Di Indonesia, seperti kata
author of The Master of Stupidity, Toba Beta; “
There's eternal opposition between yin and yang". The Orthodox vis-a-vis The progressive. Moderat lawan ultra-konservatis.
Tionghoa as the third party is always at the crossroad. Ke kiri salah, ke kanan apalagi. Diam sama salahnya.
Element orthodox build-up story; Tionghoa punya roadmap kolonialisasi Indonesia. Tindas pribumi. Kontrol ekonomi
first. Lalu kuasai politik.
Ahok dijadikan
permanent evidence. Hukum telah dia terima. Tetap saja dia harus divonis.
Never forgive-never forget. Lebih dari itu,
the whole Chinese camp should take the blame.
Karena bagi mereka;
Chinese is monolith. No yin-yang whatsoever. Chinese is bad. A good China man is an exception. Buktinya cuma Lieus Sungkharisma kontra Ahok dan Pro Habib Rizieq Shihab.
Serba-salah. Dulu Tionghoa dikecam sebagai
economic animal.
The progressive group minta Tionghoa turun ke politik.
But damn, saat Harry Tanoe bikin partai dan
triple minority Grace Natalie dipercaya pimpin parpol,
the dark force tuding mereka bagian dari skenario menguasai negeri dan menindas pribumi.
The fundamentalist klaim dahulu Tionghoa main proxy politik. Sekarang
acting as donor sekaligus
player.
Nyatanya; figure seperti Grace Natalie hanya proxy.
This is all about class contradiction. Bukan problem kontradiksi rasial.
You, mau China-Arab-pribumi asal kere ya ditindas.
The middle class fungsinya di tengah. Bisa jadi perpanjangan tangan bohir atau patriot pembela si miskin.
Kaum extrimis anti minoritas adalah faktor satu-satunya yang bikin Tionghoa solid Pro Ahok.
Mereka ini akan menjadi batu penghalang Anies Baswedan menjadi presiden di masa depan.
Tionghoa terlalu lemah, ngga punya basis massa, sekali pun punya duit, untuk menguasai Indonesia dengan seribu budaya.
Tionghoa dan minoritas lain menjadi faktor penentu tambahan kemenangan Jokowi yang moderat kekiri-kirian.
Kaum radikal orthodox ngga jahat. Mereka memimpikan masyarakat madani. Ingin ciptakan Indonesia Adil-Makmur.
Tapi
their closed-minded, self proclaimed, egoistic world view jadi problematik.
Tionghoa dan
the other minorities terpaksa mendukung kelompok moderat-progressive merah-putih sesuai Khittah NU tahun 1926 dan konsensus 1945 dibanding bergabung dengan element rasis ISIS
wannabe yang ga cape-capenya merilis slogan “jangan belanja di
mart milik China kafir".
Mereka ngga segitu idiot. Ga segitu gilanya.
They ain't no stupid whatsoever motherf**kers!
Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak)
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: