Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jelang Hari Raya, Tobat Naik Lion Air

Senin, 03 Juni 2019, 16:10 WIB
Jelang Hari Raya, Tobat Naik Lion Air
Ilustrasi/Net
ALKISAH, hari ini (2 Juni 2019) saya berencana mudik ke Bangka, kampung halaman istri tercinta. Tiket sudah saya beli jauh-jauh hari. Dijadwalkan berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta pukul 10.05 WIB dan mendarat di Pangkal Pinang pukul 11.30 WIB.

Hari ini saya datang ke bandara di terminal 1B jauh lebih awal untuk keperluan check-in. Datang lebih awal karena sadar, menjelang lebaran pasti antrean panjang. Singkat cerita, setelah panjang mengantre, sekitar 09.20 WIB saya sudah berhasil di counter check-in, tepatnya di counter no. 26 dengan pertugas bernama M Fazri A.

Alangkah terkejutnya saya, saat data saya diinput, petugas mengatakan bahwa saya tidak bisa check-in karena kursi sudah terisi penuh. Petugas menanyakan kepada saya, "Bapak tidak check-in online ya?". Saya pun nanya balik, “memang ada aturan baru harus check-in online ya? Setahu saya check-in online hanya salah satu opsi saja. Selain online kan bisa check-in langsung di counter asal waktunya masih cukup. Dan waktu saya masih sangat cukup. Tetapi petugas tersebut memberikan penjelasan bahwa dirinya sudah tidak bisa diinput karena kursi sudah terisi.

Sampai di sini, dalam hati saya berguman: “Wah, kok kursinya sudah penuh? Kayak naik bus antarkota aja nih. Berarti kursi saya diisi dengan orang lain dong? Gimana cara orang itu mengisi kursi saya? Dengan membeli? Kalau dengan cara membeli, berarti Lion Air ngejual dong, ngejual kursi saya? Wah, wah. Lebaran gini pasti panjang daftar waiting list, dengan gampang jual kursi dengan harga tinggi”. (Eits, ini bukan tuduhan loh ya. ini baru imajinasi saya aja).

Merasa ‘dikibulin’ saya pun komplain. “Loh, waktunya masih cukup kenapa tidak bisa check-in”, kata saya dengan meninggikan suara (ups, tetapi dengan tetap berusaha mengendalikan emosi kok). Mendengar serbuan pertanyaan, sang petugas tidak bisa jawab; pun tidak juga bisa input data saya ke komputer untuk check-in.

Akhirnya saya diarahkan untuk ke counter customer service. Saya menolak! Saya sampaikan, “Mas, lihat! Counter customer service antreannya panjang begitu. Kalau saya ke sana sekarang, saya harus melalui antrean panjang lagi. Begitu sampai dapat giliran di counter pasti mereka akan bilang kalau saya terlambat dan sekarang pesawat sudah boarding. Bolehkah saya diantar untuk bisa langsung bertemu manajemennya tanpa harus antre dulu?

Dia bilang tidak bisa. Saya bertahan. Saya sampaikan bahwa saya akan ke customer service dengan catatan diantar langsung untuk ketemu dengan manajemen. Dia tetap tidak bisa, dengan alasan harus melayani antrean berikutnya yang masih panjang. Ya, tentu ini alasan yang mudah dan paling masuk akal. Kalau dia tinggalkan, akan semakin banyak calon penumpang yang tak terlayani. Korban akan makin banyak.

Kemudian, saya katakan: “Mas bisa panggil petugas lain kan? Panggil! Sekarang! (dengan hentakan nada makin kuat. Lumayan, masih ada sisa-sisa jiwa demonstran waktu mahasiswa dulu). Akhirnya dia panggil petugas. Tapi yang dia panggil petugas security. “Yaaah, (dalam hatiku), ini tak akan menyelesaikan masalah”.

Dan benar, petugas itu antarkan saya ke customer service. Tapi memang tak ada gune juga dan membutuhkan waktu lama. Dalam hati saya marah, tetapi berusaha tetap dingin. Hanya saja, petugas security kewalahan menjawab cecaran pertanyaan saya. Sejak kapan ada aturan harus check-in maksimal sebelum 2 jam sebelumnya? Sejak kapan ada aturan harus check-in online? Tolong tunjukkan ke saya.

Jujur, saya juga enggak tega dengan petugas-petugas itu. Mereka memang bukan yang punya otoritas, mereka hanya petugas bawah yang tak bisa ambil kebijakan apapun. Mereka adalah ‘tumbal-tumbal’ manajemen yang harus berhadapan langsung dengan kemarahan pelanggan.

Setelah lama ngantre, saya bertemu dengan petugas customer service bernama Riska Devianty. Saya tahu nama dia setelah saya berhasil memintanya menunjukkan name tag. Name tag itu saya lihat sedikit disembunyikan. Saya paham betapa beratnya petugas seperti dia, harus menghadapi bertubi pelanggan-pelanggan Lion Air yang komplain. Saya berjanji, sekesal apapun hati saya pada manajemen Lion Air, saya tidak akan memarahi dia. Saya janji!

Begitu dia mempersilakan membuka pembicaraan, saya langsung mengawali laporan dengan kata pendahuluan sebagai berikut:

“Begini Mbak, saya tahu terhadap permasalahan saya ini, Mbak pasti akan bilang jika saya sudah terlambat boarding sehingga tidak bisa dibantu. Saya tahu, Mbak bukan pengambil kebijakan dan saya tahu sekarang pesawat sudah boarding sehingga Mbak tidak akan bisa membantu saya."

"Tapi baiklah, saya akan tetap ceritakan permasalahan saya". Lalu saya ceritakan permasalahan di counter 26 tadi secara runtut, sebagaimana di atas.

Dan, benar. Mbak-nya menjawab persis dengan yang saya duga: tidak bisa membantu, tiket saya hangus, tidak ada alternatif pengganti penerbangan, dengan alasan saya terlambat boarding.

Dess.. Jadi benar dugaanku. Di counter 26 ditolak dengan alasan tidak melalui web check-in, di customer service ditolak dengan alasan (baca: tuduhan) terlambat check-in.

Btw, ada statemen yang tidak konsisten dipakai oleh satu counter dengan counter lainnya: di counter 26 ditolak dengan alasan kursinya sudah penuh diisi orang lain, sementra di counter customer service dikatakan kursinya masih kosong (tetapi karena terlambat check-in jadi tidak bisa masuk). Duh!

Saya konfrontir ketidakkonsistenan jawaban ini kepadanya. Dia tidak bisa menjawab lagi. Terpojok. Akhirnya saya diarahkan untuk ke counter 15. Saya tanya, “Siapa di sana?”. Jawabannya, itu adalah supervisornya. “Oke saya ke sana, tetapi minta diantar, saya tidak mau dipingpong lagi”.

Dia antar saya. Di counter 15 ketemu dengan petugas bernama Aji Seti Wibowo. Jawabannya sama: tidak bisa dibantu, tiket hangus dengan alasan (baca: tuduhan) Bapak terlambat. Asss***!

Meski di dada ini sebenarnya bergemuruh dentuman-dentuman magma kekesalan yang sudah sampai pada level puncak, tetapi saya tidak tumpahkan itu. Terhadap kedua petugas saya sayang, saya tidak marah-marahi. Karena saya tahu kemarahanku takkan mengubah apa-apa. Saya hanya minta statemen terakhir dari mereka jika mereka sudah mentok dan tak bisa berbuat apa-apa lagi.

Lalu kemarahan ini untuk siapa? Layaknya adalah untuk menajemen Lion Air yang ‘tega’ menjual kursi saya (jika asumsi pada pernyataan petugas di counter 26 itu benar) atau menghanguskan tiket yang telah saya beli (dengan harga lebaran loh) dengan alasan yang tidak bisa saya terima.

Saya sudah tidak berharap tiket saya diganti atau uang saya kembali. Bahwa soal keburukan manajemen Lion Air, saya sudah sejak lama. Kejadian hari ini hanya mengonfirmasi persepsi publik itu bahwa ternyata saya juga mengalaminya. Mungkin ada puluhan, ratusan atau ribuan pelanggan lain mengalami hal serupa (semoga tidak) tetapi tidak pernah bercerita. Semoga tidak.

Anyway busway
, saya menuliskan ini sebagai katarsis saja, supaya meredakan dentuman emosi jiwa yang membuncah di dalam dada. Jikapun tulisan ini tak didengar gaungnya, saya masih percaya pada karma: bahwa apa yang diperbuat pasti ada balasannya di masa yang lain atau pada masa kehidupan berikutnya.

Lion Air salah? Yang kuasa tak pernah salah bukan? Yang salah saya, kenapa masih mau terbang dengan Lion Air. Semoga saya bisa segera bertobat, dan menempuh jalan penerbangan yang diridhoi Tuhan Yang Maha Kuasa. Selesai.


M Chozin Amirullah
Staf Khusus Gubernur di Pemprov DKI Jakarta

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA