Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Amerika Takut Kepada Iran?

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Jumat, 05 Juli 2019, 16:46 WIB
Amerika Takut Kepada Iran?
Ilustrasi/NET
SULIT membayangkan sebuah negara super power seperti Amerika takut dengan sebuah negara Asia yang kurang diperhitungkan seperti Iran. Kalau dilihat dari kekuatan militernya, baik dari sisi jumlah prajurit maupun kecanggihan mesin perang yang dimilikinya, Iran bukanlah lawan yang sepadan bagi negara yang kini dipimpin oleh Donald Trump itu.

Iran sebenarnya tahu diri dan tidak ingin berperang melawan Amerika. Akan tetapi, dengan menyatakan keluar dari kesepakatan Joint Comprehensive Plan of Action Partnership (JCPOA) secara tiba-tiba dan tanpa alasan yang jelas, diikuti sanksi dan ancaman perang yang dilintarkan berkali-kali oleh Washington, Trump dinilai telah merusak jalur diplomasi. Karena itu, cara satu-satunya yang tersedia bagi Teheran untuk menghadapinya adalah dengan melawan, sebagaimana diungkapkan Keyvan Khosravi, juru bicara Dewan Tertinggi Keamanan Nasional Iran.
 
Menurut Mentri Intelijen Iran Mahmoud Alavi, Amerika batal menyerang Iran karena takut dengan kekuatan militer negerinya. Sebagai orang nomor satu dalam informasi intelijen di Iran, versi Alevi mengapa Amerika yang sudah mengumbar ancaman, dalam situasi yang sudah berada dalam puncak ketegangan, ternyata tidak bereaksi saat dronenya ditembak. Padahal rontoknya drone mata-mata RQ-4 Global Hawk yang diklaim sebagai tercanggih, telah menampar wajah Amerika dan mempermalukannya di dunia internasional.

Kalau selama ini Washington yang mendikte berbagai syarat agar Iran dilepaskan dari sanksi Amerika, kini Teheran balik mendikte negara-negara penandatangan JCPOA seperti Rusia, China, Inggris, Perancis, dan German.

Presiden Iran Hassan Rouhani mengancam jika negara-negara ini tetap tunduk dan hanya mengikuti Amerika, maka Iran tidak tidak akan terikat lagi dengan kesepakatan JCPOA. Karena itu Teheran akan mengaktifkan kembali reaktor nuklir air berat Arakan, untuk memperkaya uranium yang ditakutkan negara-negara Barat. Jika hal ini dibiarkan, maka potensi Iran untuk memiliki senjata nuklir hanya masalah waktu saja.

Sebenarnya Rusia dan China sebagai sahabat atau sekutu Iran meskipun selama ini hanya diam berada di sisi Iran, sementara Inggris, Perancis, dan German memilih untuk tidak sepenuhnya mengikuti Amerika, akan tetapi tidak sepenuhnya menolak. Untuk itu mereka membuat mekanisme pembayaran baru yang dikenal dengan INSTEX, untuk mensiasati sanksi Amerika agar tetap bisa membeli minyak Iran.

Mekanisme baru ini tidak memuaskan Teheran, karena mereka tidak bisa membeli minyak Iran dengan volume yang sama dengan sebelum sanksi Amerika dijatuhkan. Iran menuntut agar mereka membeli minyak Iran 100 persen sebagaimana kesepakatan JCPOA.

Negara-negara Eropa sekutu Amerika dalam lobi-lobi tertutup di bawah permukaan, kini menekan Amerika untuk menemukan jalan keluar yang elegan. Di satu sisi mereka telah menolak untuk mengikuti petualangan Donald Trump, di sisi lain mereka juga tidak ingin merusak hubungan baiknya dengan Washington yang sudah berlangsung lama.

Trita Parsi seorang professor tentang Timur Tengah dari Georgetown University, menyesalkan sekaligus menyalahkan para Penasihat Presiden Donald Trump khususnya John Bolton yang menjabat Penasihat Keamanan Nasional dan Mike Pompeo yang menjabat Menlu, atas sikap agresifnya sehingga membuat   Amerika menghadapi berbagai kesulitan saat ini. Hal ini bukan saja terjadi terkait hubungan Amerika dengan Iran, akan tetapi juga membuat Amerika mengalami kesulitan serupa dalam menyikapi perkembangan di Venezuela.

Sementara Menurut Andreas Krieg pengajar di Scurulity Studies di Kings College London, baik Washington maupun Teheran telah menunjukkan sikapnya pada puncak ketegangan. Unjuk kekuatan berupa pengerahan Angkatan Laut dan Angkatan Udara Amerika, ternyata  dibalas dengan unjuk kemampuan dengan cara menembak drone mata-mata Amerika oleh pasukan Iran.

Ternyata insiden ini tidak membuat terjadinya perang yang dikhawatirkan banyak pihak. Karena itu, kini satu-satunya jalan yang tersedia adalah jalur diplomasi melalui meja perundingan. Atau Amerika akan melanjutkannya melalui perang ekonomi berkepanjangan, sebagaimana telah dimulainya dengan sanksi ekonomi, sehingga saat ini Iran tidak bisa mengekspor minyaknya.

Kini Trump kena batunya, perang tidak berani sementara sanksi ekonomi tidak sepenuhnya bisa berjalan, terjepit di antara kawan dan lawan. Kembali ke JCPOA jelas tidak mugkin, lebih dari itu, selama ini ia terlanjur telah mengolok-olok pendahulunya Presiden Barack Obama karena telah membuat kesepakatan JCPOA yang dinilai merugikan Amerika dan menguntungkan Iran. Kini ia dipaksa untuk mengakui kecerdasan pendahulunya itu.

Bagaimana Trump menemukan jalan keluar, mari kita ikuti bersama, apakah ia bisa mendapatkan solusi yang elegan?

Dr. Muhammad Najib

Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA