Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Game Theory Dan Yang Tersisa Setelah Pemilu?

Selasa, 21 Mei 2019, 13:47 WIB
PERTANYAAN dasarnya, adakah yang masih tersisa? Lantas apakah yang tersisa itu ampas hitam ataukah saripati layaknya madu?

Perjalanan politik kebangsaan tampaknya telah mencapai tahap yang hampir paripurna, sampai dengan tulisan ini dibuat, hasil rekapitulasi Pemilu 2019 oleh KPU telah selesai dilakukan. Walhasil, ada yang bergembira, namun ada pula yang bersedih.

Sesungguhnya, dalam sebuah kontestasi, pada ujungnya akan menimbulkan situasi yang sedemikian. Perasaan emosional akan kesenangan dan kesedihan, menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan, sebagai akibat dari proses dukung-mendukung.

Merujuk pada teori permainan -game theory, maka kompetisi politik selayaknya Pemilu kali ini, adalah ruang bermain elit di ranah sosial.

Tepatkah menempatkan kegiatan yang terbilang vital dalam demokrasi, sebagai upaya melakukan sirkulasi kepemimpinan, sebagai sebuah permainan? Tentu sangat bergantung dari sudut pandang seperti apa yang dipergunakan.

Dalam aspek rasionalitas, politik memang tidak bisa dipandang sebagai wilayah hitam-putih semata, banyak ruang abu-abu yang memungkinkan semua kemungkinan. Para aktor politik dan partai politik membentuknya sebagai sebuah seni -the art of possibility.

Politik memang dapat dimaknai sebagai seni dan ilmu pengetahuan, secara sekaligus. Dan bentuk seni kemungkinan di dalam politik adalah nothing impossible, bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Mereka, aktor politik yang nampak berseteru, sesungguhnya dan bisa jadi hanyalah tampilan permukaan didepan layar kaca dan di dalam wacana media.

Bukan tidak mungkin ada komunikasi, bahkan negosiasi diantara mereka yang memang luput diungkap. Situasi ini selaras dengan (Erving Goffman, 1959) melalui teori Dramaturgi. Kehidupan ini layaknya pertunjukan drama, dimana terdapat ruang panggung depan yang disaksikan oleh para penonton, sementara ada pula ruang panggung belakang yang mempertemukan para aktor. Di titik ini kita mencoba mengaitkannya dengan teori permainan alias game theory.

Kita runutkan uraiannya, pertama: pertunjukan drama adalah permainan dalam laku peran, dan oleh karena itu sifat permainan bisa berwujud kontestasi, sebagaimana yang dipersiapkan melalui panggung demokrasi, yakni pemilu.

Kedua: dalam sebuah drama, prolog dilanjutkan dengan dialog, untuk menghasilkan epilog, begitu pula dengan permainan yang harus memiliki batas akhirnya.

Ketiga: pada manajemen pertunjukan, ketegangan diatur dalam plot berjenjang yang memuncak menuju klimaks maupun antiklimaks.

Dan keempat: pertunjukan tidak selalu happy ending, bahkan lakon sad ending pun bisa laku dan diterima oleh para penonton, tengok saja film Avengers: EndGame!
Permainan Politik

Prinsip dasarnya, manusia adalah Homo Ludens menyukai permainan dan bermain, karena bermain adalah sarana relaksasi dan menampilkan diri. Pada konteks politik, tujuan utamanya adalah kekuasaan, di mana power and authority adalah bentuk yang akan capai, melalui serangkaian proses “bermain”. Teori permainan bermula dan berkembang dari konsep modulasi matematika, yang kemudian dapat diimplementasikan di bidang sosial, khususnya terkait penentuan strategi dan penyelesaian konflik.

Prinsipnya, dalam kompetisi antar parapihak maka terdapat seperangkat hal terkait, (a) adanya aturan bermain, (b) terdapat keterbatasan, ex informasi, waktu dll, (c) permainan bersifat kesenangan dan kesukarelaan, serta (d) permainan adalah simulasi realitas, maka tentu tidak nyata, imitasi.

Pada sebuah permainan, tujuan akhir dapat dipilih, berakhir (a) zero sum, logika kalah-menang ataupun (b) positive sum, kemenangan bersama ataupun (c) negative sum, kalau kalah akan dilakukan boikot permainan agar deadlock.

Bila kemudian politik dibentuk dengan skema yang mengakomodasi game theory, maka penting untuk segera merumuskan perdamaian dan penyelesaian konflik. Membangun kekuatan bersama adalah sebuah hal baik yang perlu dikembangkan diantara para elit.

Dalam suasana permainan, fanatisme memang kerap melenakan, tapi disitu pula elit bermain dengan menempatkan para pendukungnya sebagai kekuatan pertahanan.

Baik pemenang ataupun pihak yang kalah, harus bersegera diri keluar dari keengganan berkomunikasi, karena resolusi hanya akan terjadi ketika dialog dapat dilakukan terbuka.

Persepsi tentang permainan kotor, licik dan curang diserahkan kepada otoritas yang menjadi pengadil alias wasit pertandingan. Bila masih belum puas, publik sendiri yang akan menilai secara keseluruhan.

Residu Pemilu


Pemilu kali ini sebagai sebuah permainan politik menyisakan residu-residu yang berpotensi dapat melunturkan ikatan sosial yang selama ini terjalin.

Pengelompokan yang berbasis identitas ditengarai menguat, diksi kami dan kalian terbentuk, melenyapkan konsepsi tentang "kita". Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, publik menjadi terbelah, dan tersedot pada energi polarisasi.

Celakanya, pengkubuan tersebut berada dalam posisi saling menegasi, berkontradiksi, membangun sikap perlawanan. Sikap kritis tetap dibutuhkan sebagai koreksi kekuasaan, oposisi diperlukan untuk menyeimbangkan jalan pemerintahan. Tetapi polarisasi tanpa negosiasi seolah menciptakan konflik tanpa ada ruang resolusi.

Benar bahwa bangsa ini membutuhkan dialektika, skema aksi reaksi dalam kualitas, bukan sekedar kuantitas jumlah pendukung. Kebebalan elit untuk mencerdaskan publik memang sejatinya merupakan upaya untuk mempertahankan posisi dominan. Komitmen bersamanya adalah kita harus mampu melangkah setelah ini.

Kini, pemilu telah usai, namun masih menyisakan persoalan yang harus segera diselesaikan. Perbedaan pilihan politik hendaknya diletakkan pada konteks permainan, meski dalam realitasnya, akan dibutuhkan kerja yang sangat keras untuk mengembalikan posisi ikatan sosial secara normal.

Dalam situasi defisit modal sosial tersebut, kita perlu melihat langkah-langkah mempersatukan yang semakin menguatkan, dibanding menonjolkan keunggulan kelompok semata, dan perlu peran para elit disana!.

Teringat lomba lari 400 meter putra, di Olimpiade Barcelona 1992. Tersebut pelari Derek Redmond yang menyisakan 150 meter akhir pertandingannya dengan tertarih akibat cedera hamstring, bersama dengan sang ayah yang juga pelatihnya, Jim Redmond, dia dipapah untuk menyelesaikan pertandingan tersebut sebagai sebuah komitmen.

Derek memang melewatkan kesempatan untuk menang dan mendapatkan medali, tetapi sesungguhnya Derek telah memenangkan hati penonton karena usaha pantang menyerahnya, dia sekaligus memenangkan dirinya untuk menuntaskan pertandingan.rmol news logo article

 

Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA