Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowinomic Jilid II: Konsepsi Dan Strategi Pengentasan Pengangguran 2019-2024

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/natalius-pigai-5'>NATALIUS PIGAI</a>
OLEH: NATALIUS PIGAI
  • Selasa, 15 Oktober 2019, 18:15 WIB
Jokowinomic Jilid II: Konsepsi Dan Strategi Pengentasan Pengangguran 2019-2024
Natalius Pigai/Net
"NEGARA sejatinya menentukan kebijakan pro job dan menata lalu lintas pasar kerja sesuai kompensi yang selaras antara angkatan kerja dan kebutuhan industri".
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kisah! Pada awal tahun 2000-an, kita pernah dikejutkan dengan berita yang mengemparkan seantero bangsa ini. Ada yang merasa iba, kasihan, emosi pada pelakunya dan lain sebagainya, ketika berita Nirmala Bonat, seorang wagra negara Indonesia asal Provinsi Nusa Tenggara Timur yang saat sedang mengadu nasib di negeri Jiran Malaysia disiksa bak binatang oleh majikannya.

Tindakannya pun bukan hal yang lazim dilakukan majikan pada umumnya, seperti kata-kata maupun pukulan fisik, namun yang mejadi luar biasa adalah ketika majikannya menyiksa Nirmala dengan cara meyetrika bak pakaian, yang justru dilakoni Nirmala saban hari untuk melayani pimpinannya.

Kejadian ini mungkin satu di antara ribuan bahkan jutaan penderitaan yang dialami oleh anak-anak negeri kita yang sedang mengadu nasib ke seantero bumi ini. Lantas yang menjadi persoalannya adalah mengapa kita berani membiarkan mereka untuk begitu gampangnya memberi izin bahkan membiarkan mereka menjadi kuli? Apakah tidak ada jalan lain untuk mencari aternatif pekerjaan yang layak?

Program pemerintah bidang penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke luar negeri ini sangat kontras dengan amanat konstitusi. Pada Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 telah memberi amanat bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.

Hal ini berarti bahwa negara harus mempunyai kewajiban untuk memberikan pekerjaan bagi para pencari kerja dan penghidupan yang layak bagi warga yang secara sosial ekonomi masih rendah. Sementara rakyat berhak menuntut pemerintah untuk menyediakan pekerjaan dan memberikan penghidupan yang layak.

Pada bulan Februari 2019 Tingkat Penganggur Terbuka 5,01 persen atau 6,82 juta. Jumlah tersebut ditamba dengan pekerja tidak penuh terbagi yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen). Dengan demikian, secara keseluruhan jumlah penganggur baik penganggur Tebuka, maupun setengah penganggur menjadi 35,05 persen.

Pada tahun 2018 jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka sebanyak 5,13 pesen menjadi 5,01 persen di tahun 2019. Mengalami penurunan sebesar 0,12 persen. Walaupun Tingkat pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan, namun persentase TPT di perkotaan lebih tinggi daripada di perkotaan yaitu 6,30 persen di kota dan 3,45 persen di pedesaan.

Bahkan jika dilihat dari perubahan jumlah TPT dalam satu tahun terakhir di perkotaan hanya berkurang 0,04 persen dibanding perdesaan sebanyak 0,27 persen.

Namun kita kurang serius memperhatikan persoalan ini sebagai masalah nasional, pada hal sumber-sumber penyebab utama meningkatnya pengangguran ini secara leluasa bergerak tanpa kontrol pemerintah.

Penyebab pertama, bidang kependudukan, terutama pertumbuhan penduduk yang memengaruhi jumlah angkatan kerja yang akan memasuki pasar kerja. Kedua, sektor pendidikan turut memengaruhi kualitas angkatan kerja yang pada gilirannya juga berpengaruh produktivitas tenaga kerja. Ketiga, sektor ekonomi akan mempengaruhi daya tampung dan daya serap terhadap angkatan kerja yang ada di pasar kerja.

Kalau begitu bagaimana seorang Presiden baru menawarkan sebuah resep dan strategi penanggulangan masalah pengangguran secara nasional agenda 2019-2024?

Tulisan ini merupakan suatu pekerjaan rumah (PR) yang mesti dilakukan oleh presiden, agar tragedi kemanusiaan yang dialami oleh rakyat Indonesia yang mengadu nasib di luar negeri maupun jutaan manusia yang lalu-lalang serta keluar masuk gedung-gedung mewah sambil membawa tentengan tas berisi MAP (lamaran) yang menghiasi kota-kota besar di Indonesia ini tidak terulang lagi di kemudian hari.

Penduduk Usia Kerja dan Angkatan Kerja 2018/2019

Berdasarkan data Worldometers, Indonesia saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 269 juta jiwa atau 3,49% dari total populasi dunia. Indonesia berada di peringkat ke empat negara berpenduduk terbanyak di dunia setelah Tiongkok (1,4 miliar jiwa), India (1,3 miliar jiwa), dan Amerika Serikat (328 juta jiwa).

Bappenas memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia sebanyak 271 juta di tahun 2020 dengan laju pertumbuhan penduduk sebanyak 1,9 pesen dan meningkatnya angkatan kerja yang cukup tinggi negara kita menjadi suatu persoalan utama.

Apalagi bila dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk yang amat cepat, rata-rata 1 persen tiap tahun yang menempatkan Indonesia sebagai negera berjumlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia.

Data BPS yang dirilis pada bulan Februari 2019, dari jumlah penduduk tersebut di atas, penduduk yang produktif atau usia kerja sebanyak 196,46 juta bertambah 2 juta lebih dari tahun sebelumnya yang jumlahnya 193 juta.

Jumlah angkatan kerja yang siap memasuki dunia kerja sebanyak 136,18 juta orang atau bertambah 2 juta dari 133 juta di tahun 2018. Angkatan kerja di Indonesia senantiasa mengalami pertumbuhan rata-rata 2 juta tiap tahun sehingga hanya dalam jangka waktu setahun 2018-2019 peningkatan jumlah angkatan kerja mencapai 2,24 juta orang.

Dari jumlah angkatan kerja sebanyak 136.18 juta tersebut, mereka yang bekerja sebanyak 129,36 juta dan 6,82 bertambah dari 127,07 di tahun 2018. Dari 196,46 juta tersebut di atas, mereka yang bukan angkatan kerja sebanyak 60.28 juta.

Salah satu yang penting diperhatikan adalah mereka yang penduduk usia kerja yang tidak masuk kategori bukan angkatan kerja yaitu bersekolah pada tahun 2019 sebanyak 16,5 juta dan mengalami pertumbuhan jumlah sebanyak 054 juta atau 3,46 persen. Kondisi ini perlu diantisipasi karena berpotensi menjadi penganggur baru di masa yang akan datang.

Persentase penduduk yang pekerja penuh (jam kerja minimal 35 jam per minggu) sebesar 69,96 persen. Sementara itu, pekerja tidak penuh terbagi menjadi dua, yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen).

Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan utamanya pada pertanian (1,00 persen poin); administrasi pemerintahan (0,23 persen poin); serta informasi dan komunikasi (0,06 persen poin).

Sebanyak 74,08 juta orang (57,27 persen) bekerja pada kegiatan informal. Selama setahun terakhir (Februari 2018�"Februari 2019), pekerja informal turun sebesar 0,95 persen poin.

Rata-rata upah buruh berdasarkan hasil Sakernas Februari 2019 sebesar 2,79 juta rupiah. Rata-rata upah buruh laki-laki sebesar 3,05 juta rupiah dan rata-rata upah buruh perempuan sebesar 2,33 juta rupiah.

Terdapat 7 dari 17 kategori lapangan pekerjaan dengan rata-rata upah buruh lebih rendah daripada rata-rata upah buruh nasional. Rata-rata upah buruh berpendidikan universitas sebesar 4,34 juta rupiah, sedangkan buruh berpendidikan SD ke bawah sebesar 1,73 juta rupiah.

Kondisi Pengangguran 2018/2019

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah indikasi tentang penduduk usia kerja yang termasuk dalam kelompok pengangguran. Pada Bulan Februari 2019 Tingkat Penganggur Terbuka 5,01 persen atau 6,82 juta.

Jumlah tersebut ditamba dengan pekerja tidak penuh terbagi, yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen). Dengan demikian secara keseluruhan jumlah penganggur baik penganggur Tebuka, maupun setengah penganggur menjadi 35,05 persen.

Tingkat pengangguran terbuka diukur sebagai persentase jumlah penganggur/pencari kerja terhadap jumlah angkatan kerja berguna sebagai acuan pemerintah bagi pembukaan lapangan kerja baru.

Selain itu, perkembangannya dapat menunjukkan tingkat keberhasilan program ketenagakerjaan dari tahun ke tahun. Lebih penting lagi digunakan sebagai bahan evaluasi keberhasilan pembangunan perekonomian, selain angka kemiskinan.

Pada tahun 2018 jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka sebanyak 5,13 pesen menjadi 5,01 persen di tahun 2019. Mengalami penurunan sebesar 0,12 persen.

Walaupun Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) mengalami penurunan, namun persentase TPT di perkotaan lebih tinggi daripada di perkotaan, yaitu 6,30 persen di kota dan 3,45 persen di pedesaan.

Bahkan jika dilihat dari perubahan julah TPT dalam satu tahun terakhir di perkotaan hanya berkurang 0,04 persen dibanding perdesaan sebanyak 0,27 persen.

Dilihat menurut pendidikan, maka Tingkat Pengangguran Terbuka untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) masih tertinggi, yaitu 8,63 persen, diikuti oleh Diploma I/II/III 6,89 persen.

Problemnya adalah penawaran pasar kerja untuk lulusan SMU/ Diploma kurang terserap. Demikian pula lulusan sekolah dasar ke bawah lebih terserap di dunia kerja, dapat di duga karena lulusan sekolah dasar lebih cenderung menerima pekerjaan apa adanya.

Pengangguran memang mengalami penurunan dari 7,01 juta di tahun 2017, kemudian 6,87 juta tahun 2018 menjadi 6,82 juta atau 5,01 persen di tahun 2019.

Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah soal setengah penganggur yang tidak banyak disorot publik. Persentase penduduk yang pekerja penuh (jam kerja minimal 35 jam per minggu) sebesar 69,96 persen.

Sementara itu, pekerja tidak penuh terbagi menjadi dua, yaitu pekerja paruh waktu (22,67 persen) dan pekerja setengah penganggur (7,37 persen). Dengan melihat angka tersebut di atas penganggur paru waktu dan pekerja setengah penganggur dapat dikategorikan sebagai setengah penganggur.

Maka secara keseluruhan jumlah pengangguran di Indonesia 35,05 persen atau 45,27 juta jiwa dari total 129,36 juta angkatan kerja di Indonesia. namun soal angka pengangguran ini bisa di berdebatkan.

Sesuai dengan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), tingkat penganggur terbuka terdiri dari empat komponen. Pertama, mereka yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan.

Kedua, mereka yang tidak bekerja dan mempersiapkan usaha. Ketiga, mereka yang tidak bekerja, dan tidak mencari pekerjaan, karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Keempat, mereka yang tidak bekerja, dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum mulai bekerja.

Sumber Terciptanya Pengangguran Di Indonesia

Dalam banyak pasar, harga menyesuaikan diri untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan. Dalam pasar tenaga kerja yang ideal, upah akan menyesuaikan diri untuk menyeimbangkan kuantitas angkatan kerja yang ditawarkan dengan kuantitas angkatan kerja yang diminta. Penyesuaian upah ini akan menjamin bahwa semua tenaga kerja bekerja.

Tentu saja, kenyataan tidak sesuai dengan kondisi ideal. Selalu ada sejumlah orang yang tidak bekerja, sekalipun perekonomian secara umum tumbuh pesat. Dengan kata lain, tingkat pengangguran tidak pernah mencapai nol persen.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa terjadinya pengangguran ini adalah karena a) penawaran tenaga kerja yang lebih besar dari kebutuhan tenaga kerja, b) kesenjangan kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan dengan yang tersedia di pasar kerja (mismacth), dan c) adalah kurang efektifnya bursa kerja.

Kondisi yang disebut pertama adalah sebagai kelebihan tenaga kerja yaitu adanya tenaga kerja yang tidak dapat didayagunakan yang mereka itu terdiri dari: 1) Penganggur. 2). Orang di luar angkatan kerja yang ingin mendapatkan atau memerlukan Pekerjaan. 3). Orang yang bekerja kurang dari waktu yang mereka inginkan karena sebab di luar kekuasaannya. 4). Orang yang bekerja kurang dari keterampilan yang nyata-nyata atau potensial dimilikinya.

Dalam kelompok ini dapat dimaksudkan mereka yang produktivitas kerja rendah di bawah kemampuannya, baik yang disebabkan karena terpaksa menerima pekerjaan di bawah kualifikasinya, maupun karena manajemen yang kurang efisien.

Kelompok a) dan b) disebut sebagai pencari kerja dan biasanya dihitung sebagai penganggur penuh (penganggur terbuka). Dalam kelompok b) ada sebagian angkatan kerja yang tidak mempunyai pekerjaan, tidak mencari pekerjaan karena berpendapat bahwa tidak ada lowongan yang tersedia baginya.

Mereka ini dihitung sebagai pencari kerja putus asa. Mereka yang termasuk dalam kelompok c) dihitung sebagai setengah penganggur, karena mereka masih bekerja di bawah jam kerja normal 35 jam per minggu.

Kelompok d) sering disebut sebagai “mismatched”. Mereka terdiri dari orang-orang yang bekerja lebih rendah dari pendidikan atau tingkat kemampuan yang dimilikinya.

Misalnya seorang Insinyur hanya melaksanakan pekerjaan administratif, yang sebetulnya dapat dilaksanakan oleh tenaga kerja setaraf sarjana muda administrasi. Data untuk kelompok ini biasanya tidak tersedia.

Jenis-Jenis Pengangguran

Di dunia umum kita mendengar pengangguran. Namun secara spesifik dapat mengetahui jenis-jenis pengangguran untuk membantu membuka cakrawala bangsa ini tentang penanganan masalah pengangguran. Ada beberapa jenis pengangguran:

1). Pengangguran Peralihan. Pengangguran ini umumnya terjadi karena pencari kerja tidak mengetahui bahwa ada lowongan yang sesuai dengan kualifikasi dan keinginan yang dimilikinya. Di pihak lain pengusaha juga tidak mengetahui bahwa ada pencari kerja yang memenuhi persyaratan bagi lowongan di perusahaannya. Disebut juga sebagai “frictional unemployment”.

2). Pengangguran Musiman. Pengangguran ini terjadi karena adanya fluktuasi kegiatan produksi barang dan jasa sebagai akibat dari adanya fluktuasi musim.

Fluktuasi musim dapat terjadi karena faktor iklim (pada musim hujan �"biasanya dilaksanakan kegiatan pengolahan tanah) dan faktor kebiasaan masyarakat (membeli lebih banyak pada saat Idul Fitri Hari Natal, dan Tahun Baru). Pengangguran ini mudah diduga, karena pola musim bersifat teratur dan mudah untuk diramalkan.

3). Pengangguran Konjungtur. Pengangguran ini terjadi karena penurunan kegiatan ekonomi. Resesi mengakibatkan terjadinya pengangguran. Pengangguran di sini terjadi karena berkurangnya permintaan efektif akan barang dan jasa yang menyebabkan turunnya kegiatan produksi dan distribusinya. Akibatnya akan terjadi pengurangan penggunaan tenaga kerja, yang selanjutnya akan menimbulkan pengangguran dan setengah pengangguran.

4). Pengangguran Teknologis. Pengangguran ini terjadi karena adanya perubahan teknologi produksi, yang menyangkut proses pekerjaan, jenis-jenis bahan yang digunakan, ataupun tingkat produktivitas kerjanya. Seringkali pengangguran teknologis ini tidak dapat dipisahkan dengan pengangguran struktural, karena adanya penggunaan teknologi baru dapat menyebabkan perubahan dalam struktur pasar suatu perekonomian.

5). Pengangguran Struktural. Pengangguran struktural dapat terjadi karena perubahan struktur pasar barang, yang disebabkan karena tidak lakunya suatu komoditi tertentu di pasar barang akibat munculnya komoditi baru serupa. Selain itu pengangguran struktural terjadi pula di negara sedang berkembang. Pengangguran ini terjadi karena struktur perekonomian yang belum maju, kurang mampu menciptakan lapangan kerja produktif dan remuneratif bagi seluruh angkatan kerja.

6). Pengangguran Khusus. Pengangguran ini terjadi karena adanya kelompok-kelompok khusus dalam masyarakat yang sulit mendapat pekerjaan seperti para penderita cacat tubuh, cacat jiwa, dan cacat sosial.

Kondisi Tenaga Kerja Yang Diharapkan 2024

Masalah pengangguran dapat menentukan kondisi sosial ekonomi nasional. Sekalipun pengangguran sebagai suatu masalah ketenagakerjaan, namun kenyataan menunjukkan bahwa kondisi perekonomian nasional mempengaruhi meningkatnya angka pengangguran, di samping pertambahan penduduk yang dapat mempengaruhi kondisi demografis, serta jumlah tamatan pendidikan yang meningkat justru menambah persediaan tenaga kerja terdidik.

Namun hingga saat ini, pertumbuhan ekonomi kita yang hanya 5 % per tahun kurang mampu membuka daya tampung tenaga kerja. Kondisi ini diperparah lagi oleh para pelaksana hubungan industrial yang kurang peka dalam mengejawantahkan amanat konstitusi untuk terus mencarai jalan keluar atau paling sedikit meminimalisasi melonjaknya angka pengangguran tersebut.  

Jika dicermati secara baik, maka berbagai aspek turut memengaruhi peningkatan pengangguran ini, baik sumber-sumber penyebab yang ada di sektor hulu maupun muaranya.

Maka perlu ada suatu strategi yang mampu menekan melonjaknya angka pengangguran. Oleh karena itu, maka kondisi/situasi ketenagakarjaan yang diharapkan/diinginkan oleh rakyat pada periode mendatang adalah: Dengan jumlah angkatan kerja Indonesia bertambah dari 136,19 juta tahun 2019 menjadi 146 juta tahun 2024 dan jumlah angkatan kerja yang bekerja bertambah dari 129 juta tahun 2019 menjadi 140 juta tahun 2024.

Diharapkan pula jumlah penganggur turun dari 6,82 tahun 2019 menjadi 4 juta tahun 2024. Tingkat pengangguran juga diharapkan turun dari 5,01 persen tahun 2019 menjadi 4 persen tahun 2024. Kondisi ketenagakerjaan tersebut juga mesti di dukung dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi lebih dari 5 persen.

Diharapakan penurunan jumlah pengangguran tersebut terjadi terutama pada: Penganggur muda usia; berpendidikan rendah, penganggur yang tinggal di P. Jawa; berlokasi di daerah perkotaan; pada penganggur wanita; penganggur terdidik; setengah pengangguran yang mayoritasnya ada di desa.

Kendati rakyat mengharapkan stabilitas ketenagakerjaan di Indonesia seperti tersebut di atas, namun kenyataannya tidak muda, bila dilakukan tanpa suatu resep atau target penurunan pengangguran dengan berpatokan pada beberapa asumsi dasar dapat terlaksana:

Pertumbuhan kesempatan kerja rata-rata per tahun dapat dinaikan dari 1,9 persen pada periode 2015-2019 menjadi 2 persen pada periode 2019-2024 dan pertumbuhan angkatan kerja dapat ditekan dari 1,67 persen pada periode 2014-2019 menjadi 1 persen pada periode 2019-2024.

Pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun dapat ditingkatkan dari 4,1 persen pada periode 2000-2004 menjadi 6,0 persen pada periode 2004-2009.

Transformasi sektor informal ke sektor formal dapat dipercepat baik di daerah perkotaan maupun pedesaan, terutama di sektor pertanian, perdagangan, jasa, industri dan sektor lainnya.

Upaya Pengentasan Pengangguran

Kondisi ketenagakerjaan Indonesia saat ini tidak hanya menghadapi kendala internal seperti masih rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia, juga kendala eksternal seperti kesepakatan AFTA, APEC, dan WTO yang mengarah pada terjadinya migrasi tenaga kerja asing ke Indonesia.

Keadaan ini perlu diantisipasi dengan adanya pelatihan kerja yang berbasis kompetensi guna meningkatkan kualitas, profesionalisme, daya saing, dan kompetensi tenaga kerja di segala bidang.

Berbagai upaya untuk mengentaskan masalah ketenagakerjaan adalah menyusun program dalam mengatasi permasalahan di bidang ketenagakerjaan yang meliputi: perluasan dan penciptaan kesempatan kerja, peningkatan kualitas angkatan kerja, peningkatan informasi pasar kerja dan bursa kerja, pengendalian angkatan kerja, pembinaan hubungan industrial.

Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, namun pada kenyataanya tingkat pengangguran semakin meningkat, hal ini maka perlu dilihat khususnya terhadap hal-hal yang dapat mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan pasar kerja yang menyangkut masalah supply tenaga kerja (penawaran tenaga kerja) dan demand (permintaan tenaga kerja).

Apakah memang ada kesenjangan atau hal-hal lain yang dapat menghabat proses pertemuan antara pencari kerja dan yang membutuhkan?

Permasalahan pengangguran adalah permasalahan nasional yang menyangkut hayat hidup orang banyak, dan merupakan tanggung jawab pemerintah sehingga perlu mendapat perhatian serius.

Masalah pengangguran bagi Indonesia bersifat sangat kompleks sehingga memerlukan pemecahan yang arif secara konseptual.

Kerana itu, diharapakan dalam proses pemecahannya harus dilakukan dengan melibatkan seluruh elemen/potensi negara yang meliputi; pemerintah, dunia usaha, asosiasi dunia perbankan, serta masyarakat umum.

Konsep penanggulangan ke depan harus dapat mengutamakan penyelesaian terdahulu terhadap akar permasalahannya secara menyeluruh dan konsepsional, ketimbang penyelesaian yang bersifat gradual.

Hal ini perlu digarisbawahi sebab seringkali kita mengambil keputusan yang bersifat sementara, hanya sekadar meredam gejolak massa. Padahal yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin yang arif dan bijak adalah keputusan-keputusan yang bersifat visioner.

Sehubungan dengan ini, penulis memberikan pekerjaan rumah (yang berasal dari perpaduan pemikiran rakyat, bagi pemecahan masalah pengangguran yang harus/mutlak dilakukan oleh presiden dalam rangka memecahkan permasalahan pengangguran.

Perluasan Dan Penciptaan Kesempatan Kerja

Beberapa tahun terakhir ini, pemerintah kurang memberikan jaminan lapangan kerja yang luas dan terbuka. Perekonomian yang tidak menentu ini, justru dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat umum untuk membuka lapangan kerja di sektor informal.

Kondisi ini belum mampu menjamin terciptanya tenaga kerja yang berkualitas dan berdaya saing yang tinggi, sebab sektor informal kurang mengandalkan kualifikasi teknik tertentu, sehingga tidak mengherankan kalau jumlah setengah penganggur meningkat tajam sampai hampir mencapai 38 juta jiwa.

Pada tahun 2017, pengangguran bertambah 10 ribu orang, dari 7,03 juta menjadi 7,04 juta jiwa.

Sementara tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 5,33 persen pada Februari 2017 menjadi 5,59 persen pada Agustus 2017. Tingkat elastisitas penyerapan tenaga kerja juga terus menurun sejak 2010.

Menurut Indef, pada 2016, tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya dapat menyerap 110.000 tenaga kerja. Angka ini jauh jika dibandingkan dengan 2011, di mana tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi 1 bisa menyerap 225.000 tenaga kerja.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia telah diperkirakan tak berubah sejak  2017 sampai dengan 2020, yaitu sebesar 5%. Angka tersebut belum dapat menyerap angkatan kerja baru.

Besarnya investasi yang masuk dan sejumlah proyek infrastruktur nasional ditengarai tidak banyak menyerap lapangan kerja formal secara langsung. Bahkan, investasi yang tercatat lebih besar ke sektor padat modal.

Bappenas telah menyatakan bahwa elastisi serapan tenaga kerja di Indonesia belum banyak berubah sejak 2015. Selama 3 tahun terakhir setiap satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menyerap 250 ribu tenaga kerja.

Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan elastisitas serapan tenaga kerja pada 10 tahun lalu yang mencapai 500 ribu tenaga kerja.

Negara belum mampu mencari jalan keluar karena tidak banyak berubahnya angka serapan tenaga kerja sebesar 250 ribu per satu persen pertumbuhan itu disebabkan pasar kerja di Indonesia yang masih kaku dengan sejumlah aturan-aturan. Sedangkan anggakatan kerja setiap tahun tumbuh 2,9 juta.

Pada masa yang akan datang harus ada perubahan struktur ekonomi dan keluwesan di pasar kerja yang akan membuat angka elastisitas bisa berubah menjadi lebih baik.

Salah satu strategi dasar untuk menciptakan lapangan dan memperluas kesempatan kerja adalah suatu strategi pembangunan yang berorientasi untuk memberi peluang pembukaan lapangan kerja  yang produktif dan berorintasi pada peningkatan sumber daya manusia.

Pembangunan yang berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia itulah yang perlu dilakukan mengingat bangsa kita berjumlah penduduk terbanyak yang berorientasi pada demografik sentris.

(bersambung)... rmol news logo article

Penulis adalah mantan Staf Khusus Menakertrans; Mantan Peneliti dan Pejabat Struktural Kemenakertrans RI 1999-2012

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA