Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Asas Terlanggar Revisi UU KPK

Senin, 07 Oktober 2019, 14:32 WIB
Asas Terlanggar Revisi UU KPK
Muhtar Said/RMOL
FILOSOFI munculnya kebijakan baik berupa peraturan (regeling) ataupun berupa keputusan (beschiking) disebabkan adanya permasalahan yang timbul. Supaya permasalahan tidak berdampak sistemik bagi yang lainnya, maka pemegang kebijakan harus mampu merumuskan produk kebijakan yang bisa menjadi “obat penawar” terhadap permasalahan.

Dalam filsafat politik libertarian dijelaskan, negara ada untuk melindungi kegaduhan yang terjadi di lingkungannya. Sedangkan untuk mensejahterakan rakyat dibutuhkan sikap aktif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan sesuai dengan kondisi zaman. Negara harus mampu memprediksi permasalahan ke depan sehingga dapat memitigasi persoalan serta mampu mengakomodir kepentingan rakyat.

Jadi negara dalam membuat kebijakan harus didasarkan pada sebuah permasalahan. Apabila tidak ada persoalan maka negara harus konsentrasi untuk merumuskan kebijakan ideal. Tujuannya untuk mensejahterakan rakyat karena inti berdirinya negara modern adalah untuk kesejahteraan rakyat bukan golongan ataupun anggota partai politik tertentu.

Dalam sebuah negara, dinamikanya akan sulit ditebak karena di dalamnya terdapat beberapa cabang kekuasaan yang sengaja dipisah demi terciptanya demokrasi. Di setiap cabang kekuasaan mempunyai kewenangannya sendiri termasuk mempunyai hak otonom untuk membuat kebijakan. Sebut saja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki wewenang untuk membuat undang-undang. Begitu juga Presiden juga mempunyai wewenang untuk membuat kebijakan sendiri. Meskipun wewenangnya berbeda, tetapi tujuannya sama yakni mensejahterakan rakyat Indonesia.

Adanya kewenangan membuat kebijakan bagi masing-masing cabang kekuasaan memberikan banyak pilihan teori pembuatan kebijakan. Kebijakan bisa dibuat karena adanya kehendak atau usulan dari kelompok di luar kekuasaan, tetapi juga ada kebijakan yang dikehendaki oleh kelompok pemegang kebijakan.

Seperti yang dikatakan oleh James E Anderson (Islamy 2009: 17) “ a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter of concern”. Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang di dalamnya mempunyai tujuan untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini lebih menitikberatkan pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan.

Bentuk Lembaga KPK

Pola kebijakan model Anderson layak disematkan pada UU KPK perubahan ke dua, karena dalam UU tersebut mencerminkan kehendak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bukan kehendak masyarakat penggerak anti korupsi. Buktinya sejak pembahasan sampai dengan disahkan revisi UU KPK banyak penolakan yang muncul dari kalangan aktivis dan pegiat anti korupsi.

Dalam polemik perumusannya, Presiden langsung turun tangan dan sudah memberikan opsi, tetapi masih saja terdapat banyak penolakan karena opsi yang diusulkan oleh Presiden juga belum mampu menjawab keinginan para aktivis dan pegiat anti korupsi. Presiden terus ditekan untuk membuat Peraturan pengganti undang-undang (Perppu) yang digunakan untuk mencabut UU KPK hasil revisi karena dirasa membuat posisi KPK lemah.

Penerbitan Perppu merupakan hak subyektif seorang Presiden dengan syarat ada kegentingan yang memaksa. Pemaknaan kegentingan yang memaksa memang bias, akan tetapi dengan maraknya demonstrasi yang terjadi di beberapa kota-kota besar juga bisa diartikan ada kegentingan memaksa. Apalagi sudah dua mahasiswa meninggal karena gerakan penolakan isu UU KPK ini.     

Dalam revisi UU KPK, banyak perubahan terhadap sistem pengelolaan organisasi KPK. Pertama kali membayangkan Dewan Pengawas dibentuk untuk menegakan etik pimpinan KPK, ide ini sangat bagus karena bisa mendorong pimpinan KPK untuk serius menjaga nilai-nilai profesionalisme dan integritasnya dalam menjalankan roda organisasi KPK. Dalam UU Perubahan kedua atas UU KPK juga dituliskan kewenangan Dewan Pengawas untuk menyusun kode etik.

Namun, bayangan Dewan Pengawas seperti ulasan diatas menjadi buyar ketika membaca Pasal 37B ayat (1) huruf a UU Perubahan Kedua atas UU KPK, dimana Dewan Pengawas mempunyai kewenangan untuk memberikan izin terhadap penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan. Kewenangan tersebut secara normatif terlihat biasa-biasa saja namun dampaknya luar biasa bagi KPK.

Kewenangan yang diberikan Dewan Pengawas di atas bisa dikatakan adalah separuh dari kewenangan yang dimiliki oleh KPK. Dampaknya, akan memunculkan dualisme kepemimpinan dalam tubuh KPK dan ini akan memberikan efek negatif terhadap kinerja para pegawai lembaga antirasuah. Jika sudah demikian maka bisa dikatakan Dewan pengawas menyalahi asas tata kelola organisasi di pemerintahan yakni adanya sifat vertikal dalam pengelolaan organisasi.

Sifat vertikal dalam organisasi pemerintahan itu puncaknya berada di pimpinan. Dalam kajian hukum administrasi negara, kewenangan (belied) berada di pimpinan organisasi, seperti memberikan izin ataupun produk kebijakan lainnya seperti keputusan (beschikking). Jika konstruksi Dewan Pengawas masih seperti yang diinginkan oleh hasil revisi UU KPK, maka asas tata kelola organisasi yang menekankan adanya sifat vertikal dilanggar karena Pimpinan KPK sebagai pucuk tertinggi pemberi kebijakan administratif menjadi tidak ada ada. Sebabnya, pimpinan KPK harus terlebih dulu meminta izin kepada Dewan Pengawas.

Perppu Ideal KPK

Wewenang Dewan Pengawas yang terlalu masuk ke ranah administratif dirasa tidak sesuai dengan nomenklatur namanya. Nomenklatur nama “Dewan Pengawas” seharusnya ditempatkan pada ranah kinerja pengawasan bukan berada dalam tataran memberikan izin atau tidak. Contohnya dalam Penyelenggara Pemilu ada KPU yang melaksanakan dan Bawaslu yang melakukan Pengawasan, tetapi KPU tidak mempunyai kewenangan untuk meminta izin kepada Bawaslu ketika mau mengambil kebijakan administratif.     

Kewenangan Dewan Pengawas yang sampai ke wilayah administratif ini menjadi kunci utama untuk menghambat tugas dan wewenang KPK karena penyadapan, penggeledahan dan/atau penyitaan merupakan kewenangan utama KPK sebagai penegak hukum bidang pemberantasan korupsi. Akan tetapi di dalam kewenangan inti KPK tersebut terdapat dualisme kepemimpinan. Hal ini akan memunculkan dilema dalam tubuh pegawainya, harus taat kepada Dewan Pengawas atau Pimpinan KPK.

Untuk itu, jika Presiden benar-benar menjalankan fungsi sebagai kepala pemerintahan yang paham akan organisasi pemerintah maka Presiden harus mampu membaca situasi yang dialami oleh KPK sebagai instansi pemerintahan. Meskipun pembuatan Perppu adalah kewenangan penuh Presiden (hak subyektif), namun perubahan UU KPK adalah inisiatif DPR.

Perppu yang diterbitkan oleh Presiden akan berkonsekuensi terjadi gesekan politik antara Presiden dan DPR. Namun demikian, Presiden tidak perlu khawatir karena kebijakan penerbitan Perppu menjadi tanda bahwa Presiden menerapkan teori kebijakan ideal karena keputusan politiknya didasarkan pada kehendak atau usulan rakyat di luar kekuasaan. Jika UU KPK Perubahan ini tetap dibiarkan oleh Presiden maka tidak ada bedanya dengan DPR yang membuat kebijakan atas kehendaknya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. rmol news logo article


Muhtar Said

Penulis adalah Dosen Hukum Administrasi Negara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA); Peneliti Pusat Pendidikan & Kajian Anti Korupsi (PUSDAK) UNUSIA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA