Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Baikkah Omnibus Law Cipta Kerja?

Selasa, 18 Februari 2020, 17:31 WIB
Baikkah Omnibus Law Cipta Kerja?
Adam Muhshi/Repro
RANCANGAN Undang Undang tentang Cipta Kerja, omnibus law, usulan pemerintah telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Omnibus law tersebut menurut pemerintah adalah dalam rangka mengatasi tumpang tindihnya ketentuan beberapa undang-undang dan menghilangkan ketentuan yang menghambat investasi dan pertumbuhan usaha, atau dengan kata lain tujuannya adalah untuk perbaikan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Klaim pemerintah tersebut, ternyata berbeda dan telah dibantah oleh banyak pihak. Publik menilai bahwa substansi omnibus law tersebut justru banyak mengandung cacat (buruk/salah).

Beberapa substansi yang dianggap cacat dan mendapat hujan kritik antara lain dihilangkannya upah minimum, kemudahan ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK), dan cacat-cacat lainnya yang pada prinsipnya dinilai akan merugikan tenaga kerja, serta dicabutnya izin lingkungan.

Terhadap substansi-substansi yang jadi sasaran kritik tersebut masih dapat diperdebatkan tentang baik atau buruknya tergantung siapa yang menilai dengan dalilnya masing-masing. Apalagi substansi-substansi omnibus law tersebut masih berupa rancangan undang-undang yang masih dapat dikoreksi dan diberi masukan oleh publik dalam pembahasannya di DPR.

Akan tetapi tidak demikian dengan cacat yang terkandung dalam ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja tersebut. Pasal 170 RUU Cipta Kerja menentukan bahwa pemerintah dapat mengubah ketentuan dalam undang-undang (UU) melalui peraturan pemerintah (PP).

Cacat ini sifatnya mutlak dan tidak perlu diperdebatkan lagi tentang benar atau salahnya, sebab tentang kesalahannya memang tidak dapat terbantahkan dalam perspektif negara hukum yang demokratis. 
Dalam negara hukum yang demokratis, pemencaran kekuasaan dilakukan melalui pembentukan lembaga-lembaga negara dalam konstitusinya agar kekuasaan tidak terpusat dalam satu tangan yang akan menimbulkan absolutisme. Kepada lembaga-lembaga negara tersebut kemudian diberikan kewenangan masing-masing dimana kewenangan-kewenangan itu saling membatasi satu sama lain (power limits power).

Termasuk dalam konteks tulisan ini, berdasarkan prinsip power limits power kewenangan presiden dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terbatas dan dibatasi oleh kewenangan lembaga-lembaga negara lainnya.
Kewenangan presiden dalam pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) sudah ditentukan dan dibatasi oleh ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut menentukan bahwa: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.

Berdasarkan ketentuan ini, maka kewenangan presiden dalam membentuk PP terbatas hanya dalam rangka untuk menindaklanjuti ketentuan undang-undang lebih lanjut. Secara a contrario, presiden tidak diperkenankan mengatur suatu hal yang seharusnya menjadi materi muatan undang-undang yang kewenangannya oleh konstitusi diberikan kepada lembaga legislatif (DPR/DPD).

Oleh sebab itu, presiden tidak dapat mengubah ketentuan (materi muatan) omnibus law cipta kerja karena secara konstitusional ia dibatasi oleh kewenangan DPR/DPD.
Pemberian kewenangan kepada Presiden untuk mengubah dan/atau mengatur materi muatan undang-undang dengan peraturan pemerintah secara teoritis telah menabrak prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan prinsip ini, pembatasan, pencabutan atau pengurangan  terhadap hak asasi manusia dan hak warga negara hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari rakyat itu sendiri.

Persetujuan rakyat dalam konteks negara hukum Indonesia adalah UU yang merupakan produk legislasi dari DPR. Sebagai wakil rakyat, DPR merupakan personifikasi dari rakyat sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh DPR identik sebagai sebuah persetujuan rakyat (Adam Muhshi, 2015).

Artinya bahwa, kewenangan presiden untuk mengubah ketentuan omnibus law cipta kerja berpotensi masuk pada pembatasan hak asasi dan hak warga negara sehingga tentu saja bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana telah ditegaskan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.

Selain itu, frase “untuk menjalankan undang-undang” pada ketentuan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 secara implisit mengisyaratkan bahwa peraturan pemerintah hierarkinya berada di bawah undang-undang. Hal ini kemudian diatur lebih lanjut secara tegas dalam Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menentukan bahwa hierarki PP berada di bawah UU.

Konsekuensinya, berdasarkan asas contrarius actus perubahan terhadap ketentuan UU omnibus law tidak dapat dilakukan melalui PP tetapi hanya dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan yang derajatnya sama, yaitu UU atau Perppu.

Perubahan ketentuan omnibus law melalui PP bertentangan dengan asas contrarius actus yang bermakna bahwa pencabutan atau perubahan suatu peraturan perundang-undangan atau suatu keputusan hanya boleh dilakukan oleh lembaga pembentuknya sendiri serta dalam bentuk yang sama.

Kajian di atas telah menunjukkan bahwa pemberian kewenangan kepada Presiden untuk mengubah ketentuan UU omnibus law melalui PP berkarakter otoritarian. Karakter seperti itu tentu saja sangat bertentangan dengan prinsip konstitusionalisme dalam frame negara hukum yang demokratis.

Semoga norma berkarakter otoritarian yang tertuang dalam ketentuan Pasal 170 RUU Cipta Kerja tersebut, muncul di luar kesengajaan dan kesadaran pemerintah. Sebab, jika misalnya norma itu telah dimunculkan dengan sengaja, maka tidak dapat disalahkan apabila publik kemudian menengarai bahwa penyakit otoritarianisme sedang merasuk di dalam tubuh pemerintah dengan wajah Omnibus Law Cipta Kerja.rmol news logo article

Adam Muhshi

Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA