Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi Kita: Festival Gagasan Versus Festival Hujatan

Kamis, 21 Februari 2019, 10:20 WIB
Demokrasi Kita: Festival Gagasan Versus Festival Hujatan
Foto: Net
ATMOSFER pesta demokrasi Indonesia tahun ini semakin memanas.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Menjelang pencoblosan tanggal 17 April 2019 suasana semakin riuh dengan beragam serangan kampanye dari para kontestan Pemilu.

Sebagaimana diprediksi sebelumnya, animo masyarakat tersedot pada dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang bertarung. Walaupun sesungguhnya Pemilu 2019 bukan sekedar memilih capres dan cawapres saja, tetapi juga memilih calon anggota DPRD, DPR dan DPD RI.

Sebetulnya, kalau melihat figur kedua pasangan capres ini adalah hal biasa. Mengingat keduanya adalah sosok sama yang pernah bertarung pada Pemilu 2014 lalu.

Jadi tak ada beda, yang menyedot perhatian justru karena perilaku politik yang ditampilkan oleh para pendukung kedua pasangan ini. Mulai dari elite partai, tim pemenangan, sampai dengan gesekan antara para pendukung di akar rumput (grassroot). Masyarakat biasa.

Kalau kita amati, momentum demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan signifikan pasca reformasi 1998. Kran kebebasan berdemokrasi yang awalnya tersendat, mulai lancar bahkan cenderung kebablasan. Apalagi, hari ini kita diramaikan dengan kehadiran media komunikasi politik baru semacam internet.

Kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi ini memberikan dampak luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Baik dalam konteks perubahan perilaku individual maupun sosial. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi pengguna aktif internet.

Berdasarkan data Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 tercatat hampir 143,26  juta dari total penduduk Indonesia yang menjadi internet active users.

Hal ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 132 juta pengguna. Berdasarkan survei tersebut ditemukan bahwa hampir 65,98 persen masyarakat Indonesia mengakses internet setiap harinya.

Jenis layanan yang diaksespun bervariasi, mulai dari aplikasi chatting (89,35%), media sosial (87,13%), mesin pencari (74,84%), lihat gambar/foto (72,79%), lihat video (69,64%) dan sisanya aktifitas lainnya (lihat hasil survei APJII tahun 2017 pada laman www.apjii.or.id)

Sejak tahun 2014, konstalasi perpolitikan nasional begitu dinamis ketika media internet banyak dijadikan sebagai media kampanye baru.

Sifatnya yang serba mudah, terakses, serba cepat dan daya jangkaunya yang luas menjadikan internet populer di kalangan para kontestan demokrasi.

Fenomena ini terjadi bukan hanya di Indonesia, melainkan juga hampir di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia sendiri, hampir di setiap momentum demokrasi mulai dari Pilpres 2014, Pilkada serentak 2017-2018, Pileg 2014 dan 2019, sampai dengan Pilpres 2019, helatan demokrasi ini tampil dengan begitu meriah, membahagiakan, hiruk pikuk keramaian sekaligus mengkhawatirkan.

Disebut menggembirakan dan ramai, sebab masyarakat umum memiliki akses terbuka dengan beragam informasi dan cara kampanye para kandidat. Termasuk dalam menyampaikan gagasan kenegaraannya.

Dalam hal ini, saluran komunikasi antara kandidat dan pemilih bukan sebatas media mainstream seperti media cetak dan elektronik atau debat terbuka yang difasilitasi penyelenggara (KPU), tetapi juga memanfaatkan media internet dengan pola variasi kampanye yang lebih kreatif.

Disebut hiruk pikuk dan mengkhawatirkan, sebab tidak jarang para kandidat menyampaikan konten-konten kampanye dengan mengambil isu-isu yang cukup sensitif dan kontroversial. Sebut saja misalnya isu SARA, intoleransi, penguasaan lahan oleh asing, HAM, radikalisme dan terorisme.

Tak jarang pula, konten-konten kampanye ini dikemas dengan gaya propaganda yang bersifat bohong (hoax) dan berisi ujaran kebencian (hate speech). Apalagi hampir 80 persen media internet menjadi saluran utama dalam penyebaran berita hoax dan hate speech.

Pemilu yang Membahagiakan

Secara konstitusional, UU 7/2017 mangatur bahwa PEMILU di Indonesia menggunakan asas LUBERJURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). Di mana, dalam penyelenggaraan Pemilu harus menggunakan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien.

Regulasi negara Indonesia mengatur dengan seksama bahwasanya pemilu menjadi momentum bagi masyarakat Indonesia untuk mencari pemimpin yang amanah, negarawan dan memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan.

Sejatinya, pemilu adalah ajang bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi secara aktif dalam mewujudkan pembangunan bangsa dan negara. Hal ini sesuai  dengan amanah pancasila dan UUD 1945.

Pemilu adalah ruang interaksi, media pembelajaran demokrasi dan sekolah literasi politik bagi seluruh warga Indonesia.

Pemilu adalah ajang menampilkan gagasan dari seluruh komponen bangsa, sebab dalam pemilu yang bertarung bukan saja para kandidat yang hendak mencapai tampuk kuasa. Tetapi juga menjadi ruang aspirasi dan partisipasi bagi warga negara (citizen) untuk menitipkan gagasan kepada seluruh kontestan yang bersaing.

Oleh sebab itu, pada titik ini pemilu seharusnya menjadi ruang yang mampu membahagiakan bagi seluruh elemen bangsa.

Hajat lima tahunan ini seharusnya dimanfaatkan dengan bijak sebagai medium untuk merekatkan persatuan dan kesatuan, menularkan energi kebaikan, menyimpulkan tali-tali perbedaan yang diikat dengan kepentingan bersama, menguatkan fondasi agama dan negara, serta membentuk pribadi yang adil dan bijaksana.

Pemilu adalah festival gagasan yang harus membahagiakan setiap orang yang terlibat di dalamnya. Itulah cita-cita para pejuang dan pewaris negeri ini.

Pemilu yang Mengkhawatirkan

Hari ini kita dihadap-hadapkan, dikotak-kotakan, saling menyekat diri, saling mencurigai bahkan tak jarang saling menghujat dan memaki. Lantas lupa pada literasi politik, pada festival gagasan yang harusnya jadi patokan, pada kebijaksanaan ilmu dan akhlak yang harusnya dikedepankan.

Dekat dengan A kita dianggap pendukung dan anti yang lain. Dekat dengan B kita dianggap tak tahu diri. Seolah nilai-nilai keikhlasan dalam diri menjadi hilang, melebur karena keberpihakan politik kita.

Pemilu menampilkan hujatan-hujatan yang dapat membahayakan keutuhan bangsa. Hujatan yang diiringi dengan tendensi kebencian dan rasa dendam.

Kian mengkhawatirkan tatkala hujatan itu berseliweran di beragam media massa, dalam bentuk narasi, gambar, foto bahkan video yang dibuat sedemikian rupa. Apalagi pada saat menerima hujatan tersebut, kita dalam keadaan tidak waras, hilang akal sehat, menenggelamkan daya kritis dan memamahbiakan kebencian.

Beda pilihan seolah menarik garis demarkasi antara aku dan kamu. Maka sungguh, pemilu ini bisa berpotensi menjadi petaka.

Sesungguhnya, ada nilai lain yang harus terus diperjuangkan di tengah kegaduhan politik ini. Bahwa dakwah struktural dan kultural harus terus seimbang. 
Di penjuru Indonesia yang jauh dari akses kekuasaan, mereka sangat membutuhkan kita untuk turun tangan, udunan kebaikan, membantu mengembangkan, berbagi bersinergi. Sebab mereka hanya melulu dijadikan objek, Demokrasi Kita: Festival Gagasan Versus Festival Hujatan



ATMOSFER pesta demokrasi Indonesia tahun ini semakin memanas.

Menjelang pencoblosan tanggal 17 April 2019 suasana semakin riuh dengan beragam serangan kampanye dari para kontestan Pemilu.

Sebagaimana diprediksi sebelumnya, animo masyarakat tersedot pada dua pasang calon presiden dan wakil presiden yang bertarung. Walaupun sesungguhnya Pemilu 2019 bukan sekedar memilih capres dan cawapres saja, tetapi juga memilih calon anggota DPRD, DPR RI dan DPD RI.

Sebetulnya, kalau melihat figur kedua pasangan capres ini adalah hal biasa. Mengingat keduanya adalah sosok sama yang pernah bertarung pada pemilu 2014 lalu.

Jadi tak ada beda, yang menyedot perhatian justru karena perilaku politik yang ditampilkan oleh para pendukung kedua pasangan ini. Mulai dari elite partai, tim pemenangan, sampai dengan gesekan antara para pendukung di akar rumput (grassroot). Masyarakat biasa.

Kalau kita amati, momentum demokrasi di Indonesia mengalami perkembangan signifikan pasca reformasi 1998. Kran kebebasan berdemokrasi yang awalnya tersendat, mulai lancar bahkan cenderung kebablasan.
Apalagi, hari ini kita diramaikan dengan kehadiran media komunikasi politik baru semacam internet.

Kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi ini memberikan dampak luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Baik dalam konteks perubahan perilaku individual maupun sosial. Hampir sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi pengguna aktif internet.

Berdasarkan data Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2017 tercatat hampir 143,26  juta dari total penduduk Indonesia yang menjadi internet active users.

Hal ini mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya yang mencapai angka 132 juta pengguna. Berdasarkan survei tersebut ditemukan bahwa hampir 65,98 persen masyarakat Indonesia mengakses internet setiap harinya.

Jenis layanan yang diaksespun bervariasi, mulai dari aplikasi chatting (89,35%), media sosial (87,13%), mesin pencari (74,84%), lihat gambar/foto (72,79%), lihat video (69,64%) dan sisanya aktifitas lainnya (lihat hasil survei APJII tahun 2017 pada laman www.apjii.or.id)

Sejak tahun 2014, konstalasi perpolitikan nasional begitu dinamis ketika media internet banyak dijadikan sebagai media kampanye baru.

Sifatnya yang serba mudah, terakses, serba cepat dan daya jangkaunya yang luas menjadikan internet populer di kalangan para kontestan demokrasi.

Fenomena ini terjadi bukan hanya di Indonesia, melainkan juga hampir di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia sendiri, hampir di setiap momentum demokrasi mulai dari Pilpres 2014, Pilkada serentak 2017-2018, Pileg 2014 dan 2019, sampai dengan Pilpres 2019, helatan demokrasi ini tampil dengan begitu meriah, membahagiakan, hiruk pikuk keramaian sekaligus mengkhawatirkan.

Disebut menggembirakan dan ramai, sebab masyarakat umum memiliki akses terbuka dengan beragam informasi dan cara kampanye para kandidat. Termasuk dalam menyampaikan gagasan kenegaraannya.

Dalam hal ini, saluran komunikasi antara kandidat dan pemilih bukan sebatas media mainstream seperti media cetak dan elektronik atau debat terbuka yang difasilitasi penyelenggara (KPU), tetapi juga memanfaatkan media internet dengan pola variasi kampanye yang lebih kreatif.

Disebut hiruk pikuk dan mengkhawatirkan, sebab tidak jarang para kandidat menyampaikan konten-konten kampanye dengan mengambil isu-isu yang cukup sensitif dan kontroversial. Sebut saja misalnya isu SARA, intoleransi, penguasaan lahan oleh asing, HAM, radikalisme dan terorisme.

Tak jarang pula, konten-konten kampanye ini dikemas dengan gaya propaganda yang bersifat bohong (hoax) dan berisi ujaran kebencian (hate speech). Apalagi hampir 80 persen media internet menjadi saluran utama dalam penyebaran berita hoax dan hate speech.

Pemilu yang Membahagiakan

Secara konstitusional, UU 7/2017 mangatur bahwa PEMILU di Indonesia menggunakan asas LUBERJURDIL (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil). Di mana, dalam penyelenggaraan Pemilu harus menggunakan prinsip mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efisien.

Regulasi negara Indonesia mengatur dengan seksama bahwasanya pemilu menjadi momentum bagi masyarakat Indonesia untuk mencari pemimpin yang amanah, negarawan dan memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan.

Sejatinya, pemilu adalah ajang bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi secara aktif dalam mewujudkan pembangunan bangsa dan negara. Hal ini sesuai  dengan amanah pancasila dan UUD 1945.

Pemilu adalah ruang interaksi, media pembelajaran demokrasi dan sekolah literasi politik bagi seluruh warga Indonesia.

Pemilu adalah ajang menampilkan gagasan dari seluruh komponen bangsa, sebab dalam pemilu yang bertarung bukan saja para kandidat yang hendak mencapai tampuk kuasa. Tetapi juga menjadi ruang aspirasi dan partisipasi bagi warga negara (citizen) untuk menitipkan gagasan kepada seluruh kontestan yang bersaing.

Oleh sebab itu, pada titik ini pemilu seharusnya menjadi ruang yang mampu membahagiakan bagi seluruh elemen bangsa.

Hajat lima tahunan ini seharusnya dimanfaatkan dengan bijak sebagai medium untuk merekatkan persatuan dan kesatuan, menularkan energi kebaikan, menyimpulkan tali-tali perbedaan yang diikat dengan kepentingan bersama, menguatkan fondasi agama dan negara, serta membentuk pribadi yang adil dan bijaksana.

Pemilu adalah festival gagasan yang harus membahagiakan setiap orang yang terlibat di dalamnya. Itulah cita-cita para pejuang dan pewaris negeri ini.

Pemilu yang Mengkhawatirkan

Hari ini kita dihadap-hadapkan, dikotak-kotakan, saling menyekat diri, saling mencurigai bahkan tak jarang saling menghujat dan memaki. Lantas lupa pada literasi politik, pada festival gagasan yang harusnya jadi patokan, pada kebijaksanaan ilmu dan akhlak yang harusnya dikedepankan.

Dekat dengan A kita dianggap pendukung dan anti yang lain. Dekat dengan B kita dianggap tak tahu diri. Seolah nilai-nilai keikhlasan dalam diri menjadi hilang, melebur karena keberpihakan politik kita.

Pemilu menampilkan hujatan-hujatan yang dapat membahayakan keutuhan bangsa. Hujatan yang diiringi dengan tendensi kebencian dan rasa dendam.

Kian mengkhawatirkan tatkala hujatan itu berseliweran di beragam media massa, dalam bentuk narasi, gambar, foto bahkan video yang dibuat sedemikian rupa. Apalagi pada saat menerima hujatan tersebut, kita dalam keadaan tidak waras, hilang akal sehat, menenggelamkan daya kritis dan memamahbiakan kebencian.

Beda pilihan seolah menarik garis demarkasi antara aku dan kamu. Maka sungguh, pemilu ini bisa berpotensi menjadi petaka.

Sesungguhnya, ada nilai lain yang harus terus diperjuangkan di tengah kegaduhan politik ini. Bahwa dakwah struktural dan kultural harus terus seimbang. 
Di penjuru Indonesia yang jauh dari akses kekuasaan, mereka sangat membutuhkan kita untuk turun tangan, udunan kebaikan, membantu mengembangkan, berbagi bersinergi. Sebab mereka hanya melulu dijadikan objek, menjadi korban bahkan hanya dijadikan alat untuk mencapai kuasa kemudian dilupakan.

Nomor 01 atau 02 itu hanya momentum. Sifatnya sementara. Sebab Allah sudah janjikan dalam firman-Nya, “akan dipergulirkan kekuasaan di antara manusia. Ada yang dihinakan ada yang ditinggikan derajatnya. Ada yang diangkat adapula yang diturunkan”(qs.03:26).

Selagi masa itu ada dan berpihak, kenapa tidak kita manfaatkan. Peluang kebaikan harus terus dihidupkan. Bukan untuk aku, tapi untuk kita, untuk Indonesia.

Jangan hanya karena beda pilihan lantas membuat kita tercerai berai. Hari ini, demokrasi kita bukanlah Festival Gagasan melainkan Festival Hujatan. [***]


Ridwan Rustandi
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung; Pegiat Dakwah Komunitas





Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA