PILPRES sudah usai. Tapi, ribut di media dan medsos
belum kelar. Saling serang dan saling bully terus terjadi. Tidak saja di
tingkat bawah, tapi juga di kalangan elitnya. Kemarahan rakyat jelas
terbaca. Begitu juga emosi para tokohnya. People power jadi wacana yang
terus menerus dimunculkan.
Meski
belum ketahuan siapa pemenangnya, demo sudah dimulai. People Power
sedang berjalan, kata Bachtiar Nasir, Ketua Majlis Pelayan Indonesia
(MPI). Di Jawa Timur dimulai dari Madura dan Surabaya. Di Jawa Barat,
dimulai dari Cileungsi dan mahasiswa UNPAD Bandung. Di Jakarta, dimulai
oleh mahasiswa UIN dan demo di Bawaslu. Di Sumatera terjadi di
Palembang.
Saling ancam
bermuculan di media. Yang satu akan gelar ijtima' ulama III di Sentul.
Satunya lagi akan menandinginya dengan ijtima ulama di Hotel Sultan
Jakarta. Yang satu bilang people power, satunya lagi akan tembak mereka
yang dianggap mengganggu pemilu.
Kedua
belah pihak tak mau mengalah. Ingin jadi pemenang. Padahal, dalam
setiap kompetisi, tak mungkin ada dua pemenang. Mesti salah satunya
harus kalah. Jika keduanya tak mau mengalah, ini problem. Demokrasi
terancam.
Dalam konteks
pilpres, kompetisi yang tak berujung akan berbahaya untuk keutuhan
sebuah bangsa. Karenanya, disinilah hukum diperlukan. Konstitusi menjadi
wasit untuk menengahi sebuah perselisihan.
Problemnya,
hukum dan konstitusi mulai tak dipercaya. Ternoda salah satunya oleh
kecurangan dalam pilpres. Masif, terstruktur, sistematis, dan bahkan
brutal, kata banyak pihak. Ini akibat dari terlalu seringnya politik
terlibat dan melakukan intervensi terhadap hukum.
Sekarang,
kita semua, seluruh rakyat Indonesia, menerima akibat dari semua
praktek hukum yang seringkali dikendalikan oleh tangan-tangan politik.
Situasi
sekarang, hukum tak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi pihak oposisi
untuk mengajukan sengketa pilpres. Kenapa gak nyaman? Oposisi tidak saja
menduga, tapi meyakini bahwa aparat dan KPU berpihak ke penguasa.
Bahkan dianggap terlibat terlalu jauh untuk memenangkan petahana. Pihak
oposisi punya bukti-bukti yang bagi mereka sangat meyakinkan. Karena
itu, melawan melalu jalur hukum itu percuma. Tak mungkin akan mendapat
keadilan. Sebab, oposisi sedemikian yakin bahwa semua akses, jalur dan
celah hukum telah dikuasai oleh petahana.
Nampaknya,
oposisi memilih jalur politik. Apa itu? People power. People power itu
artinya menurunkan kekuatan massa. Civil society, kata para aktivis HMI
Ciputat. Turun jalan, demo dan melakukan tuntutan. Ini hak kebebasan
berpendapat yang dilindungi UUD.
Tujuan
people power? Pressure KPU agar berhenti ikut terlibat dalam permainan
di pilpres. Kalau KPU keluar dari lapangan permainan, maka oposisi
berharap KPU berani mendiskualifikasi petahana dengan bukti-bukti
kecurangan yang dikumpulkan oleh kubu oposisi.
Sebagai
petahana yang menguasai aparat, khususnya polisi, tampaknya tak tinggal
diam, apalagi menyerah. Dengan segala kekuatan yang dimiliki, kubu
petahana akan melakukan perlawanan dengan semua kekuasaan yang
dimiliki. Mereka terus mencoba menggagalkan terjadinya people power.
Kenapa? Karena akan mengganggu kekuasaannya.
Bagaimana
cara menggagalkan people power? Bisa jadi, pertama, lobi para tokoh di
tingkat elit oposisi. Rayu, ajak, atau bila perlu, "gebuk" sekalian.
Gebuk dalam tanda kutip ya.
Atau
kedua, bubarkan setiap kegiatan yang digunakan untuk merencanakan
people power. Bila perlu, tangkap dengan tuduhan makar. Ini
kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.
Zaman
Orde Baru, itulah yang biasa terjadi. Ini dampak dari kekuasaan yang
tak terkontrol. Apakah bisa terjadi di era reformasi? Tepatnya, apakah
bisa terjadi di era Jokowi? Allahu A'lam.
Aksi
dan reaksi ini rawan terjadi benturan yang melewati garis hukum dan
konstitusi yang berlaku. Kekhawatiran rakyat semakin besar. Sebab, ada
tanda-tanda yang kuat ke arah itu. Ngeri! Karena itu, mencegah lebih
baik sebelum apa yang dikhawatirkan terjadi. Sebab, jika ini betul-betul
terjadi, NKRI terancam.
Istilah
Jokowi presiden Jawa dan Parbowo presiden Luar Jawa sudah mulai
bergaung. Ditambah lagi statemen Mahfudz MD yang menyebut beberapa
wilayah basis Prabowo adalah radikal. Makin ramai deh!
Semakin
hari semakin rumit, meruncing, dan makin tajam saling ancamnya.
Sementara tak ada dialog diantara elit di kedua kubu itu. Untuk
mengatasi kebuntuan ini, pemilu ulang bisa jadi alternatif. Apa dasar
hukumnya? Tanya para ahli hukum.
Sudah
dibilang, hukum bagi oposisi tak akan dipercaya karena diyakini telah
didesign untuk memenangkan petahana. Keyakinan ini begitu kuat di kubu
oposisi. Dan mereka mengantongi banyak bukti. Nah... Buntu kan?
Soal
dasar hukum pemilu ulang, bisa menggunakan UU No 7/2017 pasal 416.
Pasal ini mensyaratkan bahwa pemenang pilpres adalah peraih suara 50 + 1
persen dan mendapat suara 20 persen di lebih dari separuh wilayah
provinsi. Tapi, lagi-lagi, undang-undang kita seringkali dilwnturkan
untuk menyesuaikan dengan selera dan kebutuhan penguasa.
Jika
UU No 7/2017 itu tak cukup jadi dasar pemilu ulang, maka dibuat
peraturan baru. Ini semata-mata karena keadaan dianggap sangat
menghawatirkan.
Usulan
pemilu ulang ini saya rasa baik. Enak di kedua belah pihak. Rakyat
damai, NKRI tak terbelah. Tak perlu ada presiden Jawa dan presiden Luar
Jawa. Semoga tahun depan orang Jakarta tak perlu urus visa untuk pergi
ke Sumatera.
Kalau
pemilu ulang, ada jaminan tak dicurangi lagi? Ingat, pilpres kemarin
sudah memberi pengalaman. Jadi, pola, tempat dan pihak-pihak yang
dianggap terlibat dalam kecurangan sudah teridentifikasi. Rakyat akan
lebih ketat mengawasi. Jangan khawatir! Pemilu ulang, itu win win
Solution.
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News. Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: