Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jokowi, Antara Presiden Dan Petahana

Minggu, 24 Februari 2019, 20:07 WIB
Jokowi, Antara Presiden Dan Petahana
KAMPANYE pemilihan Presiden kali ini dirasakan oleh rakyat Indonesia, sebagai  masa-masa kampanye yang panjang  (long term). Mulai 23 September 2018, sampai 13 April 2019. Mungkin terlama waktunya untuk level dunia di kalangan Negara-negara demokrasi.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa
 
Masa kampanye yang panjang tersebut, sudah menunjukkan gejala-gejala retaknya interaksi sosial, politik, agama, peradaban dan budaya dalam kehidupan sebagai bangsa.

Bayangkan, Bawaslu sebagai lembaga yang diamanatkan untuk melakukan pengawasan penyelenggaraan Pemilu, dan KPU sebagai penyelenggara Pemilu, seperti sudah kehilangan kewibawaan. Yang disebabkan karena dua hal: Pertama, sikap tidak tegas, sehingga menimbulkan pertengkaran di antara kontestan, dan kedua, kurang professional sebagai penyelenggara. Contoh di depan mata tidak profesionalnya KPU adalah dalam menyelenggarakan Debat Capres Paslon 01 dan 02. Kedodoran dan menerapkan pola trial and error. Mulai dari persiapan materi maupun proses penyelenggaraannya.
 
Terkesan para Paslon dijadikan kelinci percobaan. Untuk mengetahui jenis obat apa yang cocok. Ada 5 jenis obat  (clinical trial), diberikan kepada dua ekor kelinci. Jenis obat pertama kelincinya sedikit kejang-kejang, berarti belum cocok. Berikan obat seri kedua, semakin meningkatkan kejang-kejangnya di kelinci pertama, tetapi di kelinci kedua relative lebih stabil.  Saat ini sedang di persiapkan obat seri ketiga. Tidak bisa diramalkan apakah kedua kelincinya kejang-kejang,  atau keduanya tidur pulas, atau salah satunya semaput, dan yang  satu lagi melompat gembira teriak-teriak.  Semuanya serba  bisa terjadi. Itulah model trial and error.

Seharusnya, dalam perumpaan diatas, KPU nya harus punya kompetensi sebagai farmakolog. Yaitu mereka yang menguasai komposisi apa saja dalam obat yang diuji coba. Sudah ada pemeriksaan dan analisis laboratorium terhadap kadar efek terapi  yang diinginkan, dan berapa persen kadar yang menimbulkan efek samping. Sehingga secara teoritis sudah dapat diperhitungkan apa yang terjadi. Tinggal dipastikan apakah kadar yang disiapkan sudah sesuai dengan kebutuhan efek terapi yang di inginkan dan cocok untuk tubuh manusia.

Dalam dua seri Debat, KPU sudah melakukan trial and error yang kebablasan, dan hampir-hampir menimbulkan keributan karena ada pihak yang dirugikan. Dan KPU serta Bawaslu sepertinya tidak berdaya dan tidak mempunyai sikap yang tegas untuk mengatasinya.  Ada kesan kedua lembaga ini lebih mengikuti irama  musik yang dimainkan salah satu Tim Sukses Paslon.

Jika pola kerja Bawaslu dan KPU tidak mengalami perubahan dan perbaikan kedepan, saya tidak dapat membayangkan apakah Pilpres dan Pileg dapat berjalan sesuai harapan rakyat banyak.
 
Apakah Bawaslu dan KPU dapat mengendalikan dan mengatasi jika terjadi berbagai kecurangan dalam pemungutan suara, yang dibayangi dengan DPT yang diklaim ada yang masih msterius, kotak suara dari kardus ada yang sudah hancur kena banjir, dan  ada juga di makan rayap. Kita pahamlah situasi gudang di daerah itu tidak terpelihara dengan baik.

Pemerintah sepertinya memberikan kepercayaan penuh kepada Bawaslu dan KPU untuk menyelenggarakan Pilpres dan Pileg. Namun demikian pemerintah tidak bisa lepas tangan jika terjadi sesuatu  yang tidak diinginkan, dan ujung dari tanggung jawab itu sebenarnya ada di Pemerintah Pusat, yang di Pimpin oleh Presiden RI,sebagai kepala pemerintahan.

Presiden Sekaligus Petahana

Dalam era pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung yang melibatkan Petahana, pilpres kali ini adalah yang kedua.

Pertama adalah tahun 2009, sebagai Petahana adalah SBY. Tetapi saat itu persaingan tidak seketat sekarang. Tingkat elektabilitas SBY sangat dominan di semua lembaga survey. Hal tersebut juga dirasakan dalam suasana kampanye waktu itu. Nuansa biru menenggelamkan nuansa lainnya pada setiap arena kampanye. Tidak ada terasa  benturan  yang tajam antara pendukung. Begitupun, suara-suara yang menyatakan adanya kecurangan tetap muncul, walaupun tidak dapat dibuktikan secara factual.
 
Suasana berbeda dirasakan saat sekarang ini. Gesekan antar pendukung sudah pada tahap menggunakan kata-kata yang tidak pantas di dengar publik. Seperti istilah kebohongan, curang, sontoloyo, genderuwo,  kecebong, kampret, menjadi menu sehari-hari yang dilontarkan oleh para elie politik, bahkan penyelenggara Negara.

Hal tersebut terjadi, karena tingkat elektabilitas para Paslon bersaing ketat. Ada yang cenderung menurun walaupu perlahan, dan ada cenderung menaik walau perlahan juga. Yang menurun cenderung “stress” dan yang naik perlahan cenderung juga “stress”.  Demikian juga “stress” melanda partai politik pendukung utama salah satu paslon yang cenderung menurun, karena  diikuti dengan menurunnya elektabilitas  partai besar tersebut.

Akibatnya sudah dapat diduga. Berbagai strategi untuk upaya pemenangan dilakukan. Mulai dengan cara yang halus, sampai dengan yang kasar. Mulai dengan bujukan sampai dengan ancaman.
 
Contoh sederhana dapat kita lihat para pecundang politik, yang dulu memaki-maki Jokowi, sekarang mencium tangan Jokowi dan menjadi juru bicara yang seolah-olah seluruh darah daging dan nyawanya nya untuk Jokowi. Ada yang dulu menuduh Jokowi PKI,  sekarang minta maaf ke Jokowi bahwa tuduhan tersebut tidak benar. Dan Jokowi mamaafkan.
 
Ada seorang Ketua partai, yang hobby menyatakan Jokowi itu bodoh, tidak pantas jadi Presiden. Sekarang dengan alasan pertamanya menjadi pengacara Petahana, ujung-ujungnya gerbong partainya dibawanya mendukung Jokowi. Banyak para pengurus partai tersebut dan calon legislative di daerah menjadi stress, panic, jengkel, geram, kecewa, karena perobahan haluan yang mendadak dan keluar dari platform partai itu sendiri.
 
Dalam situasi Bawaslu dan KPU sepertinya “kurang berdaya” dan lebih mengikuti irama keinginan para Tim Sukses/Tim kampanye , dibarengi dengan posisi Presiden yang juga sebagai Petahana, dengan lawan tanding yang sama dengan 5 tahun yang lalu dan menang tipis, serta keterlibatan para penyelenggara Negara secara terselubung maupun terang-terangan tentu menambah semakin “tegang”nya suasana.

Kita tidak usah bicara peraturan dulu. Sebab peraturan itu buatan manusia gampang disesuaikan dengan keinginan yang punya kekuasaan  membuat peraturan. Kenapa itu bisa terjadi, karena lembaga control di luar pemeerintahan sudah mandul. Sudah terkoptasi, dan sudah seperti maaf kerbau di cucuk hidungnya.

Dalam diskusi kami  beberapa  aktivis para alumni Universitas Sumatera Utara yang berada di Jakarta,   sampai pada kesimpulan bahwa kampanye terpanjang dalam sejarah Republik Indonesia, di khawatirkan akan menimbulkan luka yang  dalam bagi mereka yang menjadi korban,  baik karena kriminalisasi, diskriminasi, intimidasi, yang kalau tidak dilakukan upaya-upaya rekonsiliasi  paska Pilpres, dapat menimbulkan instabilitas dalam kehidupan social dan politik sebagai bangsa.
 
Akibat lanjutannya, pemerintah baru yang terbentuk akan mengalami kesulitan dalam menyelenggarakan pemerintahan secara produktif, kondusif, dan aman.
Indikasi-indikasi keadaan tersebut sudah menunjukan  gejala klinis awal.

Ungkapan berupa frasa strategi perang total. Pernyatan Gubernur yang baru dilantik Presiden, dengan masih berpakaian atribut yang menunjukkan sebagai penyelenggaran Negara, membuat pernyataan mendukung Petahana untuk dua periode. Para Menteri yang mem-framing bahwa bantuan-bantuan yang diberikan kepada rakyat adalah karena kebijakan Jokowi  Seperinya Indonesia itu Negara kerajaan. Dimana raja mengeluarkan uangnya untuk rakyat.
 
Bagi sebagian rakyat tentu  tidak ambil pusing. Pada hal, yang diberikan itu adalah berasal dari rakyat yang diambil dari berbagai cara. Yang terbesar saat ini adalah dari pajak yang ditarik dari rakyat. Para Menteri (tentu tidak semua Menteri), sudah kehilangan syaraf kejujurannya.
 
Ikutannya, sudah pasti sesuai dengan pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.  Peribahasa yang tetap berlaku dan tidak lapuk di makan zaman.  Jangan heran, jika kita melihat banyaknya video-video yang beredar, menunjukkan kelakukan Bupati dan Walikota menggunakan kekuasaannya secara tidak jujur dan tidak fair.
 
Mulai dari bantuan social, sembako, paket-paket  pemberdayaan,  bantuan dana desa, yang dikondisikan hanya ada dan diberikan pemerintahan Jokowi. Apa yang sudah dilakukan Presiden sebelumnya seolah tidak ada. Banyak  Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengalami amnesia baik secara organic maupun fungsional.  Diikuti  pernyataan dukungan para camat  pada salah satu paslon di beberapa daerah . suatu pemandangan yang memilukan dan memalukan sebagai penelenggaran Negara yang harus netral dan mengayomi serta melindungi seluruh rakyatnya.

Bagi Jokowi situasi seperti ini, kalau tidak pandai mengelolanya akan ibarat seperti pisau bermata dua. Pengalaman sebagai penyelenggara Negara mulai dari Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan sudah 4 tahun lebih sebagai Presiden RI,  seharusnya sudah merupakan modal social yang cukup untuk berkompetensi dalam Pilpres kali ini sebagai Petahana.

Secara teoritis, dengan pengalaman yang panjang menyelenggarakan Negara dan pemerintahan, tentunya Jokowi adalah seorang negarawan. Walapun dalam situas berkompetisi saat sekarang ini, tidak boleh meninggalkan karakternya sebagai negarawan. Kenapa tidak boleh, karena syarat-syarat untk menjadi seorang Presiden itu merupakan syarat berkarakter negarawan.
 
Oleh karena itu,  seharusnya seorang Presden itu harus negarawan. Jika tidak negarawan, dia sudah kehilangan jati dirinya sebagai Presiden.  Tetapi seorang negarawan tidak harus jadi Presden. Sebab Presiden hanya satu, sedangkan negarawan tidak terbatas.
 
Dalam debat Capres, bagi Petahana  dan juga Presiden, berada pada dua sisi dari satu mata uang.  Oleh karena itu, seorang Petahana harusa hati-hati benar dalam menggunakan bahasa serta kalimat, dan bahasa tubuh yang ditampilkannya. Jika ada yang keliru atau ada fakta yang tidak benar yang disampaikan dalam debat, serta bahasa tubuh yang tidak simpatik atau tidak menunjukkan kearifan, itu sama artinya sebagai Presiden, Jokowi melakukan sesuatu yang mereduksi harkat dan martabat lembaga kepresisdenan dan sekalihgus Jokowi sebagai Presiden.

Disinilah beratnya sebagai Petahana. Bagi Paslon lawan debatnya, tidak perlu mengkonter kesalahan tersebut. Strateginya diserahkan kepada rakyat yang menonton memberikan penilaian. Sebab data informasi sudah terbuka. Efek tersebut terbukti. Esok harinya berbaga lembaga, media memberikan data dan informasi yang menggambarkan tentang berbagai kekeliruan yang disampaikan Petahana.

Kami para aktivis kelompok diskusi alumn USU di Jakarta, juga melihat situasi yang dihadapi Petahana Jokowi, tidak terlepan dari situasi  zaman Orde Baru dulu. Pameo asal bapak senang, rupanya belum  terkubur, bahkan semakin subur berkembang di sekitar Pak Presiden Jokowi. 

Fakta soal kebakaran hutan , jelas laporannya asbun dari Menteri terkait. Soal pembangunan jalan desa 191.000 km, juga bagaimana bentuk jalan dan kualitas jalannya. Apakah hanya melebarkan jalan tikus, masih bentuk tanah, apakah sudah pakai sirtu (pasir dan batu), apakah beraspal, ada jalan bercor. Lebarnya seberapa, apakah hanya untuk lewat motor saja atau kendaraan roda empat. Tentu Presiden harus diberikan informasi selengkap hal tersebut.

Informasi yang disampaikan kepada Presiden tentang lobang besar bekas galian tambang, dibuat kolan ikan, bagaimana ceritanya. Bagaimana prosesnya menetralisir   suasana asam atau suasana basa bekas galian, serta unsur-runsur logam yang berbahaya jika dimakan ikan, dan ikan dimakan mansia, sehingga tubuh manusia yang makan ikan  terjadi keracunan logam.

Perlunya impor beras untuk cadangan bencana alam dan cadangan beras nasional. Tentu perlu diikuti informasi berapa besar beras yang dibutuhkan  sebagai CBP (Cadangan Beras Pemerintah)  pada kejadian bencana tahun 2017, 2018. Berapa untuk stok nasional, berapa besarnya surplus beras, sehingga keputusan pemerintah harus mengimport.  Hal-hal seperti ini harus jelas, dan harus jelas juga lembaga resmi yang menurut UU punya otoritas mengeluarkan data pembangunan.
 
Secara teknis tidak ada kesulitahan sebagai Petahana untuk mendapatkan data tersebut. Tetapi akan menjadi persoalan besar, jika ya itu tadi, jika para Menteri terkait hanya asal bapak senang atau asal bunyi saja.
 
Sebenarnya Jokowi itu senang  melakukan cek dan recek atas berbagai laporan. Khususnya di pembangunan infrastrukturl dan jalan tol. Beliau rajin meresmikannya walaupun hanya untuk 10 atau 20 km jalan tol yang diresmikan.  Rajin kepasar-pasar, kenelayan. Tetapi mungkin Jokowi belum menyadari, bahwa persoalan bangsa ini sebagai bangsa yang besar  juga besar masalahnya.
 
Oleh karena itu, Negara memberikan kelengkapan instrument penyelenggaraan Negara, mulai dari para Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, maupun penegak peraturan dan hukum, dan juga alat keamanan, agar semua persoalan dapat dibagi habis sesuai dengan tupoksi masing-masing instrument.

Jadi seorang Presiden itu, yang diinginkan oleh bangsa ini, adalah wawasan. Kemampuan melihat masa depan, kemampuan melihat peluang, kemampuan melihat tantangan, kemampuan melihat bahaya-bahaya yang  mungkin terjadi, minimal untuk 5 tahun kedepan. Mengasah cara berfikir strategis sebagai negarawan mutlak diperlukan.

Kalau  seorang Presiden bermain  ditataran teknis, boleh-boleh saja. Tetapi harus benar-benar menguasai persoalan serta menjiwai persoalan tersebut. Seperti misalnya bagaimana Presiden Soeharto menguasai psersoalan pertanian, karena beliau anak petani dan memjiwai persoalan pertanian. Dan dampaknya kita swasembada  pangan tahjun 1980-an.
 
Jadi seorang Presiden dan Petahana, Jokowi sebaiknya bermain di wilayah wawasan, persepektif jangka menengah, dan jangka panjang. Jokowi harus mampu merekonstruksi pembangunan yang sudah dilakukan selama ini on the track, sesuai dengan amanat Konstitusi, sesuai dengan RPJP, RPJM, visi dan misi (Platform ) Presiden,  dan yakinkan rakyat, bangsa ini sedang menuju jalan yang lurus, jalan yang benar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
 
Ungkapkan saja apa yang sudah dikerjakan secara riel. Tidak perlu ditambah atau dikurangi. Apa adanya. Jika ada kekurangan dan kelamahan juga ungkapkan, dan jika diberikan kepercayaan selanjutnya akan diperbaiki semua kekurangan dan kelemahan, bersamaan dengan melanjutkan pembangunan yang sudah direncanakan.  Rakyat yang mendengarnya juga senang dan enak ditelinga.

Tidak perlu melakukan penyerangan, menohok, dan mengelak menjawab pertanyaan dengan membuka kelemahan lawan bicara. Sebab hal tersebut akan menggerus kewibaan sebagai Presiden, yang intinya adalah mengayomi seluruh warga Negara.

Kata kunci untuk seorang Presiden, tcermin dalam Sumpah sebagai Presisden yaitu intinya  berbakti untuk Nusa dan Bagnsa dengan seadil-adilnya,  sejujurnya , sebaik-baiknya sesuai dengan UU Dasar, UU, dan peraturan lainnya.

Semoga Jokowi, Bapak Presiden RI, yang juga Petahana, dalam debat putaran  mendatang ini,  tidak lupa posisi beliau sebagai politisi yang sudah menjadi  negarawan karena menjabat sebagai Presiden berhadapan dengan Paslon 02, yang merupakan politisi yang akan  mencoba menjadi negarawan melalui lembaga Kepresidenan.
 
Kita tidak ingin melihat situasi yang terbalik. Seorang Presiden sebagai Petahana dalam berdebat lebih menonjolkan gaya politisi, sedangkan paslon 02 Prabowo–Sandi, politisi yang menampilkan diri dalam forum debat tersebut sebagai negarawan. [***]

Dr. Chazali H.Situmorang, APT, M.Sc
Pemerhati Kebijakan Publik, Dosen FISIP UNAS

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA