Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ada Buzzer Istana Di ILC TVOne

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/ilham-bintang-5'>ILHAM BINTANG</a>
OLEH: ILHAM BINTANG
  • Rabu, 09 Oktober 2019, 15:04 WIB
Ada Buzzer Istana Di ILC <i>TVOne</i>
Ilham Bintang-Rudiantara-Ali Mochtar Ngabalin/Dok
PROGRAM talkshow Indonesia Lawyers Club yang tayang di TVOne pada Selasa malam (8/10) menyajikan: "Buzzer, Siapa Yang Bermain?". Seperti lazimnya tema yang disorot ILC adalah topik yang menarik perhatian publik selama sepekan. Produser ILC, Andriy Bima mengundang saya untuk ikut urun rembuk dalam diskusi itu.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Buzzer hari-hari ini memang merupakan topik hangat di tengah masyarakat, sampai sekarang. Menimbulkan kembali silang pendapat dua kubu yang dulu berseberangan: Kampret vs Cebong. Rupanya konflik itu masih berkelanjutan sampai sekarang. Padahal, mestinya sudah reda sejak dua ponggawa mereka sudah bertemu. Berkali-kali.

Mestinya tidak ada lagi kubu 01 maupun kubu 02. Seperti yang di-declare ponggawa kedua belah pihak, kini menjadi 03, pengusung sila 3 Pancasila: Persatuan Indonesia.

Memang ada banyak hal yang memantik perseteruan baru ini. Revisi UU KPK, KUHP, demonstrasi mahasiswa yang merenggut nyawa dua mahasiswa. Belum lagi tindakan represif aparat pengamanan saat aksi unjuk rasa mahasiswa pelajar, dan sebagainya.

Yang menambah gaduh adalah klaim-klaim dua kubu di media sosial. Seperti melanjutkan kisah lama mereka: saling mengaku difitnah. Saling menuduh aktivitas di media sosial adalah buzzer peliharaan mereka. Saling tuduh itu buzzer bayaran. Ada pembina diidentifikasi orang yang berasal dari Istana. Maka sebentar saja, populer dengan istilah buzzer Istana.

Sikap beberapa media pers yang belakangan (kalau tak mau disebut berbalik) menunjukkan sikap kritis kepada Presiden Jokowi ikut menambah tajam perseteruan. Pembela Jokowi pun terang-terangan menunjukkan kemarahan kepada pihak majalah Tempo yang dalam tiga edisi terakhir menyajikan coverstory tentang Presiden. Gambar sampulnya dari "Pinokio" hingga yang terbaru pose Jokowi tanpa kedudukan.

Di sinilah kejelian Karni Ilyas, Pemimpin Redaksi TVOne merangkap host ILC, yang mengangkat topik hangat itu.

Pembicara diundang dari pihak yang berseteru, sama jumlahnya kedua pihak, dan sama pula kesempatan dan durasinya bicara. Ada Ustaz Haikal Hasan, dari  Istana Ali Mochtar Ngabalin, pegiat medsos Eko Khuntadi. Ada pula beberapa wakil partai Dahnil Azhar, Tsamara Amani. Dari Partai Berkarya, Vasco, Teddy Gusnadi dari PKPI, dan Arya Sinulingga. Pakar media sosial dari Drone Emprit, Ismail Helmy jadi pembicara awal malam itu. Dia mengurai pengertian influenser, buzzer, nitizen dan istilah-istilah teknis khas media sosial.

Beruntung saya mendapat giliran terakhir berbicara, sebelum Menkominfo Rudiantara yang menjadi penutup ILC yang malam itu tayang hingga lewat malam. Dengan begitu saya bisa menyimak silang pendapat antar pembicara dari dua kubu. Tidak ada kejelasan hingga akhir, debat sarat dengan saling lontar tuduhan. Cukup berimbang.

Yang sengsara malam itu Budi Setyarso, Pemred Koran Tempo. Ia diperlakukan seperti pesakitan dari para pegiat media sosial. Sikap redaksional Tempo yang menyoal buzzer yang dinilai mengganggu demokrasi direspons dengan sikap frontal penggiat medsos. Budi dicecar untuk membuka sumber berita yang membuat Tempo mengambil kesimpulan ada buzzer Istana.

Budi makin terjepit oleh keberatan Ali Mochtar Ngabalin. Staf Deputi IV Kepala Sekretariat Presiden menyoal cover-cover Majalah Tempo yang menampilkan Jokowi. Terutama, cover gambar Pinokio.

Tibalah giliran saya bicara. Jam sudah menunjukkan pukul 23.30. Karni Ilyas membagi durasi 30 menit untuk tiga pembicara yang tersiss: saya, Dahnil dan Rudiantara. Sehingga saya harus mengatur bicara poinnya saja.

Saya mengatakan tanpa diminta, saya telah memeriksa beberapa edisi majalah Tempo. Sejauh penilaian, saya tidak menemukan pelanggaran kode etik jurnalistik. Produknya mematuhi prinsip kerja jurnalistik yang benar.

Saya juga tidak menemukan ada pelecehan simbol negara, karena sesungguhnya presiden memang bukanlah simbol negara seperti yang diatur dalam UU. Presiden adalah pejabat publik, dipilih oleh publik, oleh karena itu posisnya terbuka dikritik publik.

Sebagai media pers redaksi Tempo tentu tidak alergi pada kritik terhadapnya. Sebagaimana umumnya karakter pers pejuang, Tempo pasti mewarisi juga sikap rendah hati pendahulu wartawan, para pejuang printis pers. Yang selalu memikirkan mendahulukan rubrik suara pembaca setiap kali menerbitkan surat kabar. Itu menjelaskan mereka sangat terbuka untuk koreksi bahkan sampai penuntutan hukum.

Saya menanggapi pandangan pembicara seakan pers kebal hukum. "Kami tidak mungkin berbohong, soalnya ancaman yang kami hadapi 4 tahun penjara kalau membuat fitnah. Sedangkan Tempo cukup datang kepada Dewan Pers untuk minta maaf, selesai persoalan," kata Eko Khuntadi.

Tentu saja itu keliru. Pers bukan tidak bisa dihukum. Ada UU yang mengatur mekanisme pengajuan keberatan kepada pers. Pertama, layangkan hak jawab kepada media, seperti yang dilakukan oleh Presiden SBY dulu. Tak cukup? Bisa lanjut ke Dewan Pers. Tak puas di sini, bisa diteruskan kepada proses hukum. "Saya kalau menyatakan mendukung kepada pemerintah, dimana salahnya?" tanya Eko.

Memang tidak salah menyatakan dukungan kepada pemerintah melalui media manapun. Pers juga tidak lantas melanggar apapun kalau terus mengkritisi pemerintah. Itulah bagian dari warisan tokoh pers pendahulu kita. Kata PK Oyong, pendiri Kompas, wartawan bukanlah para pengabdi dan penjilat kekuasaan.

Adapun Teddy Gusnadi sempat nyecar Budi untuk membuka sumber informasi Tempo sehingga mengambil kesimpulan ada "Buzzer Istana". Ini jelas mustahil. Perkara sumber berita itu diatur dalam kode etik jurnalistik. Sampai mati pun tidak akan mungkin dibuka. Selain diatur oleh kode etik, UU pun memberi jaminan terhadap hak tolak itu. Artinya di pengadilan saja pun, wartawan dapat menggunakan hak tolak.

Bukan hanya Teddy, bahkan Ngabalin pun tampaknya tidak tahu, wartawan bekerja dengan berpegangg pada kode etik jurnalistik. Itulah konsep operasional  moral wartawan. Menyalahi itu tamatlah riwayat wartawan. Sebab itu menjadi martabatnya. Melanggar kode etik jurnalistik bagi media seperti Tempo itu sama dengan bunuh diri. Lebih berat dibandingkan melanggar hukum.
 
Memang tidak ada pembicara segarang Ali Mochtar Ngabalin mempersoalkan Tempo malam itu. Secara terbuka dia menyerang Tempo dengan kata-kata amat kasar untuk dilakukan pejabat negara seperti dia. Pakai cara intimidasi dan kata "terkutuk" segala untuk Tempo. Karni Ilyas berkali-kali menegurnya. Tapi tak mempan.

Berulangkali dia menyatakan dirinya sebagai "abdi dalam" Presiden Jokowi dan oleh karena sangat terluka "junjungannya" ditampilkan dalam cover Pinokio.

Saya sebenarnya tak cuma kenal tetapi cukup bersahabat dengan Ngabalin. Saya menyayangkan cara dia kayak banteng terluka menyampaikan keberatan. Seperti menutup mata terhadap aturan berurusan dengan media. Mestinya teks lawan teks, bukan teks dilawan intimidasi dan kutukan.

Budi menginformasi pernyataan saya. Sampai malam itu, belum ada surat pernyataan keberatan dari pihak Istana soal cover Tempo tersebut. Tapi ini juga tak dihiraukan Ngabalin. "Buat apa lagi, orang sudah babal belur, kok," sahut dia.

"Tidak mengadu, bukan berarti tidak keberatan," sambung dia lagi menanggapi saya.

Rabu pagi (9/10), saya coba putar ulang rekaman video acara ILC. Para pembaca pun boleh lihat juga di saluran youtube secara lengkap. Anda bisa lihat aksi Ngabalin yang begitu agresif mengagitasi publik. Seringkali menyerobot kesempatan berbicara pembicara lain.

Dia mendemonstrasikan politik "belah bambu". Yang satu (pihak Presiden Jokowi) diangkat setinggi langit, sedangkan Budi Setyarso yang mewakili Tempo, "diinjak" habis sampai rata dengan tanah. Dari adegan itu kita bisa simpulkan itulah Buzzer Istana sesungguhnya. Kenapa kita repot-repot mencarinya selama empat jam diskusi ILC?

Sebagai pejabat negara (yang masih aktif sampai nanti 19 Oktober menurut dia) rasanya sangat tidak etis Ngabalin mempertontonkan gaya otoriter di saat mencoba meyakinkan publik mengenai gaya egaliter Presiden Jokowi. Paradoksal.

Paradoks Ngabalin ini bukan hanya tidak etis, tetapi cukup memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU ITE. Mengintimidasi dan memperkusi lawan debat, ditambah pula dengan sumpah "terkutuk". Tetapi sampai tulisan ini diturunkan tidak ada informasi apakah pihak Tempo akan menyoal secara hukum.
Mudah-mudahan tidak. Sebab Ngabalin kawan saya juga. rmol news logo article

Penulis adalah wartawan senior.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA