Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pelantikan Presiden RI 2019: "Semua Bilang Kawal Konstitusi"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/prijanto-5'>PRIJANTO</a>
OLEH: PRIJANTO
  • Kamis, 10 Oktober 2019, 12:51 WIB
Pelantikan Presiden RI 2019: "Semua Bilang Kawal Konstitusi"
Mayjen TNI (Purn) Prijanto/Net
UUD 1945: "Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)".
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ilustrasi dan Situasi

Mengapa isi Tata Surya seperti matahari, bumi dan planet lainnya, bulan dan bintang tidak bertubrukan? Karena Tuhan Sang Pencipta alam beserta isinya telah menetapkan aturan gerak dari isi Tata Surya. Dalam gerakannya, semua disiplin mengikuti aturan yang telah ditetapkan.

Di dalam konteks berbangsa dan bernegara, ada hukum dasar. Undang Undang Dasar atau konstitusi (constituante) merupakan hukum dasar yang tertulis. Dengan demikian, jika ingin kehidupan berbangsa dan bernegara tenang, semua harus disiplin mengikuti UUD. Sehingga, keinginan dan ajakan untuk 'Kawal Konstitusi' saat ini menjadi relevan, mengapa?

Menjelang pelantikan Presiden 2019, semua teriak 'Kawal Konstitusi'. Namun, apakah semua memaknainya dengan tujuan sama? Menilik dua kata yang dirangkai tersebut, 'Konstitusi' adalah obyek yang harus dikawal. Artinya, mengawal dan memastikan, semua kegiatan berbangsa dan bernegara sesuai konstitusi.

Gerakan Peduli Bangsa menggelar aksi memberikan dukungan kepada pasangan Joko Widodo-Maruf Amin, untuk dilantik oleh MPR RI. Mereka gelar spanduk "Kawal Konstitusi Kawal NKRI". Intinya, agar pasangan Ir. Joko Widodo-Maruf Amin dilantik karena sudah dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019 oleh KPU. (CNN Indonesia, 5 oktober 2019).

Sedangkan LBH Solidaritas Indonesia, atas nama saudara dr. Zikifli S.Ekomei, melakukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap MPR RI di PN Jakarta Pusat. Gugatan ini mendapat dukungan luas dari para pakar dan praktisi hukum bersama aktivis pejuang, untuk kawal konstitusi juga. (Gugatan telah didaftarkan di Kepaniteraan Perdata PN Jakpus, perkara No.592/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst)

Walau semua bilang kawal konstitusi, tetapi berbeda makna dan tujuan. Pelantikan Presiden 2019 sudah menjadi polemik. Kita harus hati-hati dalam berpikir, bicara dan memutuskan pelantikan Presiden 2019, agar kita bisa tetap memelihara cita-cita 'founding fathers and mothers' bahwa negara Indonesia berdasar atas Hukum.

Undang Undang Dasar dan Keputusan KPU

Pasal 3 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen: "Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden".
    
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen: "Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikit-sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden".

Artinya, MPR RI melantik yang memenuhi syarat komulatif pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden (ref. LBH Solidaritas Indonesia dkk), yaitu: Memperoleh suara sah pemilih lebih dari 50 persen. Jumlah suara tersebut harus tersebar di setidaknya lebih 17 Provinsi. Perolehan suara di wilayah Provinsi yang lainnya tidak boleh kurang dari 20 persen.

Sedangkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum RI No: 987/pl.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum, bahwa perolehan suara sah pasangan Ir. Joko Widodo-Maruf Amin memperoleh 55,5 persen suara sah, di 21 provinsi, namun tidak mencapai 20 persen suara sah di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Barat.

Sehingga dengan fakta tersebut, meskipun menang dalam jumlah perolehan suara, tetapi berdasarkan konstitusi yang harus dipegang teguh MPR RI, maka pasangan calon presiden Joko Widodo-Maruf Amin, tidak dapat dilantik sebagai Presiden-Wakil Presiden RI periode 2019-2024, dalil LBH Solidaritas Indonesia dalam gugatannya.

Persoalan hukum inilah yang saat ini menimbulkan perdebatan dan silang pendapat dalam menafsirkan narasi hukum. "Kawal konstitusi" adalah sebuah keniscayaan mutlak karena Negara Indonesia berdasar atas hukum.

Perdebatan dan Silang Pendapat

Ada pendapat, terkait Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen yang narasinya dikutip dalam Pasal 159 UU No 42/2008 tentang Pilpres, yang di dalam Putusan Mahkamah Kontitusi No. 50/2014, dinyatakan tidak berlaku jika hanya dua pasangan. Tapi ingat, yang diuji MK adalah ketentuan pasal dalam UU No 42/2008 tentang Pilpres, bukan tentang Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen.

Harus diingat pula bahwa ketentuan pasal 6A ayat (3) UUD 1945 tersebut berlaku mengikat MPR RI. Artinya, MPR RI hanya akan melantik pasangan Calon Presiden-Wakil Presiden menjadi Presiden-Wakil Presiden yang memenuhi ketentuan tersebut. Sikap dan tindakan inilah yang disebut dengan "kawal konstitusi".

Satu hal yang harus diingat, Putusan MK No. 50/2014 bukanlah segala-galanya, karena adanya asas "Lex posterior legi priori". Bahwasanya hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex perior). Asas ini digunakan baik dalam hukum nasional maupun internasional.

Mengapa asas ini dikemukakan? Sebab setelah Putusan MK No. 50/2014, ada UU No. 7/2017 tentang Pemilu; pada Pasal 416 ayat (1) tertulis: "Pasangan calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia".

Masih ada pemikiran dari kelompok yang menginginkan untuk tetap dilakukan pelantikan pada 20 Oktober 2019 dengan dalil adanya Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5/2019 yang menyebutkan: "Dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih".

Penafsiran dengan mengedepankan Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5/2019 tidaklah bisa diterima dengan adanya asas "lex superior derogat legi enferior". Hukum yang tinggi (lex superior) dalam hal ini UU No. 7/2017  tentang Pemilu mengesampingkan hukum yang rendah (lex enferior) dalam hal ini Peraturan KPU No.5/2019.

Advokat Taufik Budiman, Direktur LBH Solidaritas Indonesia meminta kepada MPR RI dan semua pihak yang terkait dalam gugatannya yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, untuk menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Antara lain, untuk tidak melakukan proses Pelantikan Presiden berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen.

Mencermati silang pendapat di atas, nampaknya hasil Pilpres 2019 telah membawa bangsa Indonesia pada situasi dan kondisi ibarat 'makan buah simalakama'. Tidaklah mungkin pemerintahan tanpa adanya Presiden, namun tak mungkin juga melantik Presiden dengan melanggar konstitusi. Inilah yang harus dipikirkan jalan keluarnya oleh MPR RI.

Rekomendasi dan Harapan

Upaya menekuk dan membelokan konstitusi akan membawa risiko robohnya negara, harus kita cegah. Harus diingat, 'founding fathers and mothers', telah mewariskan Dasar Negara dan UUD 1945 untuk Indonesia Merdeka, yang harus kita jaga dan kawal.

Dalam hal ini, MPR RI yang oleh 'founding fathers and mothers' ditempatkan sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan TNI yang diberikan tugas menegakkan kedaulatan negara dan  mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, adalah benteng terakhir untuk mengawal Dasar Negara dan Konstitusi, demi NKRI.

Artinya, bukan benteng terakhirnya individu, orang per orang ataupun kelompok dan organisasi. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, memberikan jalan terbaik bagi bangsa Indonesia. Amin rmol news logo article

Mayjen TNI (Purn) Prijanto
Aster KSAD 2006-2007, Deklarator Gerakan Kebangkitan Indonesia.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA