Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masih Adakah Masa Depan Demokrasi?

Minggu, 28 April 2019, 14:55 WIB
Masih Adakah Masa Depan Demokrasi?
Donald Trump/Net
PERTANYAAN penting akan eksistensi demokrasi semakin menyeruak di negeri asal demokrasi pasca keterpilihan Trump.

Buku karya Steven Levitsky & Daniel Ziblat berjudul: Bagaimana Demokrasi Mati, Apa Yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita setebal 272 halaman menjadi salah satu titik penting merenungkan kembali urgensi demokrasi sebagai pilihan tata kelola kehidupan bermasyarakat.

Kehadiran buku ini menarik, mengingat Trump memang figur sensasional dan tidak pernah diperhitungkan sebelumnya secara serius di ranah politik, sebuah wilayah baru bagi sang konglomerat.

Trump adalah pengusaha sukses yang memang eksentrik, penuh dengan kontroversi, tetapi tetap menginspirasi banyak pihak pada kemampuan sense of business yang mumpuni.

Mungkin saja bagi Trump, politik adalah ruang bermain di luar sektor bisnis, bagi upayanya untuk mengekspresikan kehendak serta ambisi kuasanya.

Bahkan secara mengejutkan, kemenangan Trump tidak pernah tertangkap melalui hasil temuan survei. Padahal Hillary sebagai kompetitor, justru mendapat simpati banyak dalam persepsi opini publik. Bukan hanya itu, Hillary juga memenangi berbagai survei.

Bagaimanapun demokrasi adalah pilihan yang diambil sebagai alternatif mengatur kehidupan sosial.

Demokrasi berbicara tentang otoritas pengaturan hidup bersama, bahkan secara singkat dimaknai dalam formulasi sederhana: pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.

Bila demikian, basis mendasar dalam demokrasi, adalah soal kepercayaan yang merupakan legitimasi bagi pemerintah. Maka pertanyaan yang perlu dirumuskan ulang adalah: apakah para elit pengelola kehidupan bersama itu benar-benar membawa kepentingan publik?

Terang saja jawabannya sangat bergantung pada apa yang dirasakan oleh publik itu sendiri. Slogan yang mencuat dalam demokrasi adalah tentang; kebebasan, kebersamaan dan keadilan. Keseluruhan aspek tersebut menjadi pondasi serta indikator di alam demokrasi.

Trump dan Pagar Demokrasi

Kemenangan Trump, tidak hanya disangsikan oleh pihak diluar Partai Republik, bahkan di dalam internal organisasi partai pengusungnya sendiri, ada keterbelahan sikap diantara petinggi partai.

Sistem kepartaian di Amerika berbentuk Dwipartai, hanya Partai Republik dan Partai Demokrat. Hal tersebut membuat institusi kepartaian keduanya solid dalam kerangka struktur organisasi.

Bila kemudian ilustrasi bangunan kenegaraan dibatasi oleh pagar demokrasi, maka pagar kehidupan bernegara tersebut terdiri dari norma-norma sosial bersama, sebagai konsensus yang melandasi ketentuan dalam konstitusi.

Dalam kajian Levitsky & Ziblat, kemenangan Trump diidentifikasi sebagai periode kepemimpinan politik yang berpotensi menghadirkan otoritarianisme.

Beberapa hal yang menjadi ukuran dari bibit otoriter, menurut Levistky & Ziblat, dilihat melalui perilaku utama, diantaranya; (1) komitmen terhadap aturan main yang demokratis, (2) deligitimasi kubu oposisi yang berseberangan, (3) tekad bertoleransi, dan (4) memberi dukungan pada kebebasan sipil dan media.

Pada keseluruhan kriteria tersebut, Trump memiliki persoalan.

Meski demikian, toh Trump tetap pemimpin yang terpilih, meski diselimuti skandal Cambridge Analytica, dengan sisi kelam permainan algoritma microtargeting sosial media.

Sebagaimana hasil temuan dalam penelitian Levitsky & Ziblat, pemimpin otoriter justru kerapkali muncul sebagai harapan akan situasi yang terjadi, hadir dengan tampilan populer yang menjadi antithesis kemapanan.

Banyak kasus pemimpin otoriter dunia, tidak hadir dengan tiba-tiba, bahkan beberapa diantaranya dianggap sebagai pahlawan negara, tetapi kemudian masuk dalam perangkap kekuasaan dengan sifatnya yang melenakan.

Ambisi kekuasaan itu adalah tentang mempertahankan selama mungkin privilege tampuk kepemimpinan, yang pada akhirnya menciptakan otoritarianisme. Kasus fenomena Hitler yang mencapai kursi kuasa melalui pemilihan umum dan demokrasi adalah buktinya.

Post Trump dan Resolusi Demokrasi


Pada kajian lokal di Indonesia sebagai perbandingan, peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Demikian pula selanjutnya transisi Orde Reformasi ditandai dengan semakin tersentralisirnya kekuasaan ditangan pemimpin.

Pihak yang dianggap tadinya menjadi aktor perubahan, dengan kriteria pembaharu dan pembawa harapan kemudian melakukan konsolidasi kekuasaan, di titik inilah otoritarianisme menemukan bentuknya.

Hasrat kepentingan dan kekuasaan motif penggeraknya. 

Dengan demikian, politik dalam fungsinya sebagai jalan menuju ruang demokrasi dalam bangunan kenegaraan tidak bisa dipandang secara ideal, melainkan lebih bersifat pragmatis.

Aktor-aktor politik sesungguhnya tengah memainkan peran dalam sandiwara kepentingan, sesuai konsep dramaturgi. Hal itu dapat jelas terlihat, jika Anda pernah menonton film dokumenter 90 menit Sexy Killers.

Bagian akhir dari buku Levitsky & Ziblat memberikan formula yang dapat dijadikan panduan bagi upaya mengatasi sekaligus keluar dari situasi terbentuknya otoritarianisme terselubung dalam bentuk populisme, sebagaimana terkategori sebagai era Post Trump dalam model hipotesis sederhana, yakni; (1) penguatan gerakan sosial publik sebagai counter kekuasaan, (2) penambahan peran partai politik oposisi yang menjadi balancing power, dan (3) pembenahan sistem kepartaian.

Apakah dengan demikian demokrasi dapat diselamatkan dan memiliki masa depan? Tentu politik harus dipahami dalam posisinya yang selalu bergerak dinamis.

Perilaku politik publik mudah berayun dari satu pilihan ke pilihan yang lain, dan hal itu mudah untuk ditunggangi kepentingan elit politik dalam tujuan menapai kekuasaan. Maka kesadaran publik, dalam konteks literasi dan melek politik menjadi penting, agar tidak terjebak pada tampilan muka yang bisa jadi nampak populis! rmol news logo article
 

Yudhi Hertanto

Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA