Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi Yang Abangan Mencomot Atribut NU Dan Hilangkan Legasi Gus Dur

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/natalius-pigai-5'>NATALIUS PIGAI</a>
OLEH: NATALIUS PIGAI
  • Sabtu, 23 Maret 2019, 05:24 WIB
Jokowi Yang Abangan Mencomot Atribut NU Dan Hilangkan Legasi Gus Dur
Presiden Joko Widodo/Net
ANEH Ajaib! Itulah kalimat yang tentu saja bisa terlontar dari pikiran dan perasaan setiap ilmuan politik  dan intelektual sosial yang memahami histriografi, sosiologis dan peta politik Indonesia sepanjang 73 tahun merdeka. Bahkan sesungguhnya tidak ada DNA secara sigifikan antara Joko Widodo yang berasal dari kaum Abangan memiliki pengaruh terhadap kekuatan politik santri, khususnya kalangan NU.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Dalam historiografi Indonesia, kekuatan politik terpolarisasi dalam dua kelompok pada Pemilu 1955 yakni partai ideologis dan partai massa. Kaum Abangan hadir dalam partai ideologis dengan membawa mahaenisme (PNI) dan Partai Komunis Indonesia, sedangkan NU dan Masyumi muncul sebagai partai massa. Inilah embrio yang meski kita memotret dimana PNI bergabung bersama partai-partai lain ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sedangkan NU dan Masyumi bersatu dalam kekuatan politik Santri Partai Persatuan Pembangunan (PPP), adapun kelompok kekaryaan (TNI), intelektual dan priyayi (ninggrat) bergabung dalam Partai Golkar.

Polarisasi kekuatan politik yang muncul tidak begitu saja terbentuk secara alamiah tetapi ada akar historisnya. Yaitu ketika Antropolog Amerika Clifford Geerz membantu memudahkan pengklasifikasian masyarakat Jawa dalam kelompok priyayi, abangan dan santri. Tiga konsep keberagamaan orang Jawa; abangan yang merepresentasikan pada aspek animism; santri mewakili penekanan pada aspek Islam sinkretisme; dan priyayi menekankan pada elemen birokrat.

Sebelum membahas Joko Widodo (menyandera? Islam Santri, NU) dalam politik Indonesia kini, perlu saya mengukur seberapa besar derajat dan posisinya dalam tipologi masyarakat Jawa. Sudah barang tentu Jokowi adalah seorang berasal dari kelas masyarakat abangan yang menganut pandangan animism dan kelompok kelas pekerja jika dilihat dari perspektif Jawa.

Cerita yang digambarkan Clifford Geerz dalam bukunya berjudul "Religion of Java" dapat membantu melihat potret Jokowi. Ceritanya, seorang tukang kayu muda yang lebih sistematis menguraikan hal-hal (kepercayaan tentang makhluk malus) itu dari pada masyarakat Jawa pada umumnya mengisahkan kepada saya (Geerzt) bahwa ada 3 jenis mahluk halus yang utama: memedi yang secara harfiah berarti tukang menakut-nakuti, lelembut  atau makhluk halus dan tuyul. Memedi biasanya suka menakut-nakuti orang tetapi tidak menimbulkan kerusakan serius. Memedi laki-laki disebut genderuwo, dan perempuan disebut wewe. Wewe kawin dengan genderuwo. Tukang kayu itu bercerita kepada Geerz "bahwa suatu waktu ada anak mereka menghilang, akhirnya ditemukan di belakang rumah". Dia melanjutkan "Anak tersebut ketakutan karena melihat ada genderuwo menakut-nakutinya. Genderuwo itu hanya bisanya menakut-nakuti orang…"

Itulah cara pandang animisme masyarakat Jawa yang dianut khususnya kaum abangan dimana Jokowi juga (mungkin?)  tidak terlepas dari cara pandang animism ketika berada dalam dan dikategorikan sebagai kelas abangan.

Tentu saja cara pandang animisme bertolak belakang dengan kaum santri yang mengandalkan spiritualitas agama Islam dan santri NU secara tegas menolak penghayatan terhadap apa yang disebut dunia tahayul dan musyrik.

Pertanyaannya adalah mengapa Jokowi sedemikian bernafsu mendekati kaum santri khsuusnya NU struktural?  Jawabanya sederhana, dia sudah paham betul bahwa Islam NU ahlus sunnah wal jamaah sangat tidak menyukai paham radikal. Maka bisa diduga dengan rekayasa memunculkan istilah-istilah seperti "Islam Nusantara", "Islam Transnasional", bahkan survei "Kelompok Mesjid Berpapar Radikal" atau termasuk wawancara Said Aqil dengan menyatakan kelompok pendukung pasangan capres nomor 02 adalah kelompok radikal.

Itulah cara dan strategi intelijen khususnya sebagaimana terlihat dari pernyataan juru bicara BIN Wawan Purwanto tentang 41 masjid terpapar radikal. Framing radikalisme diciptakan untuk mempermudah seorang Jokowi yang berasal dari seorang abangan mencomot dan bahkan menumpang atribut NU (sesuai kamus KKBI, atribut bisa juga orang dan pikiran) termasuk tokoh NU Maruf Amin untuk sekedar kepentingan politiknya.

Dapat dibayangkan NU bisa diperdaya oleh Jokowi yang bukan siapa-siapa dalam NU, bisa mempengaruhi tiga pimpinan utama NU, Maruf Amin, KH, Miftachul Ahyar dan KH Said Aqil bergerak melakukan indoktrinasi ke seluruh jajaran struktural NU baik provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa sampai pondok pesanteran.

Bahkan mereka mengobarkan berita yang cenderung hoax seperti NU di jaman Jokowi naik kelas, padahal jaman Jokowi umat Islam dibikin bentrok dan berjuta-juta orang NU berbondong-bondong menyuarakan ketidakadilan di Monas.

Bayangkan tokoh utama NU struktural saja berkomentar kurang profesional seperti "Jokowi adalah orang pertama dalam sejarah Indonesia yang mengambil orang NU" sebagai wakil presiden sebagaimana disampaikan oleh Maruf Amin. Beliau lupa atau tahu tapi sengaja (berbohong?) kalau Ibu Mega pernah didampingi oleh Hamzah Haz, juga Hasyim Muzadi dalam pencalonan presiden.

Bisa jadi jika dilihat sepintas, NU berada dalam tumbal politik kekuasaan. Tiga alinea di atas sebagaimana yang dilukiskan oleh Drs. Choirul Anam.

Dalam kurung waktu 4,5 tahun Jokowi memimpin, salah satu kesalahan terbesar adalah berbagai legasi (warisan) Gus Dur tentang hak asasi manusia, demokrasi, kedigdayaan sipil serta independensi NU dirusak dan dibenamkan oleh Jokowi.

Pertama, Gus Dur penentang sistem binomial militer sebagai panglima pertahanan dan panglima politik pembangunan. Gus Dur menginginkan militer tidak boleh masuk wilayah sipil. Ketika Jokowi membuka pintu agar militer memasuki ruang sipil tentu saja melawan dan menentang komitmen Gus Dur. Saya menyaksikan Kementerian Transmigrasi mengembalikan 18 perwira militer yang telah menduduki jabatan sipil yang saat itu Wiranto sebagai panglima TNI. Itulah perintah Gus Dur kepada Menteri Transmigrasi Alhilal Hamdi.

Kedua, sistem rolling Panglima TNI secara bergilir untuk semua angkatan. Jokowi merusak tatanan ini ketika menunjuk Jenderal Gatot Nurmantjo dari Angkatan Darat padahal seharusnya giliran Angkatan Udara.

Ketiga, pengekangan kebebasan sipil (civil liberties) seperti sulitnya menyampaikan pendapat, pikiran dan perasaan. Berbagai penangkapan terhadap para ulama dan aktivis tentu saja menentang paradigma berfikir Gus Dur.

Keempat, media mainstream yang dikuasai oleh para kelompok kapitalis diintervensi untuk dijadikan sebagai alat pembungkaman, penyampaian informasi artikulator kepentingan penguasa, alat propaganda penguasa untuk melestarikan kekuasaan. Tentu saja bertentangan dengan jiwa dan spirit Gus Dur.

Kelima, yang terpenting untuk diketahui adalah Gus Dur sangat taat betul pada Kittah NU 1926. Dalam perjalanan politiknya termasuk ketika menjadi Presiden, saat Megawati menggoyang jabatannya, Gus Dur tidak pernah memanfaatkan warga NU termasuk Banser. Sangat kontras sekali dengan saat ini, meskipun Jokowi bukan orang NU, banyak orang menduga dia terlihat semacam memanfaatkan Banser dan NU struktural untuk kepentingan politiknya termasuk merusak ukuwah Islamiah (umat Islam lainnya), insaniah (kami orang Papua, saya, Rocky Gerung, dll) dan bahkan wathoniah, termasuk Ketua Umum Said Aqil secara organisatoris Ketua Rois Am dan Maruf Amin tidak boleh berpolitik dan bertentangan dengan Khittah NU 1926. Kecuali kalau mereka memutuskan masuk PKB.

Saya mesti sampaikan bahwa tidak ada tautan historis antara Jokowi dan NU. Namun demikian apakah warga NU akan mengikuti sepak terjang yang dimainkan sekelompok kecil yang dimotori KH. Said Aqil dan lain-lain untuk mempengaruhi perilaku politik NU?

Belum tentu! Karena fakta hari ini menunjukkan bahwa untuk merebut kekuasaan, uang dan jabatan mesti berada dalam pusaran partai politik. Khususnya perilaku politik kiai NU yang dilukiskan secara baik oleh para ahli seperti K. Bertens, Marthin Van Brusnen, dan Chumairoh. Lahirnya PKB yang dimotori oleh para kiai telah menegaskan bahwa independensi NU bersifat semu (pseudo), perintah tidak bersifat sabda, wahyu atau devine right. Maka warga NU harus masuk partai politik seperti PKB, jangan membawa organisasi NU yang menjadi induk semangnya.

Warga NU tetap akan memilih kedua capres tetapi lebih khusus Prabowo Subianto yang telah puluhan tahun dekat dengan ulama. Gus Dur pun pernah menitipkan untuk warga NU dengan menilai keikhlasan Prabowo untuk bangsa dan negara, apalagi calon yang diusung melalui hasil itjimah ulama. Tidak ada jaminan semua suara NU ke Jokowi oleh karena dia adalah seorang abangan yang mencomot atribut warga NU dan menentang legasi Gus Dur. Maka juga, dapat dimakhlumi seandainya mayoritas warga NU menghukum Jokowi dengan tidak memilihnya pada tanggal 17 April 2019.

Siapa Natalius Pigai dan seberapa jauh Pengetahuan tentang NU?

Natalius Pigai, Gusdurian asli, Staf Khusus Menakertrans 1999-2004 (Jaman Gus Dur), pernah dicalonkan PKB untuk DPR RI (saksi Kofifah Indar Prawangsa Ketua Bappilu). Pernah antar uang 1 miliar bantuan Gus Dur untuk KR Papua tahun 2000. Pernah pertemukan Gus Dur dan tokoh-tokoh utama Papua (Thom Beanal, Wili Mandowen, Agus Alua, Taha Alhamid, dll). Berasal dari Suku Meepago (Nabire, Paniai, Dogiyai, Timika, Deiyai), empat bupati daerah ini dari PKB. Tiga periode sudah mengutus 1 anggota DPR RI PKB dari basis massa daerah saya.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA