Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perlunya Mekanisme Internasional Terhadap Kombatan/Simpatisan ISIS

Senin, 10 Februari 2020, 14:29 WIB
Perlunya Mekanisme Internasional Terhadap Kombatan/Simpatisan ISIS
Ilustrasi/Net
SALAH satu yang membuat rezim hak asasi manusia kuat karena ia ditopang oleh hukum internasional yang diakui oleh negara anggotanya, termasuk terdapat perangkat kelembagaan pengadilan internasional (ICC)di DenHaag yang berperan menggelar pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan.

Kita tahu bahwa ISIS, telah melakukan kejahatan luar biasa, bahkan sebanding atau melebihi kejahatan kejahatan HAM yang pernah diproses oleh ICC: Bosnia, Rwanda, dll.

Yang membuat nampak berbeda kejahatan ISIS dengan kejahatan HAM sebelumnya adalah ia dilakukan oleh sebuah institusi yang bersifat supra nasional: sebuah lembaga yang berniat menyatukan beberapa teritori negara yang ada melalui ekspansi yang kejam di satukan dalam negara Islam internasional.

Kita bisa bayangkan, seandainya ISIS menang, seluruh mekanisme internasional yang kini ada akan dirusak, termasuk lembaga PBB, dan bisa jadi akan menciptakan lembaga PBB baru sesuai keinginannya. Dunia akan mengalami peperangan terus menerus, hingga ISIS menjadi kekuatan superpower.

Bahkan saat kini hancur, dunia internasional diberi pekerjaan rumah: Sebagian besar negara saat inj sedang kebingungan, bagaimana memperlakukan para pendukung yang jumlahnya ribuan. Banyak negara tak mau menerima eks warganya yang sudah masuk menjadi anggota/simpatisan ISIS. Tentu alasannya adalah karena keamanan, dan kukira itu wajar. Inilah problem yang sedang kita hadapi. "Sampah-sampah" ISIS ini mau dikemanakan?

Sebagai bagian dari kelompok yang turut memperjuangkan Isu HAM, tentu saja saya berharap negara Indonesia menggunakan prinsip prinsip HAM dalam menyeleksi simpatisan ISIS yang ingin kembali ke Indonesia. Dengan kata lain, saya tidak setuju jika pemerintah Indonesia langsung menutup pintu rapat-rapat terhadap keinginan simpatisan ISIS yang berniat pulang ke Indonesia. Masalahnya adalah bagaimana caranya jika kita membuka diri terhadap mereka yang hendak pulang?

Setidaknya ada dua persoalan yang pasti akan menimbulkan prokontra Di masyarakat. Pertama, bagaimana cara terbaik menyeleksi para simpatisan ISIS. Dengan cara apa? Kukira ini bukan pekerjaan mudah. Kita harus menyeleksi satu persatu sekitar 600 simpatisan yang hendak kembali ke Indonesia. Lembaga mana yang kelak diserahi untuk melakukan proses seleksi? Apakah ia lembaga independen atau kah bagian dari pemerintah saat ini? Bagaimana proses transparansinya?
Kedua, adalah ketika proses seleksi sudah terjadi, pertanyaan berikutnya adalah, apakah ketika mereka diterima kembali seperti WNI, apakah mereka akan di lepas begitu saja, atau perlu dilakukan pengawasan atau untuk sementara mereka di karantina?

Ini adalah masalah serius, karena harus dapat menjawab kekahwatiran berbagai pihak atas resiko keamanan bagi sebagian besar warga lain, mengingat begitu kuatnya doktrin ISIS yang menafikan keberadaan negara negara di dunia saat ini. Doktrin yang menghalalkan segala cara termasuk melakukan pembunuhan demi mencapai tujuannya. Bagaimana mengawasi/me monitor keberadaan mereka yang sudah memperoleh kewarganegaraan WNI nya adalah persoalan paling serius, salah penanganan akan sama seperti membiarkan jerami kering terbakar dimusim kemarau.

Sebelum dua masalah itu dapat didudukkan lebih terang benderang dan transparan, sebaiknya pemerintah Indonesia tidak perlu tergesa gesa menjawab apakah mereka perlu diterima kembali atau tidak. Sebaiknya, kita menunggu atau bila perlu mendesak atau menyerukan dunia internasional agar memikirkan mekanisme internasional apa yang akan di bentuk kelak dalam menangani/mengatasi/menjawab nasib ribuan kombatan/simpatisan yang saat ini masih berada di Syria dan mungkin di tempat lain yang sebagian besar hendak kembali ke negara asalnya. Dengan melihat tingkat kejahatan yang sudah begitu besar yang telah dilakukan ISIS, nampaknya pengadilan internasional adalah proses yang harus mereka lalui terlebih dahulu sebelum mereka dikembalikan ke negaranya masing masing.

Jadi, lebih baik saat ini pemerintah Indonesia menunda keputusan Menerima atau menolak dengan alasan menunggu keputusan internasional. ISIS adalah bentuk kejahatan baru yang melampaui kejahatan kemanusiaan sebagaimana saat ini dikenal dalam ICC (International Criminal Court) . Oleh karena itu , mari kita menyadari kelemahan kelemahan mekanisme nasional dalam mengatasi masalah ini, sebelum mekanisme internasional bertindak. Dengan demikian, kita sudahi saja prokontra di masyarakat yang membuat kita terus terpecah belah. Semoga rmol news logo article

Muhammad Nurkhoiron
Mantan Komisioner Komnas HAM

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA