Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Quick Count Buang-Buang Uang!

Senin, 29 April 2019, 01:38 WIB
Quick Count Buang-Buang Uang!
Ilustrasi/Net
QUICK Count (QC) yang dimaksud disini adalah hitung cepat atas perolehan suara pemilih dari dua atau lebih kontestan yang ikut bertarung dalam suatu ajang pemilihan umum (pemilu), baik pemilu presiden, pemilu kepala daerah, maupun pemilu legislator.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Kegiatan QC ini mulai muncul pada Pemilu 2004 dimana sampai saat ini pemenang kontestasi yang ditetapkan oleh KPU hampir semuanya sama dengan hasil QC, kecuali hasil Pilgub DKI 2017. Mengapa begitu?

Andai Tempat Pemungutan Suara (TPS) keseluruhan yang didirikan untuk keperluan sebuah helatan pemilu sebanyak 100.000 TPS, QC bekerja dengan menghitung persentase perolehan suara dari beberapa (sampel) TPS yang dipilih secara random (acak). Pengumpulan data, ada yang menggunakan data dalam Form C1 dan ada juga yang menggunakan data yang diperoleh melalui survey Exit Poll (bertanya kepada responden yang baru saja keluar dari TPS).

Di dalam Form C1 terekam pilihan dari semua pemilih di TPS itu. Apakah survey Exit Poll dilakukan kepada semua pemilih? Harusnya begitu, jika unit sampling yang didefinisikan di awal adalah TPS. Hasil hitung perolehan suara melalui QC, baik yang dihitung dari data yang terekam di Form C1 maupun data dari Exit Poll, disebut “taksiran persentase perolehan suara”.

Seorang Ilmuwan yang ingin mengetahui persentase Ikan Tuna yang ada di sebuah area laut tertentu, melakukannya dengan cara menghitung persentase Ikan Tuna hasil tangkapan dari beberapa (sampel) kelompok penangkap ikan (nelayan). Hasil hitung “taksiran persentase Ikan Tuna” (nilai sampel) kemudian digunakan untuk membuat kesimpulan bahwa “di area laut tersebut terdapat sekian persen Ikan Tuna” tanpa harus menunggu hasil hitung dari seluruh ikan (populasi) yang ada di area laut itu (nilai populasi). Dalam hal ini, telah dilakukan Sampling (penelitian terhadap sampel) karena penelitian terhadap polulasi (Sensus) mustahil dapat dilakukan mengingat polupasi ikan yang tak terhingga.

Berbeda dengan hasil QC yang pada kenyataannya “taksiran persentase perolehan suara” (nilai sampel) digunakan untuk menyimpulkan peraih suara terbanyak (pemenang) dari sebuah perhelatan pemilu, padahal pemenang resmi ditetapkan setelah penghitungan suara dari seluruh TPS (nilai populasi) selesai dikerjakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam hal ini, telah dilakukan Sampling padahal Sensus telah dilakukan.

Jadi pertanyaannya adalah: “Apa gunanya melakukan QC?”. Banyak jawab! Apakah QC akurat? Akurasi Sampling tergantung pada beberapa hal, antara lain keacakan (randomness) dan kecukupan ukuran sampel, juga tidak ada wrong data. Sampel yang baik adalah sampel yang representatif (mencerminkan karakteristik populasi). Apakah sampel TPS yang digunakan oleh lembaga penyelenggara QC itu representatif dan data yang diolah terbebas dari wrong data?

Salah satu ciri taksiran yang baik adalah Tak Bias, yaitu nilai rata-rata taksiran sama dengan nilai populasi (yang ditaksir). Dalam bahasa Pilpres “hasil QC sama dengan hasil KPU”.  Nah sekarang bagaimana dengan taksiran yang dihasilkan QC, apakah akurasinya bisa mencapai 99%? Bisa saja, baik murni atau hasil rekadata. Dengan rumus sederhana, utak-atik data, tak sulit mendapat nilai taksiran dengan akurasi 99%.

Terkait Pemilu Presiden 2019, saat ini sudah dan sedang dilakukan perhitungan perolehan suara sementara. Penyelenggara QC telah selesai melakukan perolehan suara sementara dari seluruh data yang dikumpulkan melalui samplingnya, dan yang lain (KPU, Tim BPN, Kawal Pemilu, Jurdil-2019, dan lainnya yang mungkin ada) telah selesai menghitung perolehan suara sementara dari data yang sudah masuk ke dapur masing-masing sampai saat ini.

Hasil perhitungan perolehan suara sementara yang sudah dan sedang ditampilkan, baik oleh penyelenggara QC maupun yang lainnya tersebut diatas, semuanya masih hasil sementara (nilai sampel) karena perolehan suara yang sebenarnya (nilai populasi) baru akan diketahui setelah seluruh data C1 dari seluruh TPS selesai dihitung.
Menjelang Sidang Umum MPR RI tahun 1997, ketua DPR/MPR saat itu yang juga ketua umum Golkar menyatakan bahwa berdasarkan hasil survey diperoleh kesimpulan “bahwa 70% rakyat Indonesia masih menginginkan HM Soeharto (Alm) sebagai presiden”.

Pernyataan ini berhasil menggiring opini peserta Sidang untuk setuju memilih dan menetapkan HM Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk kesekian kalinya. Namun apa yang terjadi di luar gedung DPR/MPR? Gelombang unjuk rasa Menuntut HM Soeharto Mundur terjadi dimana mana dan puncaknya pada bulan Mei 1998 terjadi pendudukan gedung DPR/MPR di Senayan yang berujung pada 22 Mei 1998 HM Soeharto mengundurkan diri.

Peristiwa ini kemungkinan besar disebabkan oleh kesalahan survey (bertanya hanya kepada responden yang mendukung, atau data jawaban responden disalah inputkan). Mungkinkah lembaga survey itu melakukan kesalahan serupa? Tak mustahil, apalagi jika lembaga survey itu dibiayai oleh Tim salah satu kandidat.

Pada tahun 1986, menurut Adhie Massardi, QC diselenggarakan oleh National Movement for Free Election (Namfrel) pada pemilu di Philipina untuk melawan “KPU Philipina” yang cenderung berpihak pada petahana.

Di Indonesia sendiri, kegiatan QC mulai muncul pada Pemilu 2004 dimana sampai saat ini pemenang kontestasi yang ditetapkan oleh KPU semuanya sama dengan hasil QC, kecuali Pilgub DKI Jakarta 2017. Mengapa begitu? Apakah metodologi dan atau rumus yang salah? Belum tentu. Metodologi survei itu standar, rumus itu hanya alat hitung yang keduanya tergantung pada manusia yang menggunakannya.

Seperti pada tiga Pilpres sebelumnya, pada Pilpres 2019 inipun hasil QC menunjukkan fenomena “Seragam Mengunggulkan Salah Satu Paslon”, sementara hasil hitung sementara yang dilakukan oleh Tim lain (BPN) dan lembaga lain (Lapitek, Jurdil2019) mengunggulkan paslon lain. Terkesan bahwa hasil QC merupakan “Leader Number” yang akan atau harus diikuti atau dicontoh oleh penyelenggara pemilu sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang menetapkan hasil akhir perolehan suara.

Beberapa kemungkinan dalam QC:
●    Pemilihan sampel tak random, sampel dipilih lebih banyak yang diketahui mendukung paslon tertentu karena lembaga survey mendapat “pesanan”;
●    Teknik sampling yang tidak sesuai dengan karakteristik polpulasi;
●    Walaupun sampel dipilih secara random dengan teknik sampling yang tepat, salah atau “disalahkan” entry data karena mengejar hasil hitung yang sudah “ditargetkan” tak mustahil terjadi. Data 89, bisa menjadi 98 atau variasi angka lain yang lebih besar, bahkan jauh lebih besar. Bantahan atas kemungkinan ini dapat ditunjukkan dengan menunjukkan raw data. Beranikah lembaga survey menunjukkan raw data asli?;
Melihat sajian-sajian informasi perolehan suara sementara yang disuguhkan ke publik, nampak ada dua kelompok informasi yang berbeda. Pertama, kelompok yang sama atau mirip dengah hasil hitungan QC dan yang kedua, kelompok yang berbeda atau bertolak belakang dengan hasil hitungan QC. Mengapa bisa begitu? Bisa dan wajar karena hampir pasti data C1 yang masuk ke dapur masing-masing berbeda. Tapi pertanyaannya adalah: “Mengapa ada hasil hitung yang seperti mengacu ke hitungan QC, padahal sampel C1 yang digunakan berasal dari populasi yang sama?”

Secara statistis, idealnya tidak harus ada perbedaan hasil hitung yang bertolak belakang. Jika indikasi-indikasi pengrusakan atas Form C1 yang informasinya tersebar di berbagai media benar adanya, maka tidak tertutup kemungkinan Form C1 yang digunakan ada dua jenis, yaitu Form C1 “asli” dan Form C1 yang “dirusak” atau “duplikat” sehingga terjadilah perbedaan hasil hitung seperti itu.

Kegiatan hitung suara, tak lepas dari biaya kegiatan. KPU dibiayai oleh Negara (uang rakyat), Tim BPN dibiayai oleh anggaran resmi Tim yang telah dilaporkan ke KPK, Jurdil-2019 (menurut informasi) dibiayai oleh masyarakat secara sukarela dengan biaya awal 150 juta rupiah. Dari manakah sumber dana Lembaga Penyelenggara QC dan Kawal Pemilu? Berdasarkan video presentasi salah seorang pimpinan lembaga penyelenggara QC (jika video itu benar) dimana di video itu ada istilah Post Truth, kemungkinan besar sumber dana yang digunakan berasal dari Tim salah satu paslon peserta Pilpres 2019 sehingga tak mustahil hasil hitung yang disuguhkan merupakan hasil yang bias atau dibiaskan.

Melihat hasil QC yang: (1) Tak digunakan karena penetapan pemenang Pilpres didasarkan pada hasil hitung KPU akhir padahal QC berbiaya (mungkin) cukup besar; dan (2) Seperti digunakan sebagai acuan hasil akhir oleh KPU, maka “Penyelenggaraan QC itu hanya Buang Uang”.

Kalaupun mau dilakukan penaksiran hasil akhir perolehan suara melalui sampling, mengapa tidak dipercayakan kepada Biro Pusat Statistik? Disana banyak pakar-pakar Statistika, dan badan itu sudah terbiasa melakukan sensus. Atau, oleh Tim QC Independen yang melibatkan prodi-prodi Statistika dari seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia.

Pemilu ingin Jurdil? Seragamkan tujuan, HANYA DEMI BANGSA DAN NEGARA! rmol news logo article


Penulis adalah Iwan Deni Gunawan (Alumni dan Pengajar Statistika) dan Setya Dharma S. Pelawi (Alumni Statistika dan Aktivis Prodem).

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA