Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Falsifikasi Hitung Cepat

Jumat, 03 Mei 2019, 11:45 WIB
Falsifikasi Hitung Cepat
Prabowo Subianto dan Joko Widodo/Net
SELISIH hasil hitung cepat beberapa lembaga survei di Provinsi Bengkulu mendorong mereka untuk memberikan penjelasan.

Dari penjelasan seputar margin of error, nampak tidak ada yang mengakui bahwa sampel yang mereka gunakan di bawah jumlah minimal. Dalam batas tertentu, hal ini mengundang falsifikasi.

Dalam tradisi filsafat ilmu pengetahuan, falsifikasionisme merupakan salah satu mazhab yang menguji produk dan proses dari ilmu pengetahuan.

Semisal, tesis bahwa semua angsa berwarna putih terbantahkan oleh satu angsa berwarna hitam di Australia.

Semakin sering sebuah produk difalsifikasi dan lolos uji, semakin matang dan kokoh posisinya dalam lanskap ilmu pengetahuan.

Setiap analogi atau perbandingan memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Tapi, keduanya penting untuk falsifikasi, simplifikasi dan kritik.

Bayangkan persona A mentraktir 100 orang untuk makan di sebuah restoran. Tapi, ia hanya mengizinkan mereka untuk memilih menu X atau Y.

Untuk mengetahui secara cepat mana menu yang favorit, persona A hanya menanyakan pilihan satu dari seratus orang di sana. Apakah hal ini valid dan masuk akal?

Cerita ini kurang-lebih analog dengan hitung cepat dalam pemilihan presiden (pilpres) sekaligus pemilihan calon anggota legislatif (pileg).

Mahkamah Konstitusi sudah tepat ketika mengizinkan lembaga survei melansir hasil hitung cepat dua jam setelah TPS ditutup atau pukul 15.00 WIB agar tidak memengaruhi para pemilih. Namun, terdapat enam falsifikasi di sini.

Pertama, dari total 810.329 TPS di seluruh Indonesia, hitung cepat hanya menggunakan 0,24% apabila sampelnya hanya 2.000 TPS atau 0,74% jika sampel mencapai 6.000 TPS. Artinya, tidak sampai satu persen atau tidak sampai ‘satu orang’ dalam cerita 100 orang makan di restoran.

Dari 810.329 TPS, jumlah sampel minimal yang dihitung dengan menggunakan misalnya rumus Slovin seharusnya sebesar 9.878 TPS yang tersebar secara proporsional terhadap populasi TPS di masing-masing 80 daerah pemilihan di 34 provinsi.

Dengan kata lain, ada baiknya untuk menghitung kembali jumlah sampel minimal di masing-masing daerah pemilihan dan/atau provinsi dengan rumus Slovin (atau rumus lain yang sudah digunakan untuk menghitung sampel minimal di jenjang nasional) guna dapat mendapatkan sampel nasional sebesar 9.878 TPS secara proporsional.

Lembaga survei perlu bersikap jujur menjelaskan mengapa ada sekitar 3.000 TPS yang tidak mereka gunakan sebagai sampel. Apapun penjelasannya, publik berhak menganggap hitung cepat kurang saintifik karena tidak memenuhi jumlah sampel minimal.

Kedua, kodrat hitung cepat yang merupakan bagian dari penelitian kuantitatif; mengisyaratkan bahwa tidak boleh sampel hanya sebesar kurang dari satu persen. Menggunakan rumus Slovin, sampel minimal sebesar 9.878 TPS sama dengan 1,21% dari 810.329 total TPS di seluruh Indonesia. Sebaliknya, hanya penelitian kualitatif yang mengizinkan sampel berupa satu orang misalnya. Itu pun peneliti perlu melakukan wawancara mendalam sehingga tidak membuka pintu kemungkinan untuk proses yang instan.

Ketiga, sebagian lembaga survei "berhasil" mendapatkan data masuk berupa raihan suara capres-cawapres dan partai politik (parpol) pada pukul 15.00 WIB. Dengan kata lain, ada beberapa TPS di wilayah Indonesia Timur dan barangkali Tengah yang berhasil menyelesaikan penghitungan suara dalam waktu dua hingga empat jam setelah ditutup.

Keempat, kita perlu berprasangka baik bahwa penyelesaian penghitungan suara tersebut meliputi pembubuhan tanda tangan semua saksi capres-cawapres dan caleg di TPS yang menjadi sampel lembaga survei. Artinya, semua saksi mufakat tidak ada kekeliruan dalam penghitungan selama dua jam. Namun, berapa besar probabilitas mengenai hal itu khususnya apabila sampel sebanyak 2.000, 6.000 dan 9.878 TPS?

Kelima, TPS tidak memiliki jenis kelamin, usia serta latar belakang pendidikan. Hal ini berbeda dengan responden berupa manusia sehingga menjadi tanda tanya besar bagaimana lembaga survei menyeleksi 2.000 atau 6.000 dari keseluruhan 810.329 TPS yang ada di seluruh Indonesia? Belum lagi potensi bias untuk tidak memilih TPS yang berada di wilayah pelosok tanpa koneksi internet maupun telepon. Ringkasnya, proses pemilihan sampel berupa TPS mengandung subyektivitas yang cukup besar.

Keenam, hasil hitung cepat beberapa lembaga survei justru menyertakan prediksi raihan suara partai politik meski baru dua jam setelah TPS di wilayah Indonesia bagian barat ditutup. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar karena 2.000-6.000 TPS yang menjadi sampel berarti sukses luar biasa untuk menyelesaikan penghitungan manual suara capres-cawapres dan parpol dalam waktu dua jam. KPU dan Museum Rekor Indonesia nampaknya perlu memberikan apresiasi pada 2.000-6.000 TPS itu.

Enam catatan tersebut sebaiknya tidak dipersepsikan sebagai anti-sains tetapi falsifikasi yang berpotensi memapankan sistem hitung cepat.

Para ahli statistik tentu memiliki sanggahan atas argumentasi di atas. Namun, apakah mereka juga dapat membantah analogi tentang persona A mentraktir 100 orang tapi hanya menanyakan satu orang untuk mengetahui selera 100 orang terhadap menu X dan Y? Apakah mereka memiliki justifikasi akademik (bukan ekonomis seperti efisiensi biaya hitung cepat) untuk menggunakan sampel di bawah jumlah minimal?

Sementara validitas bergantung pada kemampuan untuk memenuhi hukum-hukum dalam logika; ke-masuk-akal-an (plausibility) bersumbu pada validitas dan kebenaran dari premis yang menyusunnya. Hitung cepat boleh jadi valid tapi belum tentu masuk akal.rmol news logo article



Qusthan Firdaus

Peneliti di Asosiasi Sarjana Filsafat Indonesia; alumnus Filsafat The University of Melbourne

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA