Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Trade War China-AS: Dampak Depresiasi Yuan terhadap Stabilitas Ekonomi Dunia

Kamis, 08 Agustus 2019, 15:28 WIB
Trade War China-AS: Dampak Depresiasi Yuan terhadap Stabilitas Ekonomi Dunia
PASAR keuangan dunia mengalami gejolak dan perseteruan dagang Amerika-China makin memanas.

Kondisi tersebut dipicu dari kebijakan terbaru bank sentral Tiongkok (PBoC-People’s Bank of China) yang melakukan pelemahan (depresiasi) Yuan pada hari senin (5/8). Yuan tercatat tenggelam ke rekor rendah sebesar lebih dari 7.10 yuan per dolar menurut The Wall Street.

Tindakan sengaja tersebut adalah hal pertama kali dilakukan PBoC sejak krisis 2008.

Langkah depresiasi tersebut dinilai sebagai balasan atas ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

Presiden AS dari partai republik itu mengancam untuk mengenakan tarif 10 persen atas produk-produk Tiongkok senilai USD300 miliar yang efektif pda 1 September mendatang.

Depresiasi Yuan tersebut langsung disikapi aksi penjualan (sell off) saham global.

Di pasar offshore yuan diperdagangkan pada 7.0949 per dolar, setelah berpindah tangan pasar onshore Yuan diperdagangkan di 7.0507.

Pergerakan yuan tersebut terjadi setelah PBoC (Bank Sentral Tiongkok) menetapakan kebijakan kurs referensi harian baru yaitu lebih dari 6.9 yuan per dolar. Dalam pasar onshore, Yuan diperbolehkan bergerak dalam sebuah band yang dapat berfluktuasi 2% dari kurs referensi tersebut.

Kenapa terjadi aksi penjualan (sell off) di Wall Street?

Para ekonom dan traders berdebat apakah pelemahan yuan disengaja oleh Beijing untuk menjadikan yuan sebagai senjata di perang perdagangan.

Para pialang Wall Street kemudian melakukan pelarian aset saham dan aset lainnya yang dianggap memiliki prospek risiko pukulan tinggi jika terjadi ketegangan lanjutan perang dagang AS dan Cina.

Fenomena Wall Street tersebut kemudian menyebar ke pasar saham global lainnya sampai senin sore.

Dow Jones Industrial jatuh hampir 900 poin, atau 3,4%, sementara di S&P 500 turun sekitar 3,5%. Komposit Nasdaq tech merosot 4%.

Mayoritas analis berpendapat sebaiknya kesepakatan dagang Amerika dan Tiongkok segera terjadi.

Tiongkok telah menggunakan senjata mata uang dan senjata tersebut diduga akan memicu gejolak mata uang lain (currency war) untuk sengaja melemahkan diri untuk keuntungan ekspor produknya.

Para pejabat Tiongkok tidak menyangkal tafsiran itu. Bahkan pernyataan resmi dari pihak PBoC (Bank Sentral Tiongkok) mengatakan bahwa penurunan mata Yuan terjadi karena efek dari reaksi unilateralist dan tindakan keseimbangan dari sikap proteksionis dalam perdagangan.

Langkah tersebut membuat Trump marah dan menuduh Cina melakukan "manipulasi mata uang" dalam serangkaian tweets-nya.
"China dropped the price of their currency to an almost a historic low. It’s called “currency manipulation.” Are you listening Federal Reserve? This is a major violation which will greatly weaken China over time!"
Apakah Tiongkok menghendaki perang menggunakan senjata Yuan?

Gubernur Bank Sentral Tiongkok, Yi Gang mengatakan bahwa nilai tukar Yuan “tidak diatur pada spesifik level tertentu”. Pernyataan ini penting karena pelemahan yuan akan dapat berlanjut di kemudian hari.

Pernyataan tersebut berarti Tiongkok memberikan peringatan keras bahwa senjata devaluasi Yuan adalah devaluasi yang kapanpun dapat diaktifkan.

Yuan dapat jatuh dibawah fundamentalnya untuk keperluan ancaman. Hal tersebut dapat menyebabkan murahnya produk china diseluruh dunia dan akhirnya memperbesar ketidakseimbangan perdagangan dunia yang seharusnya berada dalam iklim yang fair dan bertanggunjawab.

Tindakan pejabat Tiongkok tersebut adalah tindakan yang dapat menjadi bumerang bagi produk China.

Derasnya produk China karena murah akan menyebabkan persepsi global bahwa produk China kurang berkualitas dan murahan. Para Importir China juga akan merasa tidak puas dengan pemerintahnya sendiri karena harga impor semakin berat dan debitor dalam negeri China akan kesulitan membayar utang bisnis dalam bentuk dolar karena semakin mahal.

Apapun kemungkinan yang akan terjadi, tindakan PBoC tersebut menegaskan bahwa Tiongkok siap berperang dagang dengan Amerika menggunakan senjata devaluasi Yuan untuk membalas kenaikan Tarif impor produk China di Amerika.

Bagaimana Episode Perang Selanjutnya?

Trade war AS-China akan terlanjut dan memasuki episode berikutnya yaitu currency war.

Perubahan permainan dari Episode Trade War ke Episode Currency War akan berdampak lebih besar dan akan menyakiti tidak hanya ekonomi AS dan Cina tapi Ekonomi Global.

Ada prediksi jika currency war berlanjut maka ada tiga skenario yang mungkin terjadi.

Pertama, AS akan merespon dengan memperluas tipe produk impor China yang dikenakan kenaikan tarif impor.

Akibatnya harga produk China di AS menjadi lebih mahal dan China akan meresponnya dengan melakukan devaluasi Yuan lebih dalam.

Akibatnya secara relatif harga produk China di AS akan tetap dan tidak memberatkan konsumen AS.

Secara paralel, produk China akan banyak membanjiri pasar lainnya seperti pasar Asia dan Afrika. Dampaknya China akan menjadi produsen terbesar di dunia dan AS harus mengakui kalah menjadi ekonomi kedua dunia. Ekonomi global tetap stabil bahkan bisa lebih tinggi karena suplai produk murah memacu ekonomi lainnya.

Kedua, sama seperti skenario pertama, dimana AS memperluas cakupan tarif impornya ditambah keberhasilan AS mengembangkan sentimen anti-China di negara-negara Asia dan Afrika, China dikenakan persepsi negatif yang meluas di publik Asia khususnya dunia muslim seperti tuduhan anti demokrasi, tuduhan pelanggar HAM muslim Urghuy, tuduhan manipulasi mata uang sehingga produk China diboikot dan China merugi karena citranya rusak. Dalam skenario kedua ini China dapat mengalami resesi dan dampak resesi tersebut akan diikuti rontoknya ekonomi lain. Ancaman krisis china tersebut dapat disikapi dengan perang fisik di laut china selatan karena China marah atas upaya sekutu AS tersebut.

Ketiga, skenario terjadinya perdamaian AS-China. Keduanya melakukan deal perdagangan secara rasional sehingga globalisasi berkembang dan AS tetap menjadi penguasa ekonomi dunia.

Namun, skenario apapun yang terjadi, para pemain wall street akan memberikan perhatian lebih kepada devaluasi Yuan di waktu dekat. Jika jadwal perundingan september mendatang tidak tercapai kesepakatan maka kondisi pasar wall street akan terus terjadi dinamika sell off sampai 2020 mendatang.

Dampak Bagi Indonesia

Dalam jangka menengah, lemahnya pasar modal karena aksi jual (sell off) para investor wall street dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia karena investor dapat beralih ke pasar modal negara Asia lainnya termasuk Indonesia.

Indonesia adalah negara safe heaven bagi investor global dalam mengambil keuntungan jangka pendek karena imbal hasil Indonesia paling tinggi di negara Asia lainnya.

Namun kue investor global tersebut tidak dapat dirasakan seluas-luasnya oleh publik domestik karena  masuknya investasi tersebut harus dikompensasi dengan pemberian bunga tinggi.

Bahkan jika rupiah terapresiasi karena derasnya aliran modal masuk, ekspor Indonesia makin sulit diterima pasar dan defisit transaksi berjalan (CAD) semakin lebar. Indonesia akan dinilai vulnerabel di masa depan. Terima kasih atas program populer pemerintah yang masif tapi tidak produktif.

Untuk mempertahankan depresiasi yuan jangka pendek, China akan makin masif melakukan program infrastruktur OBOR (one belt one road) ke Indonesia. Investasi Yuan yang besar-besaran makin menambah depresiasi Yuan sehingga Amerika akan semakin kesulitan melawan perdagangan China.

Kemudian AS menyikapinya dengan pengenaan tarif impornya lebih keras lagi terhadap China dan China akan lebih dalam lagi menurunkan Yuan, dampaknya adalah hancurnya kredibilitas kepercayaan kepada sistem mata uang internasional yaitu sistem fiat money. Akhirnya sistem fiat money runtuh dan sistem mata uang berbasis komoditas dapat muncul kembali seperti era sebelum 1970, dimata mata uang Internasional harus “dipegging” pada emas dan komoditas logam mulia lainnya.

Keruntuhan fiat money akan sangat merugikan AS, Eropa dan negara net impor seperti Indonesia dan Timur Tengah. Karena sistem mata uang berdasarkan “pegging” akan menguntungkan negara yang memiliki basis komoditas dan basis ekspor seperti China, Rusia dan Israel.

Pelajaran Bagi Indonesia

Pejabat ekonomi Indonesia harusnya memahami bahwa mata uang adalah pedang bermata dua yang harus dikendalikan oleh kuatnya fundamental ekonomi. Akhir-akhir ini, mata uang rupiah seringkali berfluktuasi dengan alasan tekanan eksternal dari negara lain. Seolah-olah rupiah tidak perkasa dan dipermaikan oleh mata uang lain.

Hal tersebut adalah pandangan lama yang seharusnya para pejabat ekonomi Indonesia memainkan permainan baru terhadap mata uang Rupiah yang menjadi penyeimbang kekuatan bagi ketahanan ekonomi Indonesia. rmol news logo article

Hidayat Matnoer MPP
Pengamat Kebijakan Ekonomi Moneter

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA