Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pelajaran Kebangsaan Dari Ramadan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/sudarnoto-a-hakim-5'>SUDARNOTO A HAKIM</a>
OLEH: SUDARNOTO A HAKIM
  • Rabu, 08 Mei 2019, 22:12 WIB
Pelajaran Kebangsaan Dari Ramadan
Sudarnoto Abdul Hakim/Net
NARASI yang berkembang di masyarakat bahwa rivalitas paslon 01 dan 02 adalah representasi, dalam istilah agama,al Bathil dan al Haq nampaknya masih muncul di bulan suci Ramadan ini.

Bahkan dengan mengingatkan kembali beberapa perang yang terjadi di bulan suci Ramadan di era Rasulullah, masyarakat diserukan untuk tetap istiqomah bersama para ulama berjuang melawan berbagai bentuk ketidak adilan dan kecurangan yang dilakukan oleh pemerintah. Kata-kata perang atas nama agama sudah mulai dibawa-bawa dan dimunculkan melalui media sosial untuk urusan pemilu.

Tidak hanya itu, fitnah masih menebar dan pikiran memprovokasi publik untuk menolak seluruh proses penyelesaian pemilu terus dilakukan. Menunggu pengumuman bulan Mei adalah sebuah kekonyolan,  kesia-siaan dan pengecut, begitu keyakinannya. Penghitungan dan kemenangan yang akan diraih adalah ketidakadilan yang kasat mata dan karena itu harus ditolak sejak awal antara lain melalui people power.

Situasi kebangsaan sebagaimana yang tergambar di berbagai media sosial nampak tetap panas bahkan di bulan Ramadan. Benih konflik horizontal dan disintegrasi sosial dan politik mulai terasa. Karena itu,  perlu upaya serius untuk merawat bangsa ini secara lebih maksimal bersama-sama.

Spirit Imsak

Imsak adalah salah satu arti penting Siyam atau puasa. Puasa adalah Imsak yaitu menahan diri untuk tidak makan, tidak minum dan tidak melakukan hubungan intim suami istri di siang hari. Itu perspektif Fiqh.

Dalam psikologi, kemampuan menahan diri atau pengendalian diri (self control) itu sangat penting dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari apa yang sering disebut sebagai kecerdasan emosional (emotional quotient). Jika seseorang atau kelompok masyarakat tidak memiliki kemampuan menahan atau mengendalikan diri, maka emosi yang muncul akan menjadi sumber energi bagi munculnya pikiran, perasaan, ucapan dan tindakan yang negatif dan bahkan destruktif.

Hidup secara sendiri dan apalagi secara bersama-sama (di level apapun) membutuhkan otak dan pikiran yang sehat dan positif, perasaan yang posistif, ungkapan atau ujaran yang sehat dan positif, tindakan perilaku dan adat istiadat dan budaya yang positif. Sudah barang tentu, dibutuhkan juga tatanan sosial dan politik serta kepemimpinan yang positif dan konstruktif.

Hidup yang sehat itu adalah hidup yang memiliki kecerdasan emosional dan itu dibuktikan dengan kemampuan untuk menahan dan mengendalikan diri (Imsak) dalam pengertian yang luas.

Kemampuan Imsak atau menahan dan mengendalikan diri harus dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi budaya dan lifestyle yang sehat. Dengan cara ini maka sistem kehidupan yang dibangun tidak akan memberikan ruang bagi keburukan, kebusukan, dan kejahatan (Su',  Fahsya' dan Munkar/SFM) baik dalam skala  ringan dan personal maupun skala besar, kolegial dan massif.

Imsak secara Fiqhiyah memang harus dibuktikan selama melaksanakan ibadah Siyam di bulan Ramadan. Akan tetapi, pesan moral atau spiritnya haruslah mewarnai kehidupan. Orang yang tidak memiliki kemampuan mengendalikan diri, pastilah gagal memimpin dirinya apalagi memimpin banyak orang; hidupnya akan mengalami disorientasi seperti seseorang yang diisuruh segera bangun tidur dan lari sekencang-kencangnya.

Secara sosiologis dan ini sunnatullah, hidup bersama dengan orang lain, berkeluarga, bermasyarakat, berorganisasi dan berbangsa membutuhkan kesadaran dan komitmen untuk menegaskan dan memperkuat orientasi agar kehidupan itu benar-benar tertata, harmonis, terintegrasi dan maslahat.

Ini tak kan bisa terwujud tanpa kesediaan, kesetiaan dan komitmen semua pihak untuk menahan dan mengendalikan diri dengan sama sama berpegang teguh kepada etika, norma dan aturan. Trust untuk bersama setia mentaati aturan dengan demikian sangatlah penting sebagai salah satu bentuk kemampuan mengejawantahkan spirit Imsak.

Orang-orang yang kehilangan orientasi hidup karena ketidak mampuannya untuk menahan dan mengendalilan diri, cenderung menguat egonya (egosentris) dan mengabaikan orang lain, menganggap dirinya paling benar, kecenderungan untuk menyerang orang lain dalam pengertian luas cukup tinggi.

Karena itu, sikap antipati kepada orang lain sangat menonjol ketimbang berempati dan bersimpati, karena orang lain dinilai sebagai gangguan dan ancaman. Banyak alasan orang/kelompok bersikap antipati kepada orang/kelompok lain antara lain motif ras atau etnis, sosial budaya, ideologi, agama dan kepercayaan, politik dan juga motif ekonomi.

Berbagai konflik atau kerusuhan dan bahkan Mesaker atau pembantaian yang terjadi di banyak tempat dan menimbulkan banyak korban dan kerugian sangat meyakinkan bahwa antipati dan sikap intoleransi saling berkelindan. Ini adalah perilaku orang-orang/kelompok yang tak terkendali dan sakit jiwa yang dalam bahasa agama disebut sebagai orang-orang yang terpengaruh oleh Nafs al-Lawwamah. Merekalah orang-orang yang mengalami kegagalan Puasa Substantif dan destruktif pada diri dan orang lain serta lingkungan.  

Memanusiakan Manusia

Tidak salah para ustaz sering menggaris bawahi bahwa bulan Ramadan adalah bulan training atau laboratorium pendidikan nilai.

Ujung berpuasa itu, kata Allah, adalah taqwa yang sesungguhnya. Orang yang bertaqwa adalah orang yang jenuin. Dalam ungkapan lain,  kemanusiaan yang jenuin adalah menjadi arah dari pelaksanaan puasa. Jadi,  berpuasa menjadi sangat penting antara lain karena merupakan pendidikan nilai untuk memanusiakan manusia (humanize human).

Kemanusiaan telah menjadi salah satu topik sentral dalam pembahasan tentang demokrasi. Demokrasi sudah tidak lagi semata terkait dengan soal sistem dan mekanisme penyenggaraan negara atau pengelolaan kekuasaan. Demokrasi saat ini sudah menyentuh kepada persoalan-persoalan fundamental manusia. Karena itu,  membela dan menjunjung tinggi martabat dan kedaulatan manusia adalah tugas mulia demokrasi. Ini juga yang diperintahkan dan diajarakan oleh agama.

Suatu saat Rasulullah menjumpai seseorang yang sedang menghardik,  memaki-maki dan marah besar kepada seorang hamba sahaya di bulan Romadhon. Rasul kemudian memberikan makanan kepada orang yang marah. Orang tersebut menolak pemberian Rasul dengan mengatakan saya sedang berpuasa ya Rasul.

Rasulpun mengatakan "banyak orang berpuasa tapi yang diperoleh hanya lapar dan dahaga saja."

Kisah ini sangat kuat mengisyaratkan bahwa martabat, kehormatan dan kedaulatan manusia haruslah dijaga dan dilindungi dengan baik.

Merendahkan, mencela,  membuli, menghardik,  memfitnah orang lain, mengancam-ancam, melukai dan bentuk-bentuk character assasination lainnya untuk alasan apapun tidak saja bertentangan dengan spirit ajaran agama,  akan tetapi juga merusak kemanusiaan dan demokrasi.

Tidak diperbolehkan seseorang,  kelompok,  suku/etnis dan bahkan negara sekalipun yang merusak dan melanggar martabat, kehormatan dan kedaulatan manusia. Yang seharusnya dilakukan ialah memproteksi sekaligus mendorong dan memberikan ruang yang jembar agar setiap warga berkontribusi secara positif dan produktif bagi masyarakat dan bangsa.

Tugas para tokoh, ulama dan semua pihak ialah menyinari masyarakat agar berpuasa secara lebih substantif sehingga amanah ajaran agama untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan (Salamah, Sulh, Maslahat) benar benar tertunaikan. Untuk apa berpuasa jika kebencian,  kemarahan, kebohongan, fitnah dan antipati ditiupkan bahkan di bulan suci Ramadan. Wallahu a'lam. rmol news logo article

Penulis adalah Ketua Dewan Pakar Kornas Fokal IMM, Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, dan Ketua Komisi Pendidikan MUI

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA