Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menakar Peluang Judicial Review Revisi UU KPK

Sabtu, 21 September 2019, 03:52 WIB
Menakar Peluang Judicial Review Revisi UU KPK
Ilustrasi paripurna pengesahan revisi UU KPK/RMOL
TIDAK acuh pada seruan nurani publik, pemerintah dan DPR telah bermufakat atas revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Kesepakatan tersebut dinilai cacat moral oleh banyak pihak karena selain keganjilan dalam hal prosedurnya, secara substantif ia bukannya menguatkan KPK sebagaimana menjadi harapan publik tetapi justru sebaliknya malah melemahkan KPK.

Meskipun demikian, rezim revisi UU KPK secara prosedural formal resmi dimulai sejak persetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR tersebut.  Pasalnya, persetujuan bersama terhadap revisi UU KPK tersebut hanya perlu ditindakanjuti oleh pengesahan Presiden dan pengundangannya dalam Lembaran Negara.

Berdasarkan dugaan terjadinya cacat prosedur dan/atau cacat substansi tersebut,  banyak pihak yang kemudian berancang-ancang akan mengajukan permohonan judial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan judicial review ke MK memang sangat penting dilakukan mengingat revisi UU KPK secara substantif akan berdampak negatif pada tugas pemberantasan korupsi seperti misalnya karena keberadaan dewan pengawas, munculnya syarat izin tertulis dalam prosedur penyadapan, dan dicopotnya kedudukan pimpinan KPK sebagai penyidik dan penuntut umum.

Untuk dapat membatalkan ketentuan-ketentuan hasil revisi tersebut, langkah yang secara konstitusional mungkin dilakukan dalam waktu dekat memang hanyalah melalui judicial review ke MK baik berupa pengujian formal maupun pengujian materiil.

Secara formal, tidak perlu diragukan lagi bahwa Pemerintah dan DPR memang memiliki kewenangan untuk membentuk, mengubah, atau mencabut suatu undang-undang. Namun permasalahannya adalah apakah kewenangan tersebut telah digunakan sesuai dengan prosedur yang tepat sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011).

Berbeda dengan aspek kewenangan, dalam hal prosedur banyak cacat yuridis yang telah diungkapkan oleh para pegiat anti korupsi seperti misalnya tidak adanya naskah akademik, revisi UU KPK tidak masuk Prolegnas Prioritas Tahun 2019, rapat-rapat pembahasan dilakukan secara tertutup, dan lain sebagainya.

Akan tetapi dalam tulisan ini kajian hanya akan difokuskan terhadap dua cacat utama yang menyertai proses revisi UU KPK tersebut. Pertama, pemerintah dan DPR telah melanggar prinsip keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana telah diamanahkan dalam Pasal 5 huruf g UU 12/2011.

Alih-alih memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memberikan masukan, penolakan publik yang terus menggemapun diabaikan oleh Pemerintah dan DPR. Lalu, bagaimana mungkin seluruh lapisan masyarakat dapat memberikan masukan terhadap revisi UU KPK yang dikebut dalam proses pembentukannya tersebut?!.

Pelanggaran terhadap asas keterbukaan tersebut berdasarkan kajian legalitas formal dalam perspektif hukum administrasi bersentuhan langsung dengan asas demokrasi. Padahal, negara kita adalah sebuah negara demokrasi sebagaimana telah ditegaskan melalui Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Oleh sebab itu, pelanggaran terhadap asas keterbukaan dalam proses revisi UU KPK tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk pengabaian terhadap kedaulatan rakyat yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945.

Kedua, pemerintah dan DPR telah melanggar pula prinsip kedayagunaan dan kehasilgunaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 5 huruf e UU 12/2011. Dikatakan demikian karena beberapa substansi revisi UU KPK terindikasi kuat malah akan melemahkan KPK. Pelemahan terhadap KPK tentu saja semakna dengan pelemahan terhadap pemberantasan korupsi yang telah menjadi salah satu tujuan reformasi selama ini.

Untuk itulah, dapat diduga bahwa revisi UU KPK dilakukan bukan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan dan kemanfaatan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana menjadi tujuan dari asas kedayagunaan (doelmatiegheid)  dan kehasilgunaan (doeltreffenheid).


Padahal, keberadaan negara menurut Plato dan Aristoteles dimaksudkan untuk kepentingan warga negaranya agar mereka dapat hidup dengan baik dan bahagia. Lalu, mungkinkah warga negara dapat hidup bahagia apabila pemberantasan korupsi akan melemah seiring dengan pelemahan KPK?, jawabannya tentu saja tidak!

Bagaimana mungkin keadilan akan tercipta jika misalnya pelemahan terhadap KPK kemudian menyebabkan melemahnya pemberantasan korupsi. Pelemahan KPK pada gilirannya justru akan semakin menjauhkan negara ini dari tujuan pencapaian keadilan yang menjadi dasar filosofis dari semua pemerintahan.
Pelemahan terhadap pemberantasan korupsi pada gilirannya juga berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.

Apabila korupsi tetap merajalela di negeri ini, maka hak-hak asasi warga negara yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi oleh negara sangat mungkin akan terabaikan. Dikatakan demikian, sebab mengguritanya korupsi akan menimbulkan kemiskinan, terbatasnya akses pelayanan kesehatan, terbatasnya akses  pendidikan bagi semua warga negara, dan memburuknya pelayanan-pelayanan publik lainnya.


Pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersebut tentu saja bersinggungan langsung dengan asas negara hukum yang secara substantif berorientasi terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, pelemahan terhadap KPK yang berpotensi menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak warga negara tersebut sekaligus dapat dimaknai sebagai bentuk pengingkaran terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.


Kajian terhadap dua cacat prosedural saja seperti di atas telah menyentuh jantung dalam kehidupan bernegara, yaitu asas negara hukum dan asas demokrasi. Apalagi jika kemudian dilakukan kajian secara lebih komprehensif dan lebih mendalam terhadap cacat prosedur dan cacat substansi lainnya dalam bentuk permohonan judial review ke MK.

Oleh sebab itu, harapan dan peluang jika dilakukan judical review ke MK seperti yang sedang direncanakan dan sedang disiapkan oleh banyak pihak terbuka lebar untuk dikabulkan. Semoga!rmol news logo article

Oleh Adam Muhshi
Penulis adalah pengajar Hukum Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Jember, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga dan Penerima Beasiswa Eka Tjipta Foundation.
   

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA