Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Politik, Media Dan Kekuasaan Lagi?

Rabu, 15 Mei 2019, 16:42 WIB
PADA tanggal 10 September 2018 saya menulis artikel berjudul “Politik, Media dan Kekuasaan," saat itu jelang tahun 2019.

Tahun politik yang makin hangat, semoga hangat terus saja dan sampai kini jadi panas karena banyak yang bikin gaduh. Padahal di artikel itu saya menulis jangan panas. Cukup hangat saja, kopi atau teh saja jika hangat kan sangat sedap.

Tapi kali ini politik makin terlihat dari kacamata besar terutama dalam ruang media dan kekuasaan lebih dalam. Dan kali ini saya hanya ingin menulis dengan judul yang sama yaitu Politik, Media dan Kekuasaan Lagi. Pakai lagi karena makin kasat mata ada sesuatu yang terjadi.

Jika kita mengutip konteks politik negara ala Aristoteles negara itu merupakan jenjang tertinggi dalam konteks hubungan kemanusiaan antar warga negara maka, ia memiliki kekuasaan yang sangat absolut. Negara adalah lembaga politik yang paling berdaulat, meski pasti tetap terbatasi.

Jika mengungkap ini sangatlah jelas dalam konteks kekinian di saat ini jelas Pilpres 2019 sudah usai, tapi hasil belum diumumkan menunggu 22 Mei 2019. Adanya upaya mencari negara ideal sangatlah sulit, meski kita juga jangan pesimis karena pintu-pintu alternatif banyak sebenarnya.

Mari coba kita buka soal judul diatas ini pendekatan pada konteks kekinian:

Pertama, media saat ini makin berpihak tak duduk dalam porsi yang utuh dalam demokrasi. Media saat ini menjadi partisan. Media saat ini bahkan menjadi alat politik dari kekuasaan. Lagi-lagi berpihak atau sudah dikooptasi?

Padahal harusnya media berdiri tegap sebagai penjaga demokrasi ada dalam ruang Demokrasi, penjaga pilar ke empat. Media adalah kekuatan demokrasi bukan malah media seolah terkungkung dan berkongsi dalam rejim yang berkuasa.

Pendapat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan kepada penulis mengatakan sikap partisan media akan merusak citranya dalam jangka panjang. Dan Itu juga tidak bagus bagi bisnisnya.

Menurutnya, keberadaan pebisnis media di salah satu kubu pada pemilu mengancam independensi perusahaannya, dan itu yang terjadi empat tahun lalu. “Karena pemilik pengaruhnya cukup besar ke kebijakan media. Jadi kalau makin banyak media terlibat di politik praktis akan otomatis membahayakan independensi media bukan hanya saja pada medianya namun juga yang dia punya,” kata Manan.

Ditambahkan Manan pengaruh pemilik media di Indonesia cukup besar ke ruang redaksi. Keberpihakan pemilik media ke kekuatan politik tertentu lantas hampir dipastikan berdampak pada posisi politik redaksi.

“Independensi media sebenarnya bisa dijaga jika wartawan berani memastikan tak ada pengaruh yang dibawa bosnya pada ruang redaksi,” bebernya.

Saat ini ada sejumlah konglomerat media  masuk dalam ruang kekuasan. AJI, kata Manan pun mengingatkan pemilik media seperti Thohir dan Harry Tanoe agar tidak memengaruhi hak publik mendapat informasi yang berimbang dan akurat. “Jangan sampai hak publik untuk mendapat berita yang benar, akurat, cover both side, itu tidak terjadi karena kepentingan politik pemiliknya. Kami berharap owner jangan mencampuri urusan newsroom,” tegasnya.

Pertanyaan selanjutnya apakah jika tak independen media akan hancur? Atau demokrasi kebebasan pers yang berpihak makin menyurutkan nilai demokrasi kebebasan?

Hal senada disampaikan Analis Politik Komunikasi  Media dari Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Gede M Soekawati yang menilai saat ini memang terlalu parah pemilik media seperti melacurkan diri dalam politik sehingga ini mempengaruhi independensi media. “Saya mengira karena mungkin cari selamat juga media saat ini sehingga mengorbankan nilai demokrasi media yang harusnya independen menjadi berkolaborasi dengan kekuasaan,” Gede yang juga dosen Universitas Pancasila Jakarta ini.

Ditambahkan Gede bahwa politik media dan kekuasan saat ini seolah sudah gelap sehingga nalar demokrasi ditabrak dan independensi dihempaskan begitu saja. “Kami di PKKPI melihat ini keprihatinan yang dalam dan bisa juga dikatakan preseden bagi kondisi media saat ini,” tegas kandidat doktor Komunikasi Politik di Universitas Padjajaran ini.

Jadi jika Aristoteles mengatakan, negara dibentuk hanya untuk berkepentingan dalam menyejahterakan seluruh warga negaranya. Dan jika negara tidak mampu membentuk warga negaranya menjadi makmur, maka, negara berarti tidak hadir menjaga kemakmuran rakyatnya, dan itu berarti negara tidak ada.

Lantas saya hanya ingin sampaikan sebuah pandangan soal yang namanya kritik. Jika saat ini media tak berani mengkritik karena sudah diawasi oleh kekuasaan, maka kritik menjadi di salah artikan menjadi menghina, mencela dan ucaran kebencian ini aneh.

Kritik sebenarnya harus dimaknai sebagai sebuah upaya koreksi. Saya jadi ingat Mochtar Lubis, Wartawan Jihad.  Ya Mochtar Lubis adalah sosok jurnalis dan pemimpin redaksi Indonesia Raya. Ia juga pengarang sekaligus budayawan terdepan. Saat teringat kisahnya peran sebagai seorang pemimpin redaksi Mochtar jadi simbol kebebasan pers.

la kerjanya bisa dikatakan mempunyai kebijakan kuat dalam redaksional Indonesia Raya. Mochtar berkali-kali melakukan kritik terhadap pemerintah. Gaya jurnalisme Mochtar berani, tajam, dan tidak dapat digoyahkan oleh siapapun dan menjadi inspirasi bagi banyak media lain di era itu.

David T. Hill menyebutnya Mochtar Lubis adalah prisma. Melalui prisma ini, orang dapat mengamati berbagai lingkungan kehidupan sosial yang digaulinya: intelektual, artistik, jurnalistik, dan politik. Melalui prisma ini pula, orang juga dapat melihat perjalanan sejarah nasional selama masa hidup Mochtar Lubis.

Dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia – Juli 2011). Hill juga kemudian menyebutkan bahwa melaluinya, kita bisa melihat pergulatan sebuah bangsa yang sedang mencari jatidiri pasca kemerdekaan. Pergulatan yang merentang di bidang politik, ideologi, jurnalisme, sampai kebudayaaan ketika dunia masih dilanda perang dingin. Hill juga mengungkapkan perjalanan Mochtar tentu saja gaya jurnalisme jihad bukan tanpa resiko.

Kritik Mochtar yang kuat dari sebuah harga mahal harus ditanggung Indonesia Raya. Media yang dipimpin Mochtar dibredel sampai dua kali. Pertama 1958 setelah serangkaian berita yang antikomunis dan anti Soekarno. Mochtar dan Indonesia Raya bertarung dalam pertempuran yang tidak berimbang. Mochtar ditangkap dan dijadikan sebagai tahanan rumah. Surat kabar ini terbit kembali setelah gonjang-ganjing politik 1965 yang meruntuhkan kekuasaan Soekarno.Pembredelan kedua pasca Malari 1974.

Awalnya, Indonesia Raya dengan sikapnya yang anti-komunis dan anti-Soekarno adalah partner yang pas untuk Orde Baru dalam menjalankan stabilitas pembangunan. Sayangnya, bulan madu keduanya berjalan singkat.

Mochtar Lubis yang sekaligus menjadi simbol Indonesia Raya kembali menjadi pembangkang yang teguh dengan terus memberitakan penetrasi modal asing, isu korupsi, dan berbagai kebobrokan pemerintah. Mochtar kembali kalah. Selain surat kabarnya dibredel, ia kembali ditangkap tanpa melalui pemeriksaan.

Karier sebagai seorang pemimpin redaksi surat kabar harian selesai sampai di sini. Meskipun surat kabarnya berakhir dengan tragis, Indonesia Raya sampai saat ini tetap dianggap sebagai pelopor bagi berkembangnya jurnalisme investigasi di Indonesia.

Keberaniannya mengungkap kasus korupsi di Pertamina patut mendapat apresiasi. Apalagi kasus ini melibatkan Ibnu Sutowo, salah satu orang dekat dalam kekuasaan Soeharto.

Keberanian dalam meliput ini memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan jurnalisme di Indonesia sampai saat ini. Setelah keluar dari penjara Nirbaya, Mochtar lebih banyak menghabiskan waktunya di bidang kebudayaan. Selain mengelola majalah sastra Horison, ia sering menyampaikan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Pidatonya yang paling fenomenal sekaligus kontroversial terjadi pada 6 April 1977.

Mochtar mengungkapkan karakteristik manusia Indonesia yang sarat dengan kritikan pedas. Dengan gaya yang provokatif dan meluap-luap, Mochtar menelanjangi manusia Indonesia sebagai sosok yang munafik, feodal, percaya tahayul, tidak bisa mengambil keputusan, dan enggan bertanggung jawab. Pidato ini kemudian memicu perdebatan intelektual di media yang seru dan berlangsung selama berminggu-minggu.

Banyak yang memuji sikap terus terang Mochtar tersebut. Tapi tak sedikit juga yang mencacinya terutama kalangan intelektual Jawa yang menganggapnya tidak paham alam pikiran Jawa. Terlepas dari perdebatan tersebut, Hill menyebut pidato ini sebagai tour de force(perolehan gemilang) intelektual Mochtar. Pidato ini sekaligus menunjukkan kepiawaiannya dalam menerjemahkan benturan budaya antara modernisasi barat dan tradisi ketimuran.

Sosok Mochtar Lubis adalah sosok jarang sekali ditemukan saat ini. Sebagai jurnalis saya melihat sosok sang pembangkang seperti ini kini bukan ditemukan namun sudah tidak ada, karena terlalu banyak kepentingan saat ini menjadikan pisau bedah tinta jurnalisme kita menjadi tumpul karena faktor kepetingan tadi bahkan tak jarang karena faktor ini mengarah ke priuk dapur. Sayang sekali!.

Saya juga berharap banyak karena publik saat ini sudah cerdas terutama virus media sosial semoga mereka paham mana yang namanya kritik dan mana yang namanya menghina atau bahkan fitnah. Dan saya yakin suatu saat hal ini akan muncul kembali apa yang dimanakan kritik yang sebenarnya. Karena kerinduan sebuah kritik itu adalah sebuah upaya membangun, bukan malah orang yang mengkritik itu dibungkam. dan seharusnya kritik itu dijadikan pemantik untuk memberikan eveluasi diri.

Bukan yang seperti saat ini kalau dilihat kini kritik sudah lagi bergeser ke grey area dan dianggap sebagai upaya menghina, menyerang bahkan ada yang salah kaprah disebut kritik kok disebut fitnah. Dan inilah yang terjadi saat ini. Sungguh aneh bukan?

Dalam artikel ini ingin mengutip dua tokoh atas keberanian kritik Mochtar Lubis ini pertama saya kutip atas percakaan Moctar Laubis dengan Ramadhan KH di mana saat Ramadahan KH tahun 1991 bertemu dengan Moctar Lubis dirumahnya. Saat itu Ramadan berseloroh soal pemberani, pelindung istri dengan penuh kasih sayang. (Mochtar Lubis -Wartawan Jihad hal 178).

Pemberani dalam konteks besar dimana Moctar dikenal pada tahun 1957-1958 terasa maju dan kuat ke depan sementara kebanyakan dari kita mulai terkungkung oleh rasa takut.Ramadhan atas dasar ini bertanya langsung kepada Mochtar Lubis. Dan jawaban Mochtar Lubis sangat cerdas inilah jawabnya. “Saya sendiri heran kalau orang berkata bahwa Mochtar Lubis itu pemberani. Betul! apa yang terjadi sesungguhnya kalau saya akan bersikap, saya harus berjuang dulu dari dalam diri saya, melawan rasa takut. Di zaman orde lama saya melawan terhadap Sukarno. Kalau saya mau menulis kritik-kritik terhadap Sukarno, di belakang kepala saya ada pikiran rasa takut. Seperti ada yang berbisik: Awas lho, kalau kamu mengkritik-kritik begitu kamu bisa ditangkap.

”Jadi ada pergulatan terus dalam diri saya kalau mau melawan terhadap orang-orang besar, terhadap orang-orang berkuasa orang-orang bisa menangkap kita setiap saat. Bukan tidak ada rasa takut . Saya bergulat dengan rasa takut saya itu. Tapi pertahanan saya adalah: “Kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa.”

Jawaban ini sangat menyejukan untuk saat ini kepentingan masyakat dan kepentingan bangsa. Itulah yang kita harapkan kini. Dan kutipan penting lainnya dari Atmakusumah tokoh pers Indonesia yang juga sekaligus penyunting Buku Mochtar Lubis -Wartawan Jihad ini menulis secara jelas. “Mochtar Lubis bagaikan penunjuk arah bagi mereka yang telah kehilangan kompas di tengah samudera dan yang tak mampu lagi memandang mercusuar di tempat gelap”.

Akhirnya juga saya jelaskan tulisan ini karena tersentuh atas tulisan pertanyaan besar M Nigara  yang menanyakan kepada rekan sejawat wartawan soal kematian 500 KPPS, saya kutip isinya

Di mana Nuranimu?

Saudaraku para wartawan…,
Menurutmu, wajarkah kematian lebih dari 500 orang untuk satu event dan satu momen yang bernama Pemilu dan Pilpres 2019 ini? Tidakkah engkau tergelitik berpikir ada sesuatu yang aneh di situ?

Dulu, tepatnya 29 Mei 1985, di stadion Heysel, Brussel, Belgia. Engkau pasti ikut mengutuk kisah kelam itu. Aku ingatkan kisahnya. Ya, waktu itu laga final Piala Champions Eropa, Liverpool vs Juventus.

Terjadi kerusuhan antar suporter. Sebanyak 36 orang meninggal dan ribuan orang dari 60 ribu penonton, terluka.

Sebagai wartawan, khususnya yang seusia aku atau yang generasinya di bawah aku sedikit, kita sama-sama mengutuk kejadian itu. Bahkan ketika akhirnya Federasi Sepakbola Inggris, dihukum dua tahun, kita semua bersorak.

Tapi, untuk kematian KPPS, polisi, saksi, dan petugas lainnya meninggal di Pemilu dan Pilpres kali ini, demi negeri kita tercinta ini, engkau membisu? Bukankah angka pupusnya 500 nyawa saudara kita ini, bahkan kini lebih, itu sangat banyak? Bukankah naluri kita sebagai wartawan telah diasah untuk melakukan investigasi? Bukankah kita biasa lekat dengan logika investigating reporting?

Ya begitulah Om Nigara keadaannya, maka saya pun tulis lagi: “Politik, Media dan Kekuasaan Lagi?”

Lantas baiknya memang dan seharusnya media yang harusnya independen hadir mewakili suara-suara rakyat jangan kolaborasi dengan kekuasaan dan harus berfungsi sebagai watchdog sebagai pemberi isyarat, pemberi gejala dini, pembentuk opini, dan pengarah jadwal kedepan, bukan kolaborasi.

Akhirnya mungkin media bahkan harus sudah bisa jelaskan kritik itu perlu dan sangat perlu ditengah tempat mercuasuar yang kini gelap tafsir agar menjadi terang…..jadi jangan antikritrik ya.. rmol news logo article


Aendra Medita

Wartawan Senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA