Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Soeharto Presiden Terkorup Sepanjang Masa

Rabu, 05 Desember 2018, 17:56 WIB
Soeharto Presiden Terkorup Sepanjang Masa
Ahmad Basarah-Imanuel Karo-Karo
KISRUH gelar guru korupsi yang disematkan kepada mantan Presiden Soeharto seolah membuka kembali memori lama kita tentang masa kelam Orde Baru. Pernyataan kontroversial Ketua Umum DPP PA GMNI, Ahmad Basarah ini berhasil mengundang respon loyalis Soeharto sehingga bermunculan ke permukaan.

Laporan terhadap Basarah datang silih berganti tak ubahnya tindakan reaktif seolah amnesia bahwa tidak ada pernyataan yang aneh dari ungkapan 'Soeharto Guru Korupsi' di Indonesia. Proses peradilan sebagai wujud pertanggungjawaban Soeharto akan tindakan korupnya memang tidak pernah terjadi hanya dengan dalil mantan presiden kedua ini sedang sakit. Barangkali itulah alasannya masih ada saja yang mengagung-agungkan pemimpin otoriter yang secara tegas telah meminta maaf atas kesalahannya saat pengunduran dirinya pada Kamis, 21 Mei 1998.

Pengunduran diri ini tidak lepas dari gerakan masif mahasiswa yang kian muak dengan sistem pemerintahan Orde Baru yang korup dan kerap menggunakan tindakan represif untuk mematikan gerakan para pengkritiknya. Kilas balik sejarah salah satu tuntutan mahasiswa sebagai agenda reformasi adalah menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Tuntutan ini dilatarbelakangi oleh dugaan praktik korupsi yang mendarah daging, terstruktur, masif dan sistematis di setiap lini penyelenggaraan pemerintahan. Bahkan di dunia internasional, pemerintahan Orde Baru dikenal paling korup sepanjang sejarah Indonesia. Sebut saja PBB dan Bank Dunia pernah melansir berkas dengan tajuk Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Berkas sebanyak 48 halaman ini menyatakan Soeharto menempati urutan pertama dari sepuluh pemimpin politik paling korup di dunia dengan nilai korupsi US$ 13-55 miliar.

Pembangunan yang menjadi kebanggaan masa Orde Baru tidak akan terjadi tanpa mengandalkan hutang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan USAID. Sayangnya sumber pembiayaan dari hutang luar negeri ini justru dijadikan bahan bancakan oleh pemerintah Orde Baru. Muttaqin (2008) menjelaskan pada masa Orde Baru kreditor melakukan praktik mark up proyek-proyek yang dibiayai hutang luar negeri mencapai 30% dari nilai proyek sebenarnya. Setelah praktik mark up dilakukan, barulah pinjaman ini dikorupsi.

Selain itu, menurut Jeffrey A. Winters selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, dari total pinjaman US$ 30 miliar, sebanyak 10 miliar pinjaman Bank Dunia tersebut telah dikorupsi. Ketua Tim Ahli Korupsi ADB Soewardi menambahkan terdapat sekitar 30-50% HLN pemerintah yang dikorupsi pada masa Orde Baru.

Modus operandi lain yang sudah terbaca sejauh ini menunjukkan adanya aliran uang negara kepada yayasan-yayasan yang diketuai oleh Soeharto. Bahkan pada tahun 1995, mantan presiden kedua ini mengeluarkan Kepres No. 90 Tahun 1995 yang menghimbau para pengusaha menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri.

Tentu saja praktik korupsi masa Orde Baru yang masif seperti ini tidak dilakukan sediri oleh Soeharto melainkan melibatkan berbagai pihak. Seharusnya hal ini dapat dibuktikan secara hukum di pengadilan hingga semua pihak yang terlibat menerima hukuman yang setimpal. Proses peradilan akan menguak lebih banyak lagi modus operandi korupsi di masa Orde Baru. Tidak berlebihan banyak kalangan mengharapkan mantan presiden Indonesia kedua ini dapat diadili secara in absentia sehingga kita dapat menuai pembelajaran di masa yang akan datang.

Menafikan praktik korupsi Orde Baru sama saja kita sedang menolak berbagai bukti yang telah terkuak selama ini. Barangkali kita masih ingat dengan tuntutan gerakan mahasiswa 1998 yakni mengadili Soeharto dan kroni-kroninya, di samping menuntut penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari KKN.

Bahkan di awal era Reformasi salah satu Ketetapan MPR yang segera dikeluarkan adalah TAP MPR No. 11 Tahun 1998 agar pemberantasan KKN dilakukan dengan tegas tanpa memandang siapapun orangnya termasuk mantan Presiden Soeharto.

Ini adalah respon akan keresahan bersama sehingga praktik KKN yang merajalela di masa Orde Baru tidak terulang kembali. Pada masanya, korupsi Orde Baru merajalela karena adanya upaya penciptaan stabilitas politik yang dilakukan secara represif. Pengawasan dan kritik terhadap pemerintah dikebiri. Dengan dalih mengganggu ketertiban, orang atau sekelompok orang dapat ditangkap, masuk penjara atau hilang tak tahu entah kemana.

Keran kebebasan pers ditutup rapat-rapat. Pemberitaan negatif tentang pemerintahan tidak diperkenankan naik cetak. Pembredelan terhadap pers terjadi kapan saja ketika berusaha berseberangan dengan pemerintah.

Media dikontrol sedemikian rupa dengan mengeluarkan Surat Ijin untuk Penerbitan Pers (SIUPP). Ada tiga media yang sempat mengalami pembredelan pada masa Orde Baru karena memberitakan kasus dugaan mark up pembelian kapal perang asal Jerman yaitu majalah Tempo, tabloid DeTik dan majalah Editor.

Pola pemerintah yang seolah berupaya meredam pengawasan dan kritik dari masyarakat juga tersirat dari kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan tahun 1978 ini sukses membatasi aktivitas politik para mahasiswa. Kritik mahasiswa sengaja dibuat tumpul. Alhasil apa yang Jhon Dalberg Acton pernah katakan bahwa "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" benar-benar harus terjadi.

Korupsi, tindakan represif dan pembatasan kebebesan berpendapat di masa Orde Baru tidak sepantasnya kita lupakan lantas kita mengagung-agungkan Soeharto karena jasanya dalam membangun Indonesia. Bahkan demi pembelajaran dan kebaikan masa depan bangsa ini, peradilan in absentia menjadi urgen dilakukan agar semua menjadi terang benderang.[***]

Imanuel Karo-Karo
Ketua DPP GMNI Bidang Organisasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA