Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jakarta Paska 212

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/hilmy-almascaty-5'>HILMY ALMASCATY</a>
OLEH: HILMY ALMASCATY
  • Sabtu, 15 Desember 2018, 16:16 WIB
Jakarta Paska 212
PERHATIAN dunia kembali  tertuju ke Jakarta, ibukota Negara Muslim terbesar di dunia paska perhimpunan super aman damai reuni 212 pada 2 Desember 2018 lalu. Sebelumnya ketika berlangsung Konfrensi Asia Afrika tahun 1955 pemikir Muslim dari Algeria, Malek Ben Nabi pernah berkata: “Paska perang dunia ke dua, (peradaban) Islam bukan lagi akan berpusat di Mekkah, Cairo ataupun Baghdad, namun akan berpindah ke Jakarta”.

Pernyataan ini diulang kembali pada tahun 1992 oleh peneliti tersohor Amerika, Alvin Toffler di depan Konfrensi Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM) yang menyatakan dengan tegas “pusat (peradaban) Islam akan berpindah dari tradisi lokalnya (Timur Tengah) menuju kawasan ini (Indonesia-Malaysia).”

Demikian pula halnya cendekiawan Indo-Pakistan di Amerika, Fazlurrahman jauh sebelumnya (tahun1970-an) bersama cendekiawan muslim terkemuka Alam Melayu, SMN. Al-Attas menyebutkan kawasan ini (Asia Tenggara) akan menjadi bintang baru peradaban Islam atau “al-Mustaqbal li hadza al-Dien” sebagaimana disebutkan Fundamentalis terkemu Mesir, Sayyid Qutb. (lihat: Almascaty HB, Ummah Melayu Kuasa Baru Dunia Abad 21, Kuala Lumpur: Berita Publ., 1994)

Kini sejarah mulai membuktikan harapan para visioner di atas mulai menjadi kenyataan. Terutama setelah munculnya kehancuran dahsyat paska “Arab Spring” yang mengobarkan dunia Muslim Timur Tengah. Pusat peradaban Islam awal yang pernah menjadi mercu suar dunia itu tercabik-cabik porak poranda.

Pertikaian dan provokasi telah mengantarkannya menuju perang saudara, dan mengakibatkan kehancuran Iraq, Libia, Suriah, Afghanistan, Yaman serta mengancam resesi dahsyat Turki, Saudi Arabia maupun negara Teluk lainnya. Teror, perang, kelaparan, keterbelakangan, kediktaroran adalah gambaran dunia Timur Tengah masa kini yang disuguhkan para pembenci Islam untuk memadamkan cahaya Islam. Akhirnya umat Muslimin yang berjumlah lebih satu milyar seperti kehilangan harapan di tengah isu kebangkitan Islam abad 14 Hijriah yang terus dikobarkan para pendakwah.

Harapan Malek Ben Nabi 63 tahun lalu, yang juga merupakan cita-cita agung umat Islam sedunia akan kebangkitan Islam itu mulai berkecambah kembali pasca Reuni Akbar ke 2 gerakan 212 yang berlangsung pada tanggal 2 Desember 2018 lalu. Diperkirakan dikuti lebih 10 juta jama’ah. Monumen Nasional (Monas) yang menjadi simbol spiritual Jakarta, menjadi saksi kehadiran para hamba Allah seperti di Padang Arafah. Lautan zikir dan doa penuh pengharapan di bawah bendera Tauhid “Laa Ilaha Illallah Muhammad Rasulullah”.

Peristiwa bersejarah ini akan menjadi petanda awal kebangkitan Jakarta sebagai pusat peradaban Islam masa depan. Momentum ini juga disempurnakan oleh hadirnya salah seorang Alumni 212-2016 yang kini telah menjadi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, salah diantara cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia.

Tausyiah utama Imam Besar al-Habib M. Rizieq Syihab dari Mekkah al-Mukarramah yang menggelora menambah spirit peserta Reuni Akbar 212 yang akan senantiasa menjadi suluh pelita abadi bangsa Indonesia. Paska reuni 212-2018 lalu telah memproklamirkan Jakarta sebagai pusat Islam masa depan.

Direktur Sabang Maureuke Institute, Dr. Syahganda Nainggolan di Hotel Gren Alia Cikini pada 14 Desember lalu dalam sebuah seminar tentang Jakarta menceritakan hasil diskusinya dengan Sang Gubernur Jakarta. Menurut Dr. Syahganda, pada dasarnya Anies Baswedan tetap komit dengan janji yang telah diikrarkannya dalam kampanye untuk membangun Jakarta yang lebih bernuansa spiritualis sebagai antitesa model pembangunan Ahok yang condong materilis bahkan amoral.

“Anies bahkan bercita-cita akan membangun pusat spiritual untuk tempat zikir dan berdoa di lahan pulau reklamasi yang akan dibangun para Taipan Cina setelah dia membatalkan perizinannya” ungkap Syahganda bersemangat.

Demikian pula menurut pengamatan Dr. Shechan Shahab mantan Bankir terkemuka yang lahir, dibesarkan dan berbakti sepanjang lebih 50-an tahun di Jakarta. Ia menilai di bawah kepemimpinan Anies Baswedan Jakarta mulai memberikan harapan sebagai pusat spiritual Dunia Islam masa depan.

Banyak harapan umat, khususnya alumni 212 kepada Anies Baswedan yang mereka perjuangkan dengan semangat menggelora. Para jama’ah muslimin yang tidak sudi dipimpin “si penista agama” Ahok. Mereja berkeringat, darah, harta bahkan nyawa serta kebebasannya sejak 411-2016, 212-2016, 313-2017 ataupun gerakan Tamasya al-Maidah bergerak menjelang pilkada.

Perjuangan para alumni 212 yang membara, walau dikecam banyak pihak sebagai politik identitas tidak menyurutkan sedikitpun tekad mereka untuk memenangkan gubernur Muslim pilihan mereka.

Reuni Akbar 212-2018 pada hakikatnya mendorong semangat 212 membawa kebangkitan yang lebih besar lagi menjadikan kemenangan bagi pemimpin baru Indonesia, sekaligus menjadi genta pengingat kepada kepemimpinan Anies Baswedan sebagai penerima amanah kepemimpinan umat. “Anies Baswedan tidak boleh terperangkap menjadi komparador para cukong” kata Sri Bintang Pamungkas.
 
Masa Depan 212

Sampai saat ini masih banyak para ahli yang kesulitan mengidentifikasi dengan tepat tentang masa depan gerakan 212, gerakan demonstrasi super damai terbesar sepanjang sejarah kaum muslimin kontemporer di Indonesia. Walaupun telah dilaksanakan dengan aman, damai, tertib dan mendapat pujian dari banyak pihak, namun masih ada yang memandang gerakan 212 sebagai bentuk politik praktis yang menyimpang dari sikap damai dan toleransi.
 
Bahkan ada yang menuduh gerakan sosial 212 ini sebagai bentuk politik identitas yang membahayakan persatuan NKRI, sebagaimana dinyatakan Abdil Mughis Mudhoffir, Luqman-nul Hakim, serta Diatyka Widya Permata Yasih dalam esai berjudul “Identity Politics: Mobilising Religious Sentiment in Democratic Indonesia” (2018).

Penelitian ini menggambarkan bahwa pemilihan umum gubernur Jakarta pada 2017 sebagai bentuk nyata praktik politik identitas dalam arena politik di Indonesia kontemporer. Menyimpulkan bahwa gerakan 212 yang akhirnya mampu menentukan hasil pemilu,  menunjukkan bahwa elit politik lihai memainkan politik identitas dengan melihat kondisi ekonomi dan perubahan kelas menengah dalam memandang Islam.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, juga menyatakan bahwa 212 merupakan gerakan yang terinsipirasi oleh kelihaian Donald Trump dalam memainkan politik identitas.

“Beberapa orang dari gerakan 212 mengatakan jika Donald Trump dapat memenangkan politik di AS karena politik identitas, mengapa kami tidak bisa?” kata Azyumardi dalam diskusi publik bertajuk “Islam, Democracy, and Indonesian Identity” di Erasmus Huis, Jakarta.

Azyumardi juga menyebutkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia saat ini tengah memandang negara-negara di Timur Tengah, seperti Arab Saudi, sebagai model penerapan Islam dengan sempurna karena banyak orang Indonesia mengalami apa yang disebutnya sebagai inferiority complex.

Demikian pula pendapat Ketua Setara Institute, Hendardi bahwa “reuni 212 ini sudah mulai ditinggalkan”. Masyarakat saat ini mulai sadar untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama demi tujuan politik semata sebutnya keterangan tertulis, Jumat (30/11/2018). "Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi," sambungnya. 

"Dua tahun hampir berlalu, gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik. Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk," tutur Hendardi.

"Jadi, kecuali untuk kepentingan elite 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," sambung Hendardi. (https://news.detik.com/berita/d-4324743/setara-institute-gerakan-212-sudah-kehilangan-dukungan)

Hakikatnya, gerakan baru penyadaran ummat yang salah satunya dimotori Habib Rizieq bernama GNPF-MUI baru lahir kurang lebih tiga bulan sebelum aksi 212, tetapi gerakan massa ini telah mampu melakukan gerakan luar biasa yang sebelumnya jauh dari prediksi.

Aksi sebelumnya, aksi 411 ataupun aksi 212 telah berhasil mengakomodir dan mengumpulkan massa aksi yang sangat besar, bahkan aksi damai 212 dikenal sebagai aksi tebesar dalam sejarah pergerakan di Indonesia, juga dalam sejarah umat manusia kabarnya.

Demikian pula uniknya. Secara idiologi, GNPF-MUI adalah gabungan berbagai mazhab pemikiran Islam yang subur berkembang di Indonesia, baik modernisme-nasionalisme, fundamentalisme, konservatisme dan lain-lain.

Gerakan gabungan ini dikatakan oleh Prof. Laode M Kamaluddin sebagai sebuah “gerakan wajah baru Islam” di tanah Air. Walaupun kedua ormas terbesar Nahdatul Ulama  dan Muhammadiyah tidak bergabung dalam GNPF-MUI, tetapi para anggotanya yang ikut berpatisipasi.

“Anak-anak muda organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang akan melanjutkan tongkak kepemimpinan di masa yang akan datang juga telibat dalam gerakan ini karena ada kejenuhan tehadap rumah mereka” kata Prof. Laode.

Kalangan intelektual muda ada yang menyebutnya sebagai sebuah model baru Social Movement sebagaimana ditulis Ubedilah Badrun dalam Gerakan 212 Model Baru Social Movement. (http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/12/05/ohoua1336-gerakan-212-model-baru-social-movement)

Menanggapi gempitanya ABI 212-2016 lalu, salah seorang cendekiawan tradisional NU terkemuka AS. Hikam memberikan komentar dengan memposting dalam akun fbnya berjudul: Pasca Aksi 212: Habib Rizieq Sebagai Pemimpin Islam Politik Indonesia? Pasca-212, suka atau tidak suka, HRS adalah pemimpin yang tak dapat diragukan lagi (undisputed leader) dari kekuatan Islam politik Indonesia, dan PJ adalah salah satu pihak yg ikut mengukuhkan posisi tsb!

Akhirnya banyak pengamat yang menyimpulkan bahwa sebuah fenomena politik baru pasca-reformasi di Indonesia sedang bergulir. Yakni muncul dan berkembangnya kekuatan Islam politik dalam panggung demokrasi, bukan melalui pintu politik elektoral (electoral politics), tetapi melalui pintu politik massa (mass politics).

Apakah PJ menyadari sepenuhnya bahwa kini kepemimpinan HRS dan Islam politik kian mantap kehadiran dan pengaruhnya dalam panggung perpolitikan negeri ini? (https://www.eramuslim.com/berita/nasional/pasca-aksi-212-habib-rizieq-de-facto-pimpinan-gerakan-islam-di-indonesia.htm#.WR-Na1ElHIU)

Lebih jauh cendekiawan aktivis yang juga Direktur Sabang Merauke Circle, Dr. Syahganda Nainggolan, menegaskan pasca gerakan 212, telah lahir sebuah gerakan sosial yang dinamakannya sebagai Rizieqisme.

Gerakan ini merujuk kepada Habib Rizieq Sihab (HRS) yang ikut memuluskan koalisi oposisi dalam menentukan calon Presiden/Wapresnya untuk pilpres 2019, serta membuat kontrak politik keummatan. Termasuk pengaruh dalam menggerakkan massa grass root sebagai massa militan untuk mendukung perubahan sosial, menggerakkan ekonomi UMKM 212 dan juga terkait pilpres tanpa money politik.

Gelombang perubahan sosial yang ditandai dengan 212 dan agen perubahan HRS bersinggungan dengan ideologi bangsa, Pancasila. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengalami ujian besar sejak sila-silanya mengalami kegagalan dalam praxis. Pancasila sebagai ideologi terbuka, jika gagal melahirkan sebuah peradaban, maka mau tidak mau akan terbuka pada pemahaman Rizieqisme.

Dahulu, Soekarno dengan Marhaenisme nya menjadi dominan dalam mem "drive" Pancasila. Soeharto, pada masanya menggeser Pancasila dalam versi Kapitalistik. Ke depan, Rizieqisme mungkin akan menjadi harapan rakyat miskin untuk mengendalikan versi baru Pancasila yang memihak pada ummat dan orang2 jelata. (https://chirpstory.com/li/411587)

Selanjutnya kita perlu berfikir bagaimana agar gerakan 212 dijadikan sebagai momentum perubahan mendasar bangsa Indonesia dalam memujudkan cita-citanya sebagai bangsa yang besar, bermartabat serta maju dan makmur. Figur sentral 212 adalah Habib M. Rizieq Syihab yang bercita-cita sejak tahun 1998 (berdirinya FPI) sampai dengan gerakan 212 tahun 2018 adalah konsisten untuk membangun sebuah NKRI yang berdasarkan kepada syariat Islam. Sebagaimana disebutkannya berulang-ulang dalam beberapa ceramah dan tulisannya.

Sementara penerapan syariat Islam dalam bingkai NKRI sedang berlangsung dengan dukungan kuat masyarakat sebagaimana pelaksanaannya di Provinsi Aceh. Apalagi 39 persen masyarakat Indonesia menilai hukum Syariah harus diterapkan di seluruh Indonesia pada tingkat lokal. (Lihat survei nasional yang dilakukan oleh Indonesia Studies Programme di ISEAS "Yusof Ishak Institute (ISEAS) pada 2017).

Dalam bingkai kebangkitan peradaban Islam yang disebutkan Malek Ben Nabi sampai Alvin Toffler dan cita-cita penerapan syariat inilah kemudian ada yang mengidamkan duet Habib Rizieq-Anies Baswedan dapat membangun sinergi dalam sebuah Kota Jakarta Masa Depan yang menjadi spirit kebangkitan Islam. Renaisan ini sekaligus merujuk kepada sejarah kemenangan Maulana Fadhilah Khan al-Pase (Wong Ageng Pase) atau Fatahillah dalam merebut Batavia dari penjajah Portugis tahun 1527 M.

Langkah renaisan ini telah dimulai kecil-kecilan seperti mendengarkan suara azan di lingkungan Taman Impian Jaya Ancol, membenahi aparatur moralis sampai rencana akan membangun pusat spiritual zikir dan doa di pulau reklamasi. Tugas Habib Rizieq membangkitkan jiwa Jakarta dan Anies Baswedan membangun fisiknya dengan semangat 212 yang ramah, damai, aman, toleran di bawah keangunan spiritualitas syariat Islam.[***]

Penulis Aktivis Al-Irsyad, Eksekutif FM-MBI dan Alumni 212

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA