Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pemerintah Alpa Dengan Tragedi Kemanusiaan Di Papua

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-ahmad-yani-sh-mh-5'>DR.  AHMAD YANI, SH.MH</a>
OLEH: DR. AHMAD YANI, SH.MH
  • Sabtu, 28 September 2019, 19:38 WIB
Pemerintah Alpa Dengan Tragedi Kemanusiaan Di Papua
Jokowi/Net
TINDAK kekerasan di Wamena, Papua, menimbulkan puluhan korban meninggal dan ratusan luka serta rumah dan fasilitas umum hancur. Kekerasan tersebut terakumulasi dari protes sosial yang berujung pada separatisme.

Duka dan kematian yang menelan korban para pendatang seperti dari suku minang dan bugis dan suku-suku lainnya yang hidup di Papua menyayat hati. Negara absen dalam duka itu.

Ada ratusan ribu pendatang yang hidup di tanah Papua, sebagaimana juga orang Papua hidup di wilayah lain dalam negara Indonesia. Semua warga negara hidup rukun dan tidak separatis, saling kasih sayang karena kita berada dalam naungan NKRI.

Tindakan separatis dalam bentuk apapun tidak dibenarkan dalam negara Indonesia. Pemerintah wajib hadir dan membela setiap warga negara yang memperoleh perlakuan rasis itu. Sebab, negara menjamin setiap orang untuk hidup menurut agama, keyakinan dan kulturnya masing-masing dan, tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif dengan alasan apapun.

Setiap daerah yang terintegrasi dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Inilah komitmen kita bernegara, semenjak Papua menyatakan diri bergabung dalam NKRI tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Namun apa yang terjadi di Wamena, Papua, bukan lagi tindakan biasa ini sudah menjadi kejahatan luar biasa, pembantaian etnis (genosida), bagi para pendatang di daerah itu. Perasaan "kebencian" orang Papua terhadap pendatang sudah tidak dibenarkan lagi menurut hukum Indonesia dan Hukum Internasional.

Kelompok separatis yang diprovokasi oleh Benny Wenda sangat beringas, mencabik-cabik perasaan kemanusiaan kita dan menghancurkan keharmonisan bernegara kita. Sementara negara diam tanpa sikap apapun terhadap kejahatan kemanusiaan itu.

Meskipun kita tetap mengakui, banyak masalah yang belum bisa diatasi oleh pemerintah dalam rangka untuk pemerataan pembangunan, namun kita tidak bisa membenarkan dengan alasan yang sama pembunuhan terhadap sesama warga negara.

Kalau masalah kesenjangan menurut saya, Orang Papua harus menuntut kepada pemerintah, bukan membantai sesama warga negara. Dengan alasan apapun juga pembantaian itu adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.

Jalan Pemerintah


Situasi kemanusiaan yang memburuk itu, tidak bisa diselesaikan dengan kata "harap tenang" atau "pace, mace, sabar". Butuh langkah konkrit untuk mengatasi ini.

Pemerintah Jokowi harus berkaca pada sejarah, bagaimana cara menyelesaikan konflik daerah seperti di papua itu. Misalnya ketika Perdana Menteri Mohammad Natsir menyelesaikan masalah tuntutan rakyat Aceh.

Kejadian pada tanggal 22 Desember 1950, hasil dari kongres PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dan mosi DPRD Aceh yang meminta untuk di menjadi provinsi sendiri, bukan lagi bagian dari Provinsi Sumatra Utara.

Natsir sebagai perdana menteri dan KH Masjkur beserta rombongan, mengunjungi Kutaraja (Banda Aceh) pada tanggal 22 hingga 23 Januari 1951, Untuk berdialog dengan Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan anggota DPRD Aceh serta rakyat Aceh.

Dalam dialog yang berujung kebuntuan atau dek lock, karena Aceh tetap pada pendiriannya yaitu tetap provinsi sendiri yang terpisah dari Sumatra Utara. Dalam kebuntuan tersebut, Akhirnya Natsir menyampaikan kepada Tengku Daud Beureueh, besok saya balik ke Jakarta dan segera menghadap Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, untuk mengembalikan mandat sebagai perdana menteri, karena telah gagal untuk mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dengan saudara-saudaraku di Aceh.

Daud Beureuh heran dengan pernyatan Natsir tersebut dan menanyakan alasan kenapa dia mengembalikan mandat kepada presiden. Natsir menjelaskan, karena saya gagal mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dan saudara-saudara di Aceh. Sebab, kalau Aceh berkeras dan pemerintah pusat juga bersikeras, maka pemerintah pusat akan mengambil tindakan tegas, termasuk mengirim pasukan tentara apabila Aceh tetap dengan pendiriannya.

"Saya tidak mau menyaksikan peristiwa “perang saudara” tersebut karena Aceh telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam mendukung proklamasi dan mempertahankan negara proklamasi, dan saya tidak ingin itu terjadi saat saya menjabat perdana menteri,” kata Natsir.

Mendengar ucapan itu Tengku Daud Beureueh, terdiam dan tertekun sejanak, setelah dengan tarikan nafas panjang, dia meminta kepada Natsir untuk menunda kepulangannya beberapa hari, karena Daud besok akan segera mengumpulkan ulama Pusa dan DPRD untuk membicarakan permasahan ini.

Setelah diadakan pertemuan Tengku Daud Beureueh, Ulama Pusa dan DPRD, akhirnya Aceh menerima jalan kompromi yang ditawarkan pemerintah pusat, yaitu setuju pembentukan provinsi sendiri yang terpisah dengan Sumatra Uatara, melalui mekanisme dan prosedur yang ada, karena pemerintah masih terikat dengan perjanjian antara RIS dan RI, Ini hanya bisa diubah dengan UU, maka memerlukan waktu.

Apa yang dilakukan oleh M. Natsir dalam menangani persoalan Aceh ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Jokowi sekarang ini. Natsir siap meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri kalau gagal mendamaikan Aceh. Kepribadian seperti itu harus tertanam dalam diri pemerintah sekarang.

Apa yang dilakukan Perdana Menteri Natsir dengan turun langsung memperudingkan masalah Aceh adalah merupakan sikap pemimpin yang mau menyelesaikan konflik, bukan seperti sekarang ini, setengah hati menangani masalah Papua.

Penanganan konflik lokal tidak bisa di serahkan kepada pemerintah daerah. Apalagi kelompok separatis tidak lagi berkompromi dengan pemerintah dan mereka ingin keluar dari NKRI dengan alasan membentuk negara sendiri (merdeka). Artinya, tidak ada pintu untuk dialog lagi, seyogyanya untuk melindungi warga negara pendatang di daerah itu pemerintah harus mengerahkan kekuatan militer.

Konflik Papua sudah melewati komunikasi yang panjang, namun pemerintah pusat tidak serius melakukan perubahan-perubahan, hingga akhirnya pintu dialog antara Papua dan Jakarta tertutup. Kemarahan orang Papua itu bukan lagi kemarahan vertikal (pemerintah pusat), melainkan sudah menjadi kekejaman rasial (horizontal) antara orang Papua asli dengan pendatang atau dengan kata lain "perang" antar warga negara.

Sudah 32 orang meninggal dari suku bugis dan minang menjadi korban pembantaian etnis. Sementara negara masih sibuk mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya, sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI tutup oleh kabut asap ban dan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan.

Negara Alpa


Rakyat Indonesia meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keamanan mereka dalam negara. Kenapa pemerintah tidak hadir? Apakah pemerintah tidak melihat pembantaian itu?

Pemerintah terlalu sibuk untuk mengurus kursi kekuasaan. TNI sebagai kekuatan penjaga NKRI Ikut sibuk pula dalam mengawal kursi kekuasaan itu dengan mengancam siapa saja yang ingin menggagalkan pelantikan presiden. Siapa yang ingin menggagalkan pelantikan Presiden?

Sementara persoalan yang mengancam kedaulatan bangsa dan membuat tercabik-cabiknya NKRI, TNI tidak memiliki sikap apapun, sehingga kita patut bertanya, kepada siapa kita meminta pengamanan?

Rakyat Indonesia di Papua, ribuan orang di Wamena dalam keadaan terancam oleh gerakan separatis. Kenapa negara dalam hal ini Presiden, Para Menteri, TNI, Kepolisian, tidak memiliki sikap dan langkah apapun untuk memberikan keamanan kepada warga negara yang terancam nyawanya?

Saya sendiri menyayangkan absenya pemerintah pusat dalam melindungi warga negara. Begitupun dengan Din Syamsuddin yang juga menyesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil. Menurut Din Syamsuddin, dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Hal senada juga disampaikan oleh Syahganda Nainggolan yang menyebutkan bahwa pemerintah Jokowi tidak hadir dalam persoalan kemanusiaan di Wamena Papua dan, telah disibukkan oleh persoalan demonstrasi di Jakarta. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Jokowi Lalai dalam melindungi warga negara dan Alpa dalam setiap persoalan bangsa.

Separatis Melanggar HAM


Gerakan Papua Merdeka bukan lagi sebatas jargon, bendera Bintang Kejora bukan lagi sebatas bendera adat, tetapi itu sudah menjadi lambang separatisme di Indonesia.

Benny Wenda sebagai pimpinan gerakan itu wajib bertanggungjawab atas kematian 32 orang dan ratusan korban luka-luka serta ratusan rumah serta fasilitas umum yang terbakar.

Keamanan warga negara disana adalah tanggung jawab Pemerintah. Pemerintah wajib bertanggungjawab atas apa yang menimpa warga negara Indonesia di Tanah Papua. Keamanan dan nyawa mereka adalah tugas negara.

Pemerintah saatnya menyatakan bahwa gerakan Operasi Papua Merdeka adalah gerakan separatis yang melanggar HAM, dan telah mengkhianati prinsip Negara pancasila dan Hukum Internasional.

Pemerintah jangan menganggap urusan Papua sebagai hal yang biasa. Kalau sudah tidak mampu merekatkan bangsa lebih baik nyatakan sikap. NKRI sedang dalam bahaya, dan perlu pemimpin yang punya komintmen, keberanian, kecerdasan dan independen dalam menyelesaikan semua problem bangsa sekaran ini. rmol news logo article

Penulis adalah advokat yang juga dosen Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial Politik UMJ

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA