Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mendorong Netralitas TNI Dan Polri Jelang Pemilu

Sabtu, 06 April 2019, 16:47 WIB
Mendorong Netralitas TNI Dan Polri Jelang Pemilu
Kapolri, Presiden, Panglima TNI/Net
PELAKSANAAN pemilihan umum (Pemilu), baik itu pemilihan presiden (Pilpres) maupun pemilihan legislatif (Pileg), tinggal menghitung hari. Ditengah persaingan politik yang semakin ketat, baik antar calon presiden maupun partai politik, maka upaya untuk mendapatkan dukungan politik dari berbagai pihak semakin digencarkan.

Meski demikian upaya untuk meraih dukungan politik perlu memperhatikan regulasi yang ada,yaitu diantaranya dengan tidak memanfaatkan atau melibatkan pihak-pihak yang seharusnya netral dalam Pemilu untuk mendulang suara.

Setidaknya ada tiga komponen dari negara ini yang perlu dijaga netralitasnya, yaitu: anggota TNI, anggota Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Secara khusus, untuk anggota TNI dan Polri bahkan hak politiknya dicabut semenjak reformasi bergulir, hal ini untuk menghindari terseretnya kembali kedua lembaga itu dalam praktek politik praktis yang membuatnya menjadi tidak profesional.

Berbeda dengan ASN yang tetap memiliki hak pilih dalam Pemilu, anggota TNI dan Polri tidak memiliki hak politik untuk memilih dalam Pemilu. Pencabutan hak politik terhadap anggota TNI dan Polri selain didasarkan pada adanya keinginan untuk menciptakan profesionalisme kedua lembaga, juga didasari oleh keinginan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis.

Prinsip negara yang demokratis mengedepankan adanya supremasi sipil dalam pelaksanaan kekuasaan politik, yaitu dimana militer atau kekuatan bersenjata lainnya tidak melakukan intervensi atas penyelenggaraan pemerintahan yang dijalankan oleh sipil.

Pentingnya menjaga netralitas juga bukan hanya soal tidak boleh adanya intervensi TNI dan Polri dalam roda pemerintahan, tetapi juga soal adanya tuntutan terhadap komitmen sipil untuk tidak membawa-bawa lagi TNI dan Polri masuk kedalam ranah aktivitas politik praktis.

Dorongan ini menjadi penting karena TNI dan Polri tidak boleh menjadi bagian dari alat kekuasaan kelompok politik manapun. Apabila anggota TNI dan Polri terbawa pada sebuah kondisi dimana mereka tidak netral atau berpihak pada kekuatan politik tertentu, maka bukan tidak mungkin akan muncul perpecahan atau konflik kepentingan diantara anggota-angota dalam lembaga tersebut.

Godaan Politik Praktis


Meski masyarakat dan kekuatan politik sipil telah berupaya sekuat tenaga mendorong terwujudnya reformasi TNI dan Polri, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada beberapa elite politik yang berupaya membawa-bawa TNI dan Polri masuk kembali kedalam dunia politik.

Meski upaya untuk melibatkan kembali anggota TNI dan Polri dalam dunia politik tidak dilakukan secara transparan, namun fenomena ini bisa terlihat dari munculnya pola relasi kekuasaan antara rezim yang memerintah dengan anggota-anggota dari kedua lembaga negara tersebut.

Relasi kekuasaan ini umumnya dilakukan dengan menempatkan perwira aktif  “terpercaya” dari kedua lembaga untuk duduk dalam struktur penting TNI atau Polri, atau bahkan dalam jabatan-jabatan strategis lainnya seperti pelaksana tugas kepala daerah.

Dalam beberapa kasus lainnya pemerintah juga bisa membuat kebijakan-kebijakan yang memberikan keuntungan politik, seperti membuka ruang bagi perwira aktif untuk dapat menempati posisi dalam kementrian.

Meskipun sebagian dari pola di atas secara hukum dapat disahkan, tetapi hal tersebut membuka ruang adanya posisi take and give. Mereka (perwira aktif) yang pada akhirnya mendapat kesempatan untuk menempati beberapa posisi strategis berpotensi menjadi pendukung kelompok yang memerintah, dan jikalau rezim berganti maka yang bersangkutan tetap berpotensi mendapat keuntungan politik manakala mundur dari jabatan atau karirnya, seperti dipromosikan untuk menjadi calon kepala daerah, calon anggota legislatif, atau posisi lainnya.

Munculnya peluang-peluang dapat menjadi godaan terbesar bagi para prajurit aktif, dan tidak sedikit yang pada akhirnya memilih untuk mengambil posisi politik meski harus keluar dari kedinasan.

Perlombaan yang dilakukan oleh para elite parpol untuk memperoleh jejaring TNI dan Polri juga bisa dilihat dari adanya perekrutan serta penempatan para purnawirawan dalam jabatan strategis di partai politik.

Meski berstatus sebagai purnawirawan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa para purnawirawan yang setidaknya masuk ke dalam kategori perwira tinggi masih mempunyai pengaruh strategis di lingkungan kerjanya terdahulu.

Para purnawirawan memang tidak bisa menggiring eks bawahannya untuk memilih partai atau calon presiden tertentu, sebab anggota TNI dan Polri aktif memang tidak memiliki hak pilih, tetapi para purnawirawan yang berpolitik bisa mempengaruhi jaringan para prajurit aktif untuk mendukung partai atau calon presiden tertentu.

Kecenderungan untuk menarik kekuatan TNI dan Polri dalam Pemilu bukan merupakan hal yang baru, pada penyelenggaraan Pemilu 2009 dan 2014 kecenderungan tersebut telah muncul. Akan tetapi adanya kecenderungan tersebut kemudian langsung di respon dengan kritik oleh para pegiat reformasi sektor keamanan.

Soal adanya keterlibatan para purnawiran dalam Pemilu, pada akhirnya memunculkan sebuah terminologi atau istilah perang bintang. Istilah yang tidak bisa dilupakan dalam perhelatan demokrasi lima tahunan ini kemudian muncul kembali dalam Pemilu 2019, terutama dalam menghadapi persaingan Pilpres.
 
Dalam posisi pertarungan politik ini dari kubu Capres 01 Jokowi ada Jenderal TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, Jenderal TNI (Purn) Wiranto, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko serta beberapa purnawirawan TNI-Polri lain. Sementara di kubu Capres Prabowo ada Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein, Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso, Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, Komjen Pol (Purn) Moch Sofjan Jacoeb maupun beberapa purnawirawan jenderal TNI atau Polri lainnya.

Fenomena perang bintang menjadi salah satu persoalan yang tetap perlu mendapat perhatian serius. Kita memiliki harapan agar perang bintang dalam Pemilu tidak memiliki dampak negatif terhadap netralitas, profesionalitas dan independensi personel TNI dan Polri.

Menggiring para purnawirawan TNI dan Polri kedalam ranah politik praktis memang memberikan keuntungan politik bagi para elite partai, tetapi perang ini akan menjadi persoalan serius tatkala para eks jenderal dilibatkan terlampau jauh ke dalam konflik kepentingan politik.

Adanya peperangan para eks jenderal secara mendalam dapat memberikan implikasi yang kurang baik bagi keharmonisan para prajurit aktif di kedua lembaga, sebab tidak dipungkiri para eks jenderal yang saat ini aktif dalam partai politik juga pernah memiliki posisi strategis dengan pengaruh yang kuat dikalangan junior dan anak buahnya.

Mendorong Netralitas TNI dan Polri

Mendorong netralitas TNI dan Polri dalam pemilu memang bukan hal yang mudah, banyak faktor yang dapat membuat ketidaknetralan kembali muncul, baik faktor internal maupun eksternal.

Faktor internal bisa muncul karena adanya dorongan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan lembaga atau karena adanya unsur kedekatan dengan poros kekuasaan, sebagaimana muncul asumsi bahwa ketika SBY berkuasa dirinya lebih dekat dengan TNI daripada Polri, sebaliknya ketika Jokowi berkuasa maka kekuasaan lebih dekat kepada Polri daripada TNI.

Meski asumsi yang berkembang di masyarakat dapat saja dibantah, tetapi asumsi yang muncul di publik juga bisa didasarkan pada perasaan dan pengamatan pada kondisi tertentu, seperti adanya penempatan beberapa perwira TNI/Polri pada masing-masing rezim di posisi-posisi penting.

Di tengah-tengah adanya kekhawatiran atas ketidaknetralan sebagian anggota TNI/Polri dalam Pemilu, saat ini beredar adanya sebuah tayangan video terkait adanya oknum polisi yang mencoba mengajak masyarakat meneriakan Jokowi yes yes yes.

Polemik atas video itupun kemudian meluas, meski kemudian kepolisian sendiri masih harus terus memastikan soal kebenaran dan keutuhan isi dari video tersebut agar kemudian tidak menimbulkan blunder dalam mengambil keputusan. Begitupun soal polemik munculnya dugaan disusupinya kegiatan Millenial Road Saftey Festival untuk mendukung petahana, sebab di beberapa wilayah seperti Jatim dan Bali di duga acara Millenial Road Saftey Festival disusupi oleh pihak-pihak yang ingin melakukan kampanye terselubung untuk mendukung Jokowi.

Keinginan untuk mempertahankan netralitas TNI dan Polri memang membutuhkan adanya komitmen yang kuat, sebab hingga saat ini masih terdapat para politisi yang berusaha mempengaruhi aktor-aktor di kedua lembaga dengan memberikan janji-janji politik yang bisa saja menggiurkan.

Sebaut saja, misalnya iming-iming adanya peluang untuk mendapatkan jabatan politik pasca para aktor ini keluar dari kedinasan, ataupun adanya peluang untuk memperoleh kemudahan dalam pengisian jabatan dalam struktur organisasi.

Tampaknya, tentu dengan tidak bosan-bosan, perlu kembali diingatkan bahwa baik TNI dan Polisi adalah alat negara yang bertugas untuk melayani dan melindungi masyarakat, oleh sebab itu anggota TNI dan Polri harus lebih dekat dengan masyarakat.rmol news logo article

Penulis: Yusa Djuyandi
Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global, Universitas Padjadjaran

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA