima Pilihan Kebijakan Dan Dampak Ekonomi Dunia
Kondisi Idlib, Suriah/Net
POTENSI eskalasi perang di Idlib meninggi, media internasional memberitahukan bahwa Idlib memasuki fase baru dan perang sulit dihindari. Pasukan rezim Suriah, yang didukung oleh Rusia dan Iran, telah menguasai jalan strategis yang dikenal jalan highway M4 dan M5 yang masing-masing menghubungkan kota Latakia dan ibukota, Damaskus, ke Aleppo.

Latakia adalah basis kombatan tentara Rusia di Suriah dan Damaskus-Aleppo adalah kota yang dikuasai rezim Assad.

Kemajuan pasukan Suriah Assad didukung dengan pesawat pemboman udara Rusia telah memicu konflik baru. Kemajuan pasukan tersebut telah menewaskan 13 tentara Turki dan telah menyebabkan ratusan ribu warga sipil melarikan diri ke perbatasan Turki. Hal tersebut akhirnya mendorong Presiden Turki Erdogan untuk mengambil tindakan.

Presiden Turki telah lama bermimpi menjadikan Turki menjadi negara sunni terpandang di dunia yang bersaing dengan Iran sebagai negara syiah terbesar di timur tengah. Seolah-olah Idlib adalah jalan terbuka untuk mewujudkan impian itu.

Selasa (18/2) media mengabarkan bahwa militer Turki telah mengirim ribuan tentaranya dan ratusan konvoi tank ke Idlib untuk memperkuat pos pengamatannya di barat laut, yang telah dikuasai pasukan rezim Suriah dan mendirikan pos baru di daerah yang dikuasai oposisi.

Turki khawatir bahwa tujuan utama Rusia adalah untuk mengepung pasukan oposisi Assad dan memotong rute pasokan utama dari wilayah Turki, suatu perkembangan yang sangat ingin dihindari oleh kedua pihak.

Presiden Erdogan (19/2) mengatakan eskalasi di Idlib adalah “matter of time”. Erdogan telah mempertimbangkan pilihan-pilihannya untuk mencegah kekalahan total sekutu-sekutu turki di Suriah dan IIdlib adalah kota terakhir dari empat zona deeskalasi yang disepakati oleh Rusia, Iran dan Turki pada 2017.

Tiga kota lainnya seperti Ghouta Timur, Provinsi Deraa dan Kota Quneitra di selatan, dan Kota Rastan-Talbiseh di Provinsi Homs, ditaklukan oleh pasukan Assad satu demi satu dalam rentang waktu satu tahun.

Setiap pengambilalihan kota tersebut, puluhan ribu warga sipil dan pejuang yang tidak ingin tinggal di bawah pemerintahan rezim diizinkan pergi ke Idlib, menambah populasi pengungsi yang terus bertambah. Sebelum pengungsi datang, populasi Idlib sekitar 1,5 juta, kini populasi Idlib mencapai 3,1 juta jiwa.

Pada tahun 2018, Turki berhasil menyelamatkan Idlib dengan mengadakan perjanjian dengan Rusia di Sochi untuk membangun zona demiliterisasi di Idlib. Sebagai imbalannya, Turki berjanji untuk melucuti senjata kelompok Hay'et Tahrir al-Sham (HTS), kelompok Islam bersenjata yang sebelumnya dianggap terkait dengan al Qaeda, dari daerah demiliterisasi. Kedua pihak juga sepakat untuk membuka kembali M4 dan M5 untuk perdagangan dan pergerakan barang.

Namun, perjanjian Sochi tersebut tidak pernah dilaksanakan secara penuh. Turki tidak bisa memaksa HTS untuk menghormatinya, sementara Rusia tidak menghentikan pasukan rezim Suriah dari menyerang zona aman sebagai solusi sementara dan pada akhirnya bertujuan agar semua wilayah Suriah kembali di bawah kendali rezim Assad.

Dalam hal ini, peningkatan dalam Idlib tidak bisa dihindari. Tapi tidak seperti pengambilalihan zona deeskalasi lainnya, jatuhnya Idlib akan menjadi bencana bagi Turki. Ini berarti kekalahan total oposisi Suriah dan pengucilannya Turki, pendukung utama oposisi, dalam negosiasi di masa depan, yang akan menjadi kerugian diplomatik utama yang diberikan bertahun-tahun keterlibatan Turki dalam konflik Suriah.

Selain itu, pengambilalihan Idlib akan mengakibatkan pengusiran sekitar 3,1 juta warga sipil ke perbatasan Turki atau daerah perbatasan kecil yang dikontrolnya di Provinsi Aleppo utara. Dengan meningkatnya pengungsi Suriah, Turki tidak mampu mengakomodasi lebih banyak warga Suriah di wilayahnya.

Di luar isu Idlib, hubungan Turki-Rusia sebenarnya makin membaik. Hubungan Turki-Rusia memanas tahun 2015 setelah militer Turki menjatuhkan jet tempur Rusia di dekat perbatasan Suriah-Turki. Sebagai tanggapan, Rusia melarang impor barang-barang Turki dan melarang turis asal Rusia ke Turki. Ini sangat merugikan perekonomian Turki.

Setelah upaya kudeta terhadap Presiden Recep Tayyip Erdogan pada Juli 2016 gagal. Erdogan meminta Amerika menangkap mastermind utama seorang tokoh Turki Gulen, namun Amerika menolak. Hal tersebut menyebabkan Turki membangun komunikasi dengan Putin, Rusia.

Tahun 2017-2019, hubungan Turki-Rusia makin erat, meskipun Turki masih anggota NATO. Rusia adalah mitra dagang utama Turki, perdagangan Turki-Rusia mencapai lebih dari 25 miliar dolar AS per tahun dan yang lebih penting, Turki menjadi pusat transit untuk ekspor gas Rusia ke Eropa.

Bulan Januari lalu, Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin meresmikan Proyek Turk Stream, yaitu pembangunan pipa gas yang melintasi Laut Hitam dari Rusia ke Turki untuk mengirimkan gas ke Eropa tenggara.

Turki berharap mendapatkan dukungan Rusia atas meningkatnya ketegangan atas pengeboran gas di Mediterania Timur, terutama setelah AS mendukung Yunani daripada Turki.

Kerja sama antara Turki dan Rusia juga meningkat di Libya, di mana kedua negara saling mendukung kelompok Libya yang berseberangan. Turki dan Rusia telah secara aktif terlibat dalam upaya menegosiasikan gencatan senjata untuk meredam konflik di Libya dengan pelibatan PBB.

Kerja sama Turki-Rusia juga semakin intensif di bidang pertahanan. Turki membeli sistem pertahanan rudal S-400 dari Rusia, meskipun ditentang sekutu NATO-nya, dan juga telah membahas kemungkinan pembelian jet tempur Rusia Su-35 dan Su-57.

Lima Skenario


Turki memiliki lima pilihan kebijakan yang bisa dipilih terkait ketegangan Idlib menguat  akhir-akhir ini di antaranya adalah:

Opsi pertama, meluncurkan perang terbuka terhadap tentara Asad yang menguasai jalan highway M4 dan M5 dengan menghindari konflik langsung dengan Rusia. Opsi ini diambil Erdogan dalam rangka meningkatkan dukungan dalam negeri dan pembalasan atas meninggalnya 13 tentara Turki.

Opsi kedua, Turki meminta Rusia untuk setuju atas menegakkan kembali perjanjian zona deeskalasi di Idlib dan memerintahkan pasukan Suriah Assad untuk kembali ke posisi yang mereka pegang sebelum ofensif terbaru. Opsi ini yang paling menguntungkan karena tidak ada perang terbuka dan Erdogan dinilai menyelamatkan muka Turki di dunia internasional.

Dalam opsi kedua ini Turki dapat meminta proses penyelesaian politik atas Suriah dijalankan kembali tertutama dengan memulai pertemuan-pertemuan komite konstitusional, yang ditugaskan untuk merancang amandemen konstitusi Suriah yang disetujui oleh rezim Assad, oposisi dan komunitas internasional.

Opsi kedua sangat kecil terjadi karena Assad tidak akan mengalah atas wilayah Suriah, tapi mungkin jika tekanan dunia khususnya Amerika terhadap Assad menguat.

Opsi ketiga adalah Turki menerima kenyataan baru di lapangan dan memungkinkan rezim Suriah mengendalikan jalan raya M4 dan M5, tetapi menggunakan kekuatan diplomasi untuk mencegah kemajuan lebih lanjut. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun pos-pos "zona aman" di garis depan Idlib dan memasok oposisi Suriah dengan senjata berat, terutama rudal anti-pesawat. Tampaknya Turki dapat mengadopsi kebijakan ini mengingat dua helikopter rezim dijatuhkan di Idlib dengan senjata anti pesawat.

Opsi keempat, Turki memanggil semangat solidaritas NATO dan dunia internasional di PBB untuk menekan Assad agar mundur dari ofensif baru atas nama kemanusiaan. Opsi ini diambil tanpa konflik langsung dengan Rusia meski Rusia akan memveto di dewan keamanan PBB jika ada upaya yang meminta mencampuri urusan dalam negeri Assad.

Opsi kelima adalah eskalasi terbuka dengan Rusia dan Assad. Kehadiran senjata anti pesawat di Idlib telah meningkatkan risiko pesawat Rusia ditembak jatuh. Militer Turki kemungkinan akan mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari perkembangan berbahaya seperti itu, tetapi mengingat pengiriman tentara besar-besaran situasi konfrontasi dengan pasukan Rusia tahun 2015 mungkin terulang.

Dari kelima opsi tersebut, Erdogan akan memutuskan tergantung juga bagaimana sikap AS. Menurut Al Jazeera, sejauh ini Washington telah mengirim sinyal multitafsir ke Erodogan. Sekretaris Negara AS Mike Pompeo menyatakan dukungannya untuk Turki, dan begitu pula Perwakilan Khusus Suriah James Jeffrey.

Sementara Pentagon, menanggapi dengan mengatakan bahwa "tidak ada perjanjian yang dibuat AS” dalam mengambil langkah-langkah lebih konkret di Idlib. Bila AS mendukung penuh Turki maka Turki akan semakin percaya diri untuk melakukan ofensif terbuka terhadap Assad di Idlib.

Dampak Ekonomi Dunia


Bila AS dan Turki bersatu dalam mempertahankan Idlib dari pasukan Assad dan Rusia, sehingga perang di Idlib tidak terhindarkan maka ekonomi dunia semakin sulit.

Perang Idlib akan menciptakan ketidakpastian baru terhadap ekonomi dunia. Konflik tersebut melibatkan beberapa negara Turki, Rusia, negara anggota NATO, termasuk Amerika dan Iran akan menjadi battleground baru dari konflik yang sebelumnya sudah terjadi.

Ekonomi dunia sudah berat karena penyebaran virus corona, ekonomi dunia sebelum penyebaran virus corona diproyeksikan WEF IMF tumbuh 3,2 persen, dengan virus corona mungkin menyusut menjadi sekitar 2,5 persen.

Perang Idlib akan menambah berat pertumbuhan ekonomi dunia karena jalur perdagangan di kawasan mediterania tidak aman. Beberapa ekonomi memprediksi ekonomi dunia jika ditambah konflik baru di Idlib dapat sekitar 2,0 hingga 2,5 persen saja. Hal tersebut tentu akan merugikan semua orang.

Momen ini adalah titik kritis, keputusan besar harus dibuat di Ankara, Moskow dan Washington dalam beberapa minggu mendatang, keputusan yang dapat menentukan fase selanjutnya dari konflik Suriah. rmol news logo article

Hidayat Matnoer

Pengamat kebijakan publik, yang juga Ketua Bem UI 2003-2004

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA