Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menanti Tentara Masuk Sekolah

Kamis, 04 April 2019, 07:55 WIB
Menanti Tentara Masuk Sekolah
Foto: Net
SELAIN tahun-tahun belakangan ini, tentara tidak ada masa yang tenang. Tentara seperti kembali ke barak mengerjakan pekerjaannya yang utama  sebagai tentara.

Ketika tentara diwacanakan membantu sekolah, beragam tanggapan muncul di kalangan pecinta dunia pendidikan dan masyarakat sipil umum. Wacana tersebut memang dilontarkan oleh Mendikbud Muhajir Effendi yang lagi-lagi lontarannya sering menjadi debat kusir tidak karuan layaknya pengamat.

Saat ada hajatan besar seperti Pilpres, Pileg, Pilgub, Pilbup dan atau Pilwalkot pasti tidak luput mengulas soal pendidikan. Tentunya dengan janji-janji yang manis dan menggiurkan.

Hal ini tidak lain ditujukan untuk meraih simpati publik pemilih sebanyak-banyaknya. Berbagai hal seperti pendidikan gratis, tunjangan kartu-kartu dikeluarkan agar segmen-segmen yang tidak tertarik berbalik mendukung.

Dari sekian janji tematik itu, muara segalanya adalah mutu pendidikan itu sendiri. Yang terkadang sumir dan samar diutarakan.

Mutu sumir dan samar itu diungkapkan sejatinya dengan kehendak yang tulus, jangka panjang dan karena itu kadang menelanjangi diri sendiri; sekolah dan institusinya. Karena bahaya seperti itulah, tidak semua pihak berkepentingan mau menggamblangkan kondisi mutu pendidikan secara sesungguhnya.

Tak perlu rumit dibicarakan, mutu sejatinya ditambatkanya pada kosa-kata yang sederhana, mudah dipahami, dan gampang merasuk ke alam sadar; sekolah guru, murid, dan guru dan seterusnya.

Begitulah sejatinya Mendikbud melontarkan wacana “tentara masuk sekolah” dengan mengemas konteksnya menyalurkan SDM yang dibutuhkan ke sekolah. Nalar kebijakan itu pada gilirannya akan menjadi kelanjutan pengangkatan guru/PNS guru di pulau terluar dan terdepan. Meski di pulau terdekat juga masih banyak yang membutuhkan.

Karena dengan nalar seperti itu, ia punya kuasa untuk secara affirmative meningkatkan mutu mulai dari pulau terluar dan terdepan. Termasuk tentara dalam konteks sebagai SDM yang handal, bisa diimajinasikan sebagai bagian orang-orang unggul. Setidaknya pas dalam kebutuhan wilayah yang dimaksud.

Menteri bisa saja dengan kuasanya mengangkat orang-orang dari Jakarta yang pintar-pintar untuk ditempatkan di wilayah terluar dan terdepan. Ini sekaligus menepis kekhawatiran kultur militeristik masuk ke sekolah. Karena orang-orang pintar itu yang dari sipil terjun ke lapangan.

Toh dulu Gerakan Indonesia Mengajar juga pernah melakukan hal yang sama. Dan program itu tidak jadi lebih besar setelah penggagasnya beralih posisi. 

Tentunya, pola seperti ini juga bisa saja tidak sesuai dengan konteksnya. Ya saat ini.

Kembali ke soal tentara, kekhawatiran akan menimbulkan kultur meliteristik ini wajar saja. Jika mau jujur, kultur militeristik (maksudnya kekerasan dan top down) itu tidak luput malah masih banyak di sekolah, baik terverbalkan oleh perilaku guru atau murid.

Kultur disiplin dan daya tahan yang kuat adalah nilai positif yang sangat dibutuhkan oleh sekolah, oleh murid dan guru. Untuk sekolah terluar dan terdepan, saat ini siapa yang mau ke sana dan tinggal berlama-lama. Dan tentara bisa melakukannya.

Dengan mengedepankan disiplin dan daya tahan, soft skill murid, guru dan sekolah akan sendirinya terkatrol.

Budaya disiplin dan daya tahan inilah yang menjadi titik lemah untuk berkembang, dengan hadirnya tentara maka InsyaAllah hal itu akan teratasi. Selebihnya yang tentara juga manusia, dia tumbuh dan berkembang.rmol news logo article


Chief Abung
Founder Jaringan Sekolah Kinderglobe Katulistiwa

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA