Debat juga menjadi alat untuk mengukur sebuah elektabilitas sebuah paslon.
Debat kedua capres sudah kita saksikan bersama, setiap debat memiliki evaluasi nya masing-masing dari setiap paslon. Walaupun dalam perdebatan siapapun tidak bisa mengatakan siapa yang menang atau yang kalah karena hal itu adalah hal subjektif.
Dalam perdebatan kemarin memang pasangan capres 01 lebih sering mangatakan sebuah argumen data dan hasil kebijakan yang telah dilakukan, seharusnya sebagai seorang petahana dengan mudah untuk mengikuti debat ini, karena ia bisa mengatakan argument yang sifatnya laporan apa saja yang telah dijalankan di masa berkuasanya.
Berebeda dengan kubu penantang yang masih dalam tahap argument yang ber andai-andai dan memberi harapan saja.
Debat tidak mutlak dengan berbicara dengan data ataupun hasil kebijakan akan membuat elektabilitas meningkat. Mari kita melihat kebelakang dimana debat dalam Pilkada DKI Jakarta yang dimana Ahok sebagai petahana sangat lihai dalam berargument dengan memberikan data yang sangat jelas, berbeda dengan kubu lawan nya yaitu Anies dimana ia lebih ke pendekatan retorika emosional.
Dan kenyataannya setiap debat telah usai elektabilitas Anies-lah yang terus meningkat waktu demi waktu. Begitu juga dalam Pilpres di Amerika 2016 di mana Donald Trump memenangkan Pilpres tersebut dengan menarik saura dari pemilih irasional.
Ini menandakan bahwa ada yang lebih penting dari sebuah argumen data di dalam debat yaitu pendekatan emosional.
Faktor emosional/pendekatan psikologi sosial ini sangat bermain penting dalam setiap debat atau pun argument karena indonesia memiliki karakter dengan sifat ketimuran seperti iba (rasa belas kasihan).
Watak inilah yang menjadi dominan di mana permainan retorika emosinal lebih penting di saat ini dalam debatnya.dan data hanyalah sebagai pemanis.
Tingkat kualitas pendidikan Indonesia saat ini yang masih rendah juga menjadi efek dimana pemilih irasional ini cukup tinggi.
Masyarakat tidak mementingkan sebuah data karena mereka mungkin tidak mengerti apa yang dimaksudkan, melainkan dengan kata-kata retorika yang mendekatkan dengan sentuhan emosional itulah yang lebih mudah di ingat oleh masyarakat.
[***]
Muhammad Farras FadhilsyahMahasiswa Universtas Al-Azhar Indonesia
Pengamat Politik Milenials
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.