Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Prof Kahar, Pahlawan Kita

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Minggu, 10 November 2019, 06:19 WIB
Prof Kahar, Pahlawan Kita
Prof Kahar Mudzakkir/Net
PADA akhirnya, setelah 7 tahun diproses sejak tahun 2012 Prof Kahar Mudzakkir, menyusul dua pemimpin bangsa yang berasal dari Muhammadiyah yaitu Ki Bagus Hadikusumo dan Mr.Kasman Singodimedjo, ditetapkan oleh Presiden sebagai Pahlawan Nasional.

Harapan yang tersirat dari buku yang saya ikut menulis "Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia" yang digerakkan antara lain oleh alm AM. Fatwa pada akhirnya terwujud. Buku ini memang dimaksudkan sebagai salah satu bahan pertimbangan Presiden untuk menetapkan gelar pahlawan kepada Ki Bagus, Mr.Kasman dan Prof.Kahar.

Sebagai salah seorang anggota tim TP2GP Kementerian Sosial yang ditugasi untuk mengkaji seluruh dokumen tentang calon pahlawan yang diusulkan ke pemerintah, penulis tentu saja bersyukur atas ketetapan Presiden ini. Bangsa Indonesia memiliki referensi kebangsaan dari seorang tokoh/pemimpin yang sangat penting.

Sebagai referensi, maka diharapkan bangsa Indonesia memperoleh pelajaran berharga tentang kesederhanaan, keterpanggilan, kepejuangan, pengorbanan, patriotisme, nasionalisme, keluasan wawasan dan jaringan serta relijiusitas.

Di samping itu, dengan keputusan ini maka masyarakat dan bangsa Indonesia juga memperoleh sumber keteladanan yang sangat berharga baik untuk kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Indonesia, Bukan Hindia Belanda

Era penting pertama Kahar dalam konteks sejarah kebangsaan Indonesia adalah saat dia bermukim di Mesir dalam waktu yang tidak sebentar. Selama 12 tahun tinggal di Mesir sejak usianya yang ke 17, Kahar memanfaatkan waktu untuk memperluas dan mengasah kemampuan intelektualnya.

Ia tidak saja belajar di Universitas Darul Ulum, akan tetapi juga mempublikasikan artikel-artikelnya di berbagai media berbahasa Arab, dan mengikuti berbagai forum perjumpaan dengan banyak ahli, tokoh dan pemimpin dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah Sayid Qutb penulis Tafsir Fi Dhilalil Qur'an, seorang tokoh/ulama besar yang sangat berpengaruh di dunia Islam.

Salah satu forum yang sangat penting ialah menjadi utusan Asia Tenggara sebagai peserta Muktamar Islam internasional atas permintaan Mufti Palestina. Melalui berbagai artikelnya dan forum forum itulah Kahar berbicara tentang perjuangan Indonesia melawan penjajah dan menggali dukungan secara lebih luas dari masyarakat internasional.

Kahar muda terlibat secara aktif dalam pergerakan memperjuangkan Indonesia. Pada 1933, misalnya, ia turut serta membentuk Perhimpunan Indonesia Raya (PIR) di Mesir yang merupakan jaringan dari PIR di Belanda dan bahkan terpilih sebagai Ketua. PIR di bawah pimpinan Kahar kemudian mendirikan kantor berita "Indonesia Raya." Semangat dan tuntutan Indonesia merdeka disiarkan oleh kantor berita tersebut.

Yang menarik, mengikuti perjuangan kalangan muda Indonesia di Belanda yang dipimpin oleh Soekiman, kata "Indonesia" sudah digunakan ketimbang "Hindia Belanda."

Di awal tahun 1920, nama organisasi para mahasiswa pribumi di Belanda berubah dari De Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia-Belanda) menjadi Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia). Ini dilakukan justru sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928.

Istilah ini juga yang digunakan di Mesir. Semangat Keindonesiaan menjadi ciri gerakan kaum terpelajar Indonesia di luar negeri dan sangat relevan dan kontekstual dengan pergerakan yang muncul dan berkembang.di Indonesia.

Jadi, spirit revolusioner sudah terbangun di kalangan kaum muda muslimin Indonesia dalam memperjuangkan Indonesia. Peran-peran diplomatik perjuangan Indonesia ini sudah dilakukan oleh Kahar, jauh sebelum ada jabatan Duta Besar di Mesir dan wilayah Timur Tengah lainnya.

Apa yang dilakukan Kahar ini, menjadi jalan dan kunci pembuka bagi para pemimpin bangsa semisal H.Agoes Salim untuk menggalang dukungan pengakuan dari Mesir dan Timur Tengah untuk kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.

Perjuangan Ideologi Konstitusi

Kahar adalah anggauta BPUPKI dan kemudian PPKI yang, bersama dengan elemen atau wakil wakil kelompok agama, ideologi politik dan kultural masyarakat lainnya, melakukan berbagai persiapan yang diperlukan terkait dengan kemerdekaan RI.

Isu dasar negara, salah satunya, menjadi perdebatan penting dalam sidang-sidang tersebut. Kahar sendiri  yang berasal dari kalangan modernis muslim juga menyampaikan pidatonya meskipun ternyata tidak banyak yang mempublikasikannya, tidak seperti tokoh lain dari kelompok nasionalis sekular.

Dengan demikian, Kahar, sebagaimana semua tokoh lainnya menjadi bagian penting dari gentlement agreement 22 Juni 1945 yaitu Piagam Jakarta. Ini adalah keputusan politik penting yang telah disepekati para tokoh bangsa.

Dia juga yang kemudian ikut menjadi bagian penting dari penerimaan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 sebagai falsafah bangsa setelah pencoretan tujuh corpus Islamicum di Piagam Jakarta.

Indonesia sebagai sebuah negara telah diperjuangkan cukup panjang supaya merdeka dan berdiri tegak di atas UUD 1945 dan berfalsafahkan atau berideologikan Pancasila. Bagi tokoh seperti Kahar, gabungan spirit Keislaman, patriotisme dan nasionalisme adalah sebuah keniscayaan.

Kahar berkeyakinan bahwa perjuangan membangun kemaslahatan bersama disamping merupakan panggilan dan tugas kemanusiaan dan kebangsaan juga merupakan amanah agama. Ajaran agama merupakan sumber inspirasi dan moral yang luhur bagi nasionalisme yang menghasilkan sebuah negara yang merdeka dan  berdaulat.

Secara politik Indonesia meraih kemerdekaannya, secara konstitusional Indonesia tegak di atas UUD 1945 dan secara ideologis, Indonesia berpegang teguh kepada Pancasila. Dan Kahar telah berkontribusi secara sangat signifikan terhadap ketiga tiganya.

Inspirator Pendidikan Tinggi Islam

Kahar tidak saja terlibat dalam aktivitas perjuangan politik kebangsaan antara lain melalui PIR, Partai Islam Indonesia, BPUPKI, PPKI, akan tetapi juga memberikan perhatian besar khususnya terhadap sektor pendidikan tinggi Islam.

Gagasan mengembangkan pendidikan Islam bercorak modern sebetulnya sudah dirintis sejak awal oleh Muhammadiyah dan kemudian disusul sejumlah Ormas Islam lain seperti Jamiatul Choir, al-Irsyad, PERSIS, PUI, al-Wasliyah dan Sarekat Islam di awal awal abad ke dua puluh.Ditambah lagi beberapa lembaga pendidikan Islam bergaya modern yang dirintis dan dikembangkan oleh Kaum Muda di Sumatra Barat.

Spirit itu juga dilanjutkan antara lain oleh MIAI dan bahkan Masyumi. Ide dasarnya antara lain harus ada sebuah sistim pendidikan Islam yang dikelola oleh umat Islam dengan corak modern untuk mengimbangi atau mengisi kekosongan dikotomik pendidikan sekular barat dan pendidikan Islam tradisional yang berpusat di pondok pesantren.

Ide untuk mengembangkan lembaga pendidikan Islam ini terus bergulir hingga menjadi agenda pembicaraan dalam Kongres Al-Islam II Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1939, yang terdiri oleh 25 organisasi Islam anggota MIAI.

Di saat itulah keinginan mendirikan sebuah perguruan tinggi Islam pertama kali diserukan.

Tahun 1943, pertemuan pimpinan MIAI merekomendasikan tiga hal yaitu membangun masjid Agung yang representatif, mendirikan universitas Islam dan membentuk Baitul Mal. Akan tetapi, rekomendasi terutama tentang pendirian universitas Islam ini baru bisa diwujudkan pada tanggal 8 Juli 1945 oleh Masyumi dengan Ketua Panitia Bung Hatta.

Nama perguruan tinggi itu ialah Sekolah Tinggi Islam di Jakarta. Di situlah tokoh atau pemimpin-pemimpin muslim modernis berhimpun.

Pada tahun 1947 STI pindah ke Yogyakarta karena situasi perang dan banyak dosen yang pindah ke Jogya. Satu tahun kemudian, pada tahun 1948, STI bertransformasi menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan rektor pertamanya Prof.Kahar.

Salah satu fakultas di UII yaitu Fakultas Agama, diserahkan ke pemerintah dalam rangka persiapan mendirikan perguruan tinggi Islam negeri (PTAIN/PTKIN) pada tanggal 14 Agustus 1950 untuk mengimbangi perguruan tinggi negeri umum (Soekarno menyebutnya perguruan tinggi kaum Nasionalis) seperti UGM, ITB, UI.

Fakultas Agama UII inilah yang juga menjadi cikal bakal didirikannya ADIA oleh pemerintah dalam hal ini kementerian agama (tahun 1957) dan kemudian bertransformasi menjadi IAIN (setelah ADIA dan PTAIN dilebur pada bulan Agustus 1960) dan kemudian UIN seperti yang dikenal saat ini.

Dimulai dari IAIN Sunan Kalijaga di Jogya dan IAIN Syarifhidayatullah Jakarta, PTKIN mengalami transformasi yang sangat luar biasa hingga saat ini. Jasa Kahar dalam memimpin UII, membantu pemerintah dalam membuka perguruan tinggi Islam Negeri dan membuka jalan bagi berdiri dan berkembangnya IAIN, UIN dan bahkan juga STAIN  tidaklah bisa diabaikan.

Refleksi Kepahlawanan


Nasionalisme Indonesia, sebagaimana yang bisa disaksikan dari pandangan dan sikap para tokoh bangsa termasuk Kahar adalah nasionalisme relijius yang senantiasa menegaskan bahwa melawan kezaliman imperialis dan siapa saja adalah perintah agama; berjuang untuk mengangkat derajat masyarakat yang tertindas secara sosial, ekonomi dan politik juga ajaran agama; menghapuskan kemiskinan dan kebodohan serta keterbelakangan merupakan amanah suci agama.

Pada akhirnya perjuangan membebaskan diri dari penjajahan dan mewujudkan kemerdekaan juga merupakan inti dari tauhid. Tauhid itu wataknya liberatif yaitu membebaskan dan memerdekakan diri. Missi transformatif tauhid adalah memajukan dan memakmurkan kehidupan; mengisi kemerdekaan dan membangun kehidupan masa depan yang mencerahkan sehingga Indonesia menjadi sebuah bangsa besar, diperhitungkan dan diteladani dan berkeadaban.

Dalam situasi kebangsaan yang semakin hari nampak semakin berat karena berbagai masalah dan tantangan internal dan eksternal, kepahlawanan menjadi sangat berharga dan penting dan bahkan urgen untuk segera digali nilai-nilai dan keteladanan dari para pahlawan termasuk Kahar.

Karenanya kepahlawanan itu adalah soal masa kini dan masa depan dimana transfer nilai-nilai keteladanan para pahlawan dilakukan secara penuh sadar dan bertanggung jawab khususnya di lingkungan generasi milenial. Perjalanan dan perkembangan pendidikan saat ini harus disyukuri karena telah cukup banyak membantu masyarakat luas dalam membangun dan memajukan kehidupan.

Namun demikian, munculnya berbagai persoalan yang terkait dengan moralitas memberikan petunjuk kuat terjadinya disorientasi pendidikan kita. Tindakan pelanggaran moral, kekerasan dan bahkan kriminalitas baik yang melibatkan tenaga pendidik dan kependidikan,  pelajar/mahasiswa serta orang tua siswa akhir-akhir ini semakin memperburuk citra dunia pendidikan dan bisa melahirkan sikap pesimistik terhadap masa depan pendidikan kita.

Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pusat yang dipercaya untuk memperkokoh watak atau Akhlaq Karimah dan menyemai peradaban ilmu, justru mulai terasa menjadi tempat di mana perbuatan perbuatan tercela tumbuh.

Momentun penganugerahan pahlawan nasional kepada alm Kahar dan peringatan Hari Pahlawan Nasional menjadi sangat penting untuk revitalisasi patriotisme dan nasionalisme, revitalisasi ideologis kebangsaan kita yaitu Pancasila, revitalisasi kehidupan beragama.

Dan semua ini dilakukan melalui pendekatan pendekatan integral dan humanistik sehingga bangsa dan negara Indonesia benar-benar terbukti sebagai bangsa dan negara yang menjunjung tinggi ajaran agama, yang modern, kompetitif, dihormati oleh bangsa bangsa dunia serta berkeadaban.

Salah satu jalan yang tepat adalah menjadikan lembaga pendidikan sebagai pusat peradaban ilmu dan kepribadian, sebagaimana yang telah dirintis dan dicontohkan oleh Kahar. Kahar memang pahlawan kita semua, pahlawan bangsa. rmol news logo article

Penulis adalah Associate Professor FAH UIN Jakarta, Ketua Komisi Pendidikan dan Kaderisasi, dan Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP.Muhammadiyah

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA