Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mendudukkan Terminologi Radikalisme

Rabu, 11 Desember 2019, 14:28 WIB
Mendudukkan Terminologi Radikalisme
Indra/Net
ISTILAH radikalisme akhir-akhir ini menjadi kata yang semakin banyak diperbincangkan. Berbagai lembaga, institusi, ataupun organisasi kemasyarakatan di negeri ini menjadikan istilah radikalisme sebagai kata yang disematkan dalam berbagai kebijakan, program, maupun bahan kampanye atau agitasi publik.

Pejabat negara, politikus, aparat penegak hukum, tokoh masyarakat, media masa, dan berbagai kalangan menyampaikan narasi radikalisme dalam banyak kesempatan.

Padahal sampai saat ini terminologi radikalisme masih belum baku pemaknaannya dan masih menggunakan kaca mata subjektif masing-masing pihak yang menggunakan atau menempatkan istilah radikalisme tersebut.

Contohnya pada saat momen pelantikan Menteri Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, Presiden Joko Widodo menyampaikan fokus khusus perihal penanganan radikalisme kepada beberapa menteri yang baru dilantik.

Atau terbitnya SKB 11 menteri/istansi perihal penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara, dan yang teranyar pernyataan Wakil Presiden Maruf Amin bahwa pendataan majelis taklim diperlukan supaya jangan sampai ada majelis taklim mengembangkan radikalisme.

Sejarah Istilah Radikalisme

Kata radikal lahir sejak Revolusi Perancis (1787-1789). Para penentang raja saat Revolusi Perancis menyebut dirinya sebagai "kaum radikal". Saat itu, parlemen Prancis terbagi dua kubu. Semua penentang raja duduk di sebelah kiri, sedangkan pendukung raja duduk di sebelah kanan.

Nah, karena semua kaum radikal duduk di sebelah kiri, maka istilah radikal mengacu pada individu, organisasi atau partai politik yang berfaham kiri, yang menentang status quo.

Di Inggris Raya, istilah radikalisme mengacu pada aktivitas yang menuntut perluasan hak pilih bagi seluruh warga negara. Pada tahun 1797, gerakan "radikal" dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox dengan mendeklarasikan "reformasi radikal" dalam sistem pemilihan untuk reformasi parlemen.

Selanjutnya di Prancis pada abad ke-19, kata radikal merujuk pada aktivitas tiga partai, yakni Partai Republikan, Partai Sosialis Radikal, dan Partai Radikal yang anti-monarki.

Di Amerika Serikat, sepanjang abad ke-19, para aktivis anti-perbudakan (abolisionists) di Amerika Serikat kerap dijuluki radikal oleh lawan-lawan mereka. Dalam konteks ini, gerakan radikal bersifat progresif, positif, dan konstruktif, karena intensinya membebaskan aktivitas perbudakan.

Sejak abad ke-19, pemikiran dan gerakan radikal bertumbuh menjadi liberalisasi politik untuk melakukan reformasi atau perubahan kehidupan politik yang progresif. Gerakan "Kiri Baru" di banyak negara termasuk dalam radikalisme.

Sedangkan komunisme merupakan lanjutan paham marxisme radikal, yang dalam sejarah dunia di mana pun menimbulkan gerakan-gerakan kekerasan karena pandangannya yang serba monolitik dan diktatorial dalam pemerintahan maupun proletarianisme yang mendewakan populisme.

Selain "kelompok kiri", juga dikenal ekstremisme sayap kanan yang umumnya berasosiasi dengan ideologi fasisme, rasisme, supremasisme, dan ultra-nasionalisme. Studi Elisabeth Carter (2018) menjelaskan bahwa radikalisasi sayap kanan umumnya mengambil bentuk kampanye kebencian terhadap kelompok minoritas, imigran, serta kelompok kiri. Neo-Nazi di Jerman, Golden Dawn di Yunani, serta Front National di Perancis adalah contohnya.

Radikalisme juga muncul dari sikap kedaerahan yang disertai paham dan sikap ekstrem, yang mengandung sikap chauvinis, termasuk sikap anti terhadap orang dari daerah luar dan lebih-lebih bila sering memberikan ancaman merdeka manakala tidak puas terhadap keadaan, juga dapat dikategorikan sebagai radikal dan radikalisme. Demikian halnya dengan primordialisme lain yang serba ekstrem.

Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, para pejuang yang berjuang dan berperang melawan pemerintahan kolonial Belanda dikenal atau dilekatkan oleh pemerintahan kolonial Belanda sebagai kaum radikal dan pemberontak. Bagi Pemerintahan Kolonial Belanda, Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Kapitan Pattimura, Tuanku Tambusai, Nyi Ageng Serang, Hasanuddin, Panglima Soedirman, KH. Hasyim Ashari, Ahmad Dahlan, Adam Malik, Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, Bung Tomo, Syafruddin Prawiranegara, Soekarno, Mohammad Hatta, dan ribuan pejuang kemerdekaan lainnya merupakan orang-orang yang dilabeli radikal.

Selain itu sejarah juga mencatat, setelah Indonesia merdeka juga mengalami beberapa peristiwa yang dikategorikan sebagai gerakan radikalisme-ekstrem. Diantaranya yakni, berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), gerakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII), gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta), gerakan Aceh Merdeka (GAM), gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM), berbagai serangan teroris dan bom bunuh diri di beberapa tempat, pembantaian pendatang di Wawena-Papua beberapa waktu lalu, dan masih ada beberapa contoh lainnya.

Pengertian Radikal Dan Radikalisme

Dalam banyak literatur disebutkan bahwa kata "radikal" berasal dari kata bahasa Latin, yakni "radix atau radicis". Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal sama dengan menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh, dan tajam.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai "secara menyeluruh", "habis-habisan", "amat keras menuntut perubahan", dan "maju dalam berpikir atau bertindak". Radikal ialah usaha bersama untuk mengubah status-quo (Collins Dictionary of Sociology, 1991).

Dalam pengertian yang lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, dan ilmu sosial untuk mencapai kemajuan.

Dengan demikian jelas bahwa istilah radikal sebenarnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan, bisa positif dan bisa negatif. Misalnya mereka yang menganut paham radikal artinya yang ingin kembali ke sesuatu yang asli atau akar yang sifatnya mendasar. Jika beragama, berarti kembali ke pondasi yang murni dan mendasar, demikian pula radikal dalam ideologi atau sikap hidup lainnya.

Sedangkan radikalisme berasal dari akar kata radikal. Kamus ilmiah popular karya M. Dahlan al Barry, radikalisme diartikan sebagai faham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa "radikalisme" merupakan (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik.

Menurut Dr. Alex P. Schmid, radikalisme jauh lebih tidak bermasalah bagi masyarakat demokratis daripada ekstremisme. Radikal bisa bersifat reformis dan tanpa kekerasan. Radikalis sejati cenderung lebih pragmatis dan terbuka terhadap penalaran kritis. Menurut Anthony Giddens, radikalisme ialah suatu paham atau gerakan mengambil sesuatu hingga ke akarnya (taking things by the roots).

Dalam kajian Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa mereka yang radikal memang revolusioner meski tidak indentik semuanya revolusioner. Tidak semua radikalisme beserta prosesnya melahirkan kekerasan, karena latar belakang, pengetahuan, kematangan, dan dinamika kehidupan setiap orang berbeda-beda.

Sedangkan dalam konteks pemaknaan radikalisme secara baku di Indonesia, sampai saat ini tidak ada satu pun undang-undang yang mendefinisikan radikalisme termasuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme hanya mengatur tentang tindakan pencegahan terorisme dengan dua pendekatan: deradikalisasi dan kontra Radikalisasi (Pasal 43A ayat 3), dan tidak sama sekali mendefinisikan kata radikalisme. Artinya, secara hukum (UU) istilah radikalisme itu sendiri belum terdefinisikan secara baku.

Di lain sisi, pada tanggal 3 Juli 2018 lalu, pada sebuah wawancara dan dikutip oleh media, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyampaikan bahwa Sekretaris Jenderal (Sekjend) Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengkoreksi BNPT dalam menggunakan kata radikalisme.

Sebagaimana yang disampaikan Suhardi Alius saat itu, bahwa Sekjend PBB Antonio Guterres menyatakan terminologi radikalisme dipakai oleh dunia global dan penafsiran dari kata tersebut ada yang mengandung perspektif positif. Selain itu Kepala BNPT juga mengatakan bahwa definisi radikalisme yang mengarah ke paham terorisme adalah radikalisme yang mengarah perspektif negatif.

Pernyataan Sekjend PBB perihal terminologi terorisme tersebut sejalan dengan Resolusi PBB Nomor 2178 terkait langkah pencegahan penyebaran terorisme, yang isinya tidak menyebut istilah Radikalisme tetapi dengan istilah baru yaitu Violent Extremism (VE), tindakannya disebut Countering Violent Extremism (CVE). Dengan demikian jelas bahwa pada prinsipnya radikalisme tidak melulu berkaitan dengan tindakan kekerasan.

Seperti halnya tindakan kekerasan atau teror yang dilakukan oleh pihak tertentu atau tindakan terorisme. Seorang pemikir radikal tidak selalu berkorelasi dengan tindakan radikalisme. Begitu pula sebaliknya, jika seorang yang melakukan tindakan radikalisme tidak mesti ada hubungannya dengan pemikir radikal.

Oleh karena itu, supaya kita tidak serampangan dalam menggunakan dan menempatkan diksi radikalisme, maka menjadi penting kita memahami dan mendudukkan terminologi radikalisme tersebut secara utuh dan objektif. Sehingga penggunaan, pemaknaan, atau penempatan istilah radikal atau radikalisme bisa proporsional dan berkesesuian.

Selain itu sebagai sebuah bangsa, perlu segera dibuat konsensus bersama pendefinisian istilah radikalisme dalam sebuah undang-undang. Pendefinisian yang baku dan pemaknaan yang objektif atas istilah radikalisme, diharapkan kedepannya tidak ada lagi subjektifitas, pengaburan, atau perdebatan dalam penggunaan dan penempatan istilah radikalisme. rmol news logo article

Indra, SH. MH.
Praktisi hukum, advokat.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA