Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pansel KPK, "Koruptor" Itu Anti Radikalisme!

Jumat, 21 Juni 2019, 10:05 WIB
Pansel KPK, "Koruptor" Itu Anti Radikalisme<i>!</i>
Pansel Capim KPK/Net
KESEMPATAN baik menjadi Tim Seleksi Calon Pimpinan KPK dimanfaatkan dengan buruk oleh para penerima mandat. Terlepas dari ada atau tidaknya paham radikalisme yang katanya sudah mulai memasuki gedung KPK.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Pernyataan Ketua Timsel Capim KPK Yenti Garnasih sangat mengganggu bahkan memiliki efek yang 'mengerikan' bagi sebuah bangsa. Karena akan menciptakan rasa takut bahkan ketakutan itu telah meliputi lembaga negara.

Menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam seleksi Calon Pimpinan KPK bukan hanya merusak citra bangsa Indonesia, tetapi menghancurkan kredibilitas pemberantasan korupsi yang selama ini telah bekerja secara baik.

Negara seakan-akan telah diliputi oleh radikalisme dan terorisme, sehingga setiap sudut dan ruang bernegara harus dijaga dari paham itu. Sekarang nurani kita dipaksa untuk menyaksikan semacam dramatisasi ini.

Menjadi Capim KPK mungkin hal yang tidak mudah, dan harus memiliki track record yang jelas, dengan disiplin ilmu hukum yang jelas. Tidak mudah orang menjadi Capim KPK, apalagi lembaga ini merupakan lembaga penting untuk menegakkan moralitas pejabat negara.

Panitia seleksi calon pimpinan KPK, sepertinya tidak mengerti apa itu pemberantasan Korupsi. Ada fokus yang salah dari Pansel KPK dalam mencari figur anti Korupsi. Seharusnya Pansel KPK mencari tokoh yang memiliki semangat dan integritas anti korupsi. Tetapi sekarang kita lihat begitu rusaknya cara pandang Pansel  KPK, mereka sibuk menyeleksi tokoh antiradikalisme dan terorisme.

Bayangkan, betapa rusaknya cara berpikir Pansel KPK periode ini. Orang-orang ini menurut saya, hasil dari produk gagalnya presiden mencari tokoh yang punya pengetahuan dan pemahaman dalam pemberantasan korupsi untuk menjadi Tim Seleksi Pimpinan KPK.

Negara ini memang telah melahirkan banyak tumpang tindih fungsi dan kewenangan lembaga negara dalam berbagai hal. BNPT kini berwenang untuk menilai Capim KPK dengan alasan menghalau paham radikalisme.

Sementara paham radikalisme yang masih bertengger dalam pemahaman BNPT masih berkutat pada 'ajaran Islam' yang dianggap sebagai doktrin gerakan-gerakan Islam transnasional. Karena itu patut kita pertanyakan, paham radikalisme seperti apa yang ingin dihalau di KPK?

Apakah orang-orang Islam yang dianggap memiliki pemahaman Islam dan memahami doktrin-doktrin Islam itu dianggap radikal? Ataukah mereka yang secara 'simbolik' memiliki jenggot yang tebal, celana cingkrang dengan memakai kopiah dan piyama disertai jidat yang hitam dianggap sebagai radikalis?

Sampai disini kita belum mendapatkan penjelasan yang konkrit tentang radikal itu ditunjukkan kepada orang seperti apa dan golongan yang bagaimana. Kita masih diberikan informasi yang kecil sekali nilainya, lalu disuruh membayangkan bahwa teroris seakan-akan mengancam Institusi KPK.

Sebab pernyataan Ketua Timsel Capim KPK bahwa "tidak ingin kecolongan". Seakan-akan terorisme sedang mengepung institusi-institusi negara yang vital itu dengan massif. Selain menimbulkan ketakutan bahkan kegaduhan, juga bisa menimbulkan pemahaman dan penafsiran yang kekeliruannya akan meluas.

Kondisi ini patut menjadi perhatian kita bersama, karena KPK ini bukan hanya sebagai harapan bagi negara, tetapi telah menjadi harapan bagi kita semua untuk menegakkan moralitas pejabat yang sampai saat ini belum menampakkan kearah perbaikan.

Jadi untuk menegakkan moralitas, integritas dan semangat anti korupsi lembaga negara, Pimpinan KPK tidak hanya dituntut untuk mengkampanyekan anti korupsi, tetapi juga menjadi benteng moral, akidah, akhlak atau perilaku dan benteng bagi perekonomian nasional. Sehingga negara tidak kebocoran di dalam APBN dan berbagai hal lainnya yang menyangkut hajat hidup berbangsa dan bernegara.

Musuh Radikalisme Dibui Karena Korupsi

Sudah berapa banyak elit-elit politik yang mengkampanyekan "saya Pancasila, saya Indonesia", atau mereka yang selalu mengkampanyekan "lawan radikalisme" telah divonis bersalah atas tindak pidana korupsi?

Mulai dari Ketua Partai Politik, Anggota DPR, Pejabat Pemerintahan, yang rajin mengkampanyekan "anti radikalisme" dan "saya Pancasila" ditangkap dan diadili serta divonis.

Artinya orang yang mengganggap diri paling moderat hingga yang paling Pancasila ternyata mereka adalah "raja koruptor". Lalu pantaskah mereka dikatakan sebagai orang moderat dan Pancasila? Menurut saya tidak ada orang yang benar-benar moderat dan yang Pancasilais menjadi koruptor. Tetapi Kenapa mereka menjadi koruptor?

Menurut saya mereka bukan Pancasilais dan bukan pula anti radikal, tetapi mereka menggunakan itu sebagai "isu murahan" untuk memojokkan pihak yang benar-benar dengan tulus membangun negeri ini. Untuk menghalau orang baik ini, dilabelkanlah dengan label-label yang buruk.

Koruptor itu tidak radikal dan berteriak saya Pancasila, tetapi mereka "merampok" uang negara atas dengan menggunakan nama Pancasila. Siapakah sebenarnya teroris itu? Apakah mereka yang mencuri ini, yang menyebabkan ekonomi tidak merata, disparitas pendapatan dan menyebabkan angka kemiskinan meningkat ini tidak disebutkan sebagai penjahat melebihi teroris?

Jadi label yang dialamatkan Pansel KPK adalah "bahan usang" yang mau dihidupkan kembali untuk melegitimasi itikad mereka dalam menyeleksi Capim KPK.

"Radikalisme" Itu Penting Bagi Pimpinan KPK

Memiliki pandangan radikalisme dan sikap yang radikal untuk memberantas korupsi itu sangat penting. Karena sikap yang radikal itu dalam makna yang sesungguhnya adalah tindakan yang berdasarkan pada keyakinan dan norma yang lahir dari akar sejarah dan masalah yang sesungguhnya, yang berkaitan dengan norma dan nilai sosial.

Dengan norma dan nilai inilah korupsi diberantas. Maka sikap radikal itu sangat penting untuk melawan korupsi. Sebab korupsi ini tidak bisa dihadapi dengan cara-cara yang biasa, melainkan luar biasa. Korupsi itu adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang level kejahatannya memerlukan langkah yang radikal.

Apakah pandangan dan sikap radikal dalam memberantas korupsi ini ingin di halau oleh Pansel KPK? Kalau radikal itu yang dimaksud untuk dihilangkan, maka kita tidak akan memiliki KPK yang efektif.

Sebab, Korupsi  itu adalah kerja yang sangat rapi  yang melibatkan orang-orang pilihan yang merupakan elit politik dan elit birokrasi. Tanpa dengan cara-cara luar biasa (radikal), Korupsi itu hanya akan menjadi bahan seminar dan diskusi.

Maka, kita bisa mengerti, kenapa selama lima tahun terakhir ini pemberantasan korupsi kita stagnan? Karena sikap pemerintah dalan menyukseskan pemberantasan korupsi hanya berupa seminar, bukan langkah konkrit. Bukti konkrit ketidakseriusan itu ditunjukkan dengan menunjuk orang-orang yang pernah gagal mencari Capim KPK yang serius dan benar pada tahun 2015 dan mengulangi kesalahan itu tahun 2019.

Apakah Ini Skenario?

Kita patut menduga, menggandeng BNPT dengan menghembuskan isu bahwa radikalisme mengepung Indonesia, hingga bahkan KPK pun terancam dikuasai 'teroris' merupakan skenario untuk menghalau orang-orang yang dianggap memiliki komitmen agama yang tinggi, taat dan punya integritas yang kuat.

Dugaan ini bisa saja kita ungkapkan, mengingat, kalau dua hal tersebut diatas: Menghalau Teroris dengan "label Islam" dan menghalau semangat radikal memberantas korupsi, tidak menjadi menjadi alasan utama dari narasi radikalisme itu. Maka alasan lainnya adalah mencegah orang yang berintegritas tinggi, memiliki komitmen memberantas korupsi yang benar ingin dihalau masuk menjadi pimpinan KPK.

Selama ini orang-orang yang telah bekerja dengan keyakinan agama yang kuat dan akhlah yang tinggi kini seakan-akan dibidik untuk 'akhiri' karirnya untuk berjihad melawan Korupsi.

Melihat dugaan-dugaan ini, serta pernyataan dari Pansel KPK, kita berhak meminta kepada Presiden untuk segera mengevaluasi ulang Pansel KPK dan merombak ulang susunan Pansel KPK.

Maka sikap presiden dalam hal ini ditunggu oleh publik, keseriusan presiden dipertanyakan lagi dengan menunjuk Pansel KPK yang memiliki pemahaman yang seperti sekarang ini. Mereka ini justru lebih berbahaya dari koruptor itu, karena mereka akan 'membunuh' KPK dengan cara yang tenang tetapi pasti.

Oleh karena itu kita patut menduga, bahwa mencari tokoh anti korupsi bukan menjadi agenda utama tim seleksi, melainkan mereka ingin memberikan ruang bagi orang yang tidak memiliki integritas untuk menempati posisi Pimpinan KPK.

Dengan demikian kita dapat menilai, bahwa pemerintah saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, dan itu dibuktikan dalam kepemimpinan 5 tahun yang sudah kita rasakan bersama. Wallahualam bis shawab. rmol news logo article

Dr. Ahmad Yani, SH. MH
Politisi dan praktisi hukum.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA