Namun belakangan, muncul beberapa pihak yang mengeluarkan kata-kata bijak, seakan dialah yang paling tergerak cepat mengatasi keadaan. Padahal, jangan-jangan, mereka salah satu biang masalahnya.
Maka saya ajak untuk buka-bukaan. Kapan perlu dalam salah satu sesi terbuka, ilmiah, dan
civilized di KPU (asal jangan dengan niat menambah lagi konflik bangsa ini).
Tujuan pengajuan
Judicial Review ke MK (awal tahun 2013), adalah menyelamatkan peradaban Indonesia. Sejak awal, kami akademisi sudah mencium gelagat buruk dari sekelompok orang yang akan mendisain agar Pilpres Indonesia hanya akan diikuti oleh dua capres atau bahkan Calon Tungg
al!Bayangkan kami sudah mencium gelagat itu sejak tahun 2013
!Kenapa kami anggap itu akan MERUSAK PERADABAN?
Kalau Anda memahami hancurnya peradaban karena potensi penyalahgunaan media sosial, pasti Anda akan mencegah dengan segala upaya agar tidak terjadi Pilpres dengan hanya dua capres. Apalagi Calon Tunggal
!Lihat apa yang terjadi? Sangat banyak: energi dan waktu KPU, Bawaslu, Polri, serta politisi, terbuang untuk menangani
HOAX, ujaran kebencian, dan pencemaran di medsos. Yang terakhir ini, antara kubu "cebong" lawan "kampret"
!Sangat terasa kurang waktu untuk Sosialisasi Pemilu, apalagi SIMULASI
!Kalau simulasinya ilmiah, dengan mempertimbangkan segala kondisi, maka segala kelelahan dan gangguan kesehatan HARUS TERDETEKSI! Masa simulasi berbeda betul dengan kenyataan?
Waktu lima tahun dua bulan dibuang percuma oleh Pembuat Undang Undang untuk menghasilkan Kodifikasi UU Pemilu. Ngototnya hanya untuk Presidential Threshold, sampai
voting dini hari!
Sebetulnya sejak 2015, kami sudah mengusulkan manajemen pemilu serentak. Antara lain, 1 Desember 2015 pada peluncuran buku Mendagri, Tjahjo Kumolo, "Dasar Hukum Pemilu Serentak". Kami usul agar Pemilu Serentak dibagi menjadi dua. Yaitu Pemilu Nasional Serentak (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah Serentak (Kepala Daerah, DPRD tingkat 1, DPRD tingkat 2). Jaraknya 2,5 tahun. Tapi sepertinya usul ini dan usul teman-teman
civil society lain hilang di tengah hiruk-pikuk
Presidential Threshold!Apakah SESIMPEL itu masalah kita sekarang, HANYA KARENA Presidential Threshold?? Bukan sesimpel itu, tapi Pemilu serentak hanya salah satu metode untuk membuang
Presidential Threshold; agar peradaban bangsa tidak dibiarkan hancur, karena keterbelahan, di depan mulut penghancur peradaban bernama "media sosial".
Niat asli (
original intent) Pembentuk UUD kita memang agar bangsa tidak terbelah, walau niat itu dirumuskan jauh sebelum era sisi kelam medsos.
Kalau sudah terbelah begitu dalam, apalagi bawaan luka lama sejak 2014, segala sesuatu dicurigai. Hampir tidak pernah kita bisa duduk bersama, mencari penyelesaian, secara beradab
!DPT tidak pernah diterima dengan baik, KTP elektronik juga belum pernah beres, kertas suara dicurigai tercoblos,
setting website dicurigai, aparat dicurigai tidak netral, apalagi
Quick Count dan sebagainya; apa-apa saja membelah dan dicurigai
!Tidak cukup lagi peradaban untuk bisa menyelesaikan masalah bersama!
Kami sudah memprediksinya sejak 2013
!Di mana posisi Anda sesungguhnya? Anda jadi bagian yang menjaga peradaban atau yang merusaknya melalui
Presidential Threshold? Anda tidak sadar atau Anda sengaja, mengumpankan bangsa yang jadi terbelah, ke depan mulut menganga perusak peradaban bernama 'media sosial'?
*
Presidential Threshold: ambang batas pencalonan presiden; harus 20 persen kursi legislatif, hasil Pemilu lima tahun lalu. Syarat begini hanya ada pada Pemilu serentak Indonesia. Gara-gara syarat ini, calon presiden Pemilu 2019 sudah dihitung betul agar tersisa dua pasangan saja.
Effendi GazaliPakar Komunikasi Politik
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.