Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengejar Pajak Hingga Ke Sumur

Selasa, 13 Agustus 2019, 10:26 WIB
Mengejar Pajak Hingga Ke Sumur
Foto:Net
PEMERINTAH makin sibuk mengejar rakyat dengan aneka pajak. Semua aspek dipajaki, nyaris tanpa celah. Setelah sebelumnya heboh pajak terhadap pempek, kresek dan nasi bungkus, kini harta rakyat akan diendus hingga ke lubang sumur sekalipun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan wajib pajak bahwa mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajibannya. Ditjen Pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan.

Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah ikut dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI). Dari situ negara-negara yang tergabung di dalamnya akan mendapatkan data informasi perpajakan secara otomatis.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyatakan, jika ada yang mau menggali sumur di belakang rumah untuk menaruh duit, akan dicari pakai drone di situ. Semua harta milik rakyat jelata dipajaki oleh negara, bahkan fakir miskin pun kena pajak.

Ironisnya, pemerintah justru menaikkan batas harga minimal kelompok hunian mewah, seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house dan sejenisnya yang bebas Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Pemerintah juga akan menghapus PPnBM kapal pesiar atau yacht asing yang masuk Indonesia. Orang miskin dipalaki, konglomerat dikasihani.

Ekonomi Didikte "Meneer" Dunia

Sikap pemerintah yang seolah "kejar tayang" perolehan pajak ini karena didikte oleh "meneer" alias tuannya yakni Dana Moneter Internasional (IMF). Baru-baru ini IMF merilis hasil assessment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article IV Consultation tahun 2019. IMF merekomendasikan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

MTRS, menurut IMF, mewakili peta jalan reformasi sistem perpajakan yang komprehensif. MTRS menyentuh hampir semua aspek perpajakan, termasuk PPN, cukai, PPh Badan, PPh Orang Pribadi, pajak properti dan administrasi pajak. Isi MTRS adalah sebagai berikut:

Pertama, reformasi administrasi perpajakan. Kedua, reformasi perpajakan dengan merampingkan sistem perpajakan. Ketiga, memperluas basis pajak yang sudah berlaku. Keempat, kebijakan meningkatkan tarif pajak atau mengenakan tarif pajak baru untuk meningkatkan penerimaan secara substansial.

IMF juga menyarankan pemerintah untuk menghapus subsidi BBM sebelum mengenakan cukai terhadap BBM, menghapus pembebasan PPN dan menurunkan batas (threshold) PPN sebelum menaikkan tarif PPN, serta memastikan kekuatan jaring pengaman sosial. MTRS tersebut oleh IMF dinyatakan mestinya mampu meningkatkan pendapatan negara sekitar 5 pesen dari PDB selama lima tahun ke depan.

Rakyat Makin Menderita

Pelaksanaan MTRS ini akan membuat beban hidup rakyat makin berat. Pajak yang sudah diterapkan saat ini saja sudah terasa berat, jika ditambahi dengan kebijakan baru, rakyat akan makin terhimpit. Lantas bagaimana rakyat bisa sejahtera jika tiap hari dipalaki negara? Di era digital rakyat disuruh berbisnis online, namun baru saja bisnis ini tumbuh, petugas pajak sudah patroli di dunia maya untuk mencari pedagang yang bisa dipajaki. Lantas kapan ekonomi rakyat bisa tumbuh stabil?

Memang benar bahwa pajak adalah salah satu pemasukan negara, yang nantinya digunakan untuk membangun negara. Namun pajak tak seharusnya menjadi pemasukan utama negara. Jika pajak menjadi pemasukan utama, berarti rakyat membiayai sendiri kebutuhannya. Lantas dimana peran negara? Negara tak boleh berperan seperti developer yang mengumpulkan uang rakyat lalu membangun infrastruktur dengan dana tersebut. Lantas minta dianggap sudah mengurusi rakyat.

Sementara rakyat telah menyerahkan harta kolektifnya yakni segenap tambang, laut, hutan, sungai, tanah dan kekayaan alam lainnya pada negara. Pemerintah harus fokus mengelola itu semua sebagai pemasukan negara untuk mendanai pembangunan. Sehingga harta individual rakyat tak boleh dijamah negara.

Jika setelah mengelola harta kolektif (kekayaan alam) secara optimal negara ternyata kehabisan dana untuk pembangunan yang mendesak, negara boleh memungut pajak secara temporer pada orang kaya saja. Inilah kebijakan yang adil dalam pemungutan pajak. Rakyat miskin tak akan dibebani pajak, sementara orang kaya dibebani secukupnya.

Jika pemerintah enggan mengelola kekayaan alam secara mandiri dan justru menjualnya secara murah ke kapitalis asing, lalu sangat sibuk memungut pajak dari rakyat secara besar-besaran, tak salah pemerintah digelari rezim neolib. Yakni rezim yang bekerja untuk para "meneer" penjajah ekonomi, tidak berkhitmad untuk rakyat. Lantas masih layakkah rezim seperti ini mengharap dukungan dari rakyat? rmol news logo article

Ragil Rahayu, SE

Komunitas Revo-Ekonomi.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA