Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Prabowo Sudah Menyerang

Kamis, 21 Februari 2019, 21:54 WIB
Prabowo Sudah Menyerang
Prabowo Subianto/Net
CUKUP unik melihat debat calon presiden 2019. Joko Widodo (Jokowi) sebagai petahana dan Prabowo Subianto sebagai penantang, justru menjadi kebalikan.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Lumrahnya, seorang penantang menyerang petahana. Rumusnya begitu. Petahana selalu diserang habis-habisan karena ada kondisi faktual dalam dirinya untuk diserang.

Berbeda dengan penantang, dia selalu bebas. Bebas menyerang, bertahan pun seperlunya. Penantang tidak terbebani. Sebab, dia tidak ada kesalahan. Tidak ada hal faktual dalam dirinya. Kesalahannya paling cuma urusan pribadi, bukan berkaitan kebijakan dan negara.

Seorang petahana menyerang penantang, pastinya butuh alat pengukur yang lengkap, butuh akurasi data, dan butuh ketepatan waktu. Sebagai orang nomor satu di Indonesia, Jokowi ibarat komputer, paket lengkap. Ada piranti lunak dan piranti keras.

Karena itu, Jokowi tahu cara menyerang lawan. Sebab semua akurasi data sudah ada. Meski belakangan banyak data yang keliru dan kemudian dipertanyakan. Sayangnya, ketepatan waktu dalam menyerang kadang tidak diperhitungkan.

Menyerang Prabowo dan menyebut dengan akurasi data, tentu sudah dipikirkan oleh Jokowi. Strategi penyerangan itu pastilah sudah dipersiapkan matang oleh Jokowi dan tim suksesnya. Ya, jika sewaktu-waktu ‘kepepet’ dalam debat, jurus ampuh adalah menyerang.

Padahal tidak semua serangan Jokowi mengena. Malahan, serangan itu berbalik. Seperti pepatah, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

Menuding Prabowo memiliki lahan seluas 340.000 hektare di Kalimantan dan Aceh Tengah, hal itu sudah keluar dari konteks debat. Dalam ‘serangan’ itu kita tidak melihat debat Capres adu visi misi dan gagasan. Yang ada hanya benturan pribadi ke pribadi.

Prabowo memang tidak membantah dan mengakui bahwa status tanah yang dikelolanya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Artinya tanah itu adalah milik negara. Dan sewaktu-waktu negara dapat mengambilnya.

Sebaliknya, Jokowi menyebut pembagian-pembagian”, sebenarnya hal itu sudah keliru. Hak Guna Usaha (HGU), entah Jokowi paham atau tidak soal ini, dalam Bagian IV UU No 5 Tahun 1960 Pasal 28 sampai 34 dijelaskan mengenai HGU. Pada bagian IV Hak guna-usaha Pasal 28 disebutkan, Ayat (1) Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

Ayat (2) Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.

Dan, Ayat (3) Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Sementara di Pasal 31 disebutkan, hak guna usaha terjadi karena penetapan Pemerintah. Soal ini, sudah dijawab sendiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri yang mengklarifikasi keabsahan kepemilikan Prabowo.

JK mengatakan, sebagai Wapres di era Susilo Bambang Yudhoyono, dialah yang memberi izin penjualan HGU atas lahan 220 ribu hektare di Kaltim itu kepada Prabowo dengan harga US$150 juta. Semua sesuai aturan. Mana yang salah?” kata Wapres.

Artinya, tanah yang diperoleh Prabowo bukan pembagian oleh pemerintah, seperti halnya masyarakat yang mendapat redistribusi aset dari pemerintah Jokowi. Tanah itu diperoleh Prabowo dengan cara membeli.

Belakangan Jokowi dan timnya mengatakan tidak mempermasalahkan tanah Prabowo. Namun dalam konteks debat kemarin, Jokowi sebetulnya berusaha mempermalukan sang penantang.

Bertahan Bukan Kalah

Sebenarnya sangat mudah menyerang petahana ketimbang menyerang penantang. Untuk menyerang penantang, dibutuhkan alat ukur yang tepat. Untuk menyerang petahana, tidak perlu berbelit-belit sampai menggunakan alat ukur. Pasalnya, semua data sudah tersedia. Jangankan menyerang kebijakan pemerintah, menyerang pribadi petahana sangat mudah. Ya itu tadi, ada banyak hal faktual dalam diri petahana.

Bagi Prabowo tidak menjadi soal menangkis serangan Jokowi. Itu kalau dia mau. Mengapa dia belum melakukannya, atau mungkin Prabowo menunggu detik-detik terakhir. Terlalu naif strategi ini diluncurkan di last minute. Sebab dalam debat Capres merupakan momentum yang pas untuk menarik suara massa cair atau swing voter. Kecuali, Prabowo sengaja tidak menyerang. Itu lain persoalan.

Atau, mengutip kata-kata pengamat politik dari Indostrategi Research and Consulting Arif Nurul Iman, ini bagian dari strategi Prabowo dimana sang penantang memposisikan diri sebagai petahana. Ya, Prabowo disebutnya ‘penantang rasa petahana’.

Melihat pertarungan Jokowi versus Prabowo mengingatkan pada pertandingan sepakbola final Liga Champions yang mempertemukan Barcelona dan Inter Milan pada tahun 2009 lalu. Saat itu Barcelona sangat perkasa. Segala lini dikuasai. Mungkin, wasit juga.

Namun Inter Milan tidak keder. Dengan tangan dingin sang manajer, Mourinho mengubah taktik serangan menjadi defensif. Tidak lagi mengikuti gaya bermain lawan, tidak lagi didikte, tetapi melihat peluang dan kesalahan-kesalahan yang diperbuat lawan. Terbukti, Inter Milan menjadi juara. Jadi jangan salah, taktik defensif juga merupakan taktik menyerang lawan.

Saat ini, tidak terhitung berapa banyak offside maupun pelanggaran dilakukan Jokowi dan tim-timnya. Tapi wasit terkesan tutup mata telinga.  

Dalam debat kedua kemarin, Jokowi menyebut Prabowo memiliki lahan 340.000 hektare di Kalimantan dan Aceh Tengah. Padahal di kubu 01, ada banyak politisi dan pengusaha yang menguasai lahan berstatus HGU.

Seperti Luhut memiliki 5 titik lahan HGU seluas 15.721,21 hektare, Harry Tanoesoedibjo diketahui memiliki lahan HGU seluas 62.208 hektare di 8 titik, Osman Sapta Odang memiliki 2 titik lahan HGU seluas 31.716 hektare, Surya Paloh juga memiliki 2 titik lahan HGU seluas 14.629 hektare.

Yang cukup luas adalah 1 titik HGU miliki Erick Thohir dan Garibaldi Thohir seluas 482.171 hektare, di Kalimantan Tengah. Sakti Wahyu Trenggono memiliki 2 titik lahan HGU seluas 11.556 hektare, sementara Saleh Husein memiliki 2 titik lahan HBU seluas 81.276 hektare.

Jokowi juga mengklaim pembangunan jalan di desa mencapai 191 ribu kilometer. Jika memang pemerintah Jokowi telah membangun 191 ribu kilometer, tentunya perekonomian pedesaan akan tumbuh dengan pesat.

Mengutip Muslich Zainal Asikin, Peneliti Senior Pustral Universitas Gadjah Mada (UGM), klaim Jokowi tidak benar. Sebab jalan desa sebelumnya sudah dibangun di era Soeharto.

Menurut Muslich, klaim Jokowi membangun jalan desa bisa diartikan membangun jalan baru. Membangun jalan baru artinya menambah panjang dan luas jalan yang sudah ada. Jadi kalau sebelumnya sudah ada jalan dibangun era Pak Harto, misal jalan di padukuhan, desa di antara deretan rumah pedesaan yang ada, maka itu bukan membangun tambahan jalan.

Jokowi juga mengklaim selama pemerintahannya tak ada lagi konflik pembebasan lahan akibat proyek infrastruktur. Namun, pembelaan Jokowi dibantah Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Data dari KPA menyebutkan konflik pembebasan lahan terjadi setiap tahunnya sejak Jokowi menjabat sebagai Presiden ke-7 RI. Pada 2014 terdapat 215 kasus, secara berturut-turut naik menjadi 450 kasus (2016), 659 kasus (2017), dan turun menjadi 410 kasus pada 2018.

Walhi punya data sendiri terkait konflik pembebasan lahan. Versi Walhi, terdapat sekitar 555 kasus pembebasan lahan seluas 627.430 hektare yang berdampak bagi 106.803 KK. Dari 555 kasus tersebut menyangkut sektor perkebunan, kehutanan, bangunan, infrastruktur, imigrasi, dan lainnya.

Ini masih seputar debat Capres mempertemukan Jokowi dan Prabowo. Tentu, masih banyak tindakan offside dilakukan menteri-menteri Jokowi yang sebetulnya telah men-downgrade bosnya. Kalau dihitung jumlahnya tidak terhitung. Dan sejauh ini, wasit selalu berpihak pada Tuan Rumah.

Prabowo memang tidak menyerang balik. Tapi, itu cara dia menunjukkan kondisi kepanikan di kubu lawan. Ya, tanpa diserang sekalipun, Jokowi sebetulnya telah mendegradasi dirinya sendiri.

Wajar banyak penonton kecewa dan mengelus dada, meski banyak juga yang bersorak. Namun jangan salahkan penonton jika kemudian memilih jalannya sendiri, bertindak dengan caranya sendiri, memprotes dengan gayanya sendiri, karena melihat permainan-permainan licik tadi.

Dan, cara protes mereka dilakukan di kotak suara pada 17 April mendatang. [***]

N. Aji

Penulis adalah wartawan. Artikel ini dikutip dari RMOLJatim

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA