Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Merukiyah Partai Politik

Rabu, 05 Desember 2018, 10:38 WIB
Merukiyah Partai Politik
Jannus TH Siahaan/Dok
PERAN partai sebagai lembaga kawah candradimuka lahirnya pemimpin-pemimpin bangsa sangatlah krusial sifatnya. Oleh karena itu, penting pula membersihkan partai dari orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk memperkaya diri.

Bila partai bersih dari praktik korupsi, pemimpin yang muncul nantinya akan menjadi pemimpin yang menggunakan uang negara sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.

Sudah semestinya kita  mendukung sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menempatkan partai politik sebagai perhatian utama pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) 2018 di Jakarta pada 4 Desember 2018, yang mengusung tema “Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik di Indonesia”.

Alasan KPK mengangkat tema tersebut karena maraknya praktik korupsi yang dilakukan oleh para aktor politik.

Dari 891 koruptor yang telah dijerat KPK, sebanyak 545 orang atau 61,17 persen berasal dari unsur politik. Bila jumlah tersebut dirinci, maka sebanyak 69 orang adalah anggota DPR, 149 orang anggota DPRD, dan 104 kepala daerah. Selain itu, juga terdapat 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut, yang ternyata juga terkait dengan politik.

KPK pun menyesalkan banyaknya aktor politik yang terjerat korupsi. Korupsi di sektor politik  merupakan salah satu faktor yang membuat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun ini stagnan, yakni 37, sama dengan tahun sebelumnya.

Turunnya indeks Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Indonesia hingga 3 poin menjadi penyebab stagnasi penilaiaan tersebut. Sementara, faktor penyebab indeks PERC turun adalah pelayanan publik pada birokrasi Indonesia, yang banyak diisi politisi.

KPK mencatat, sedikitnya ada empat persoalan utama yang menyebabkan integritas parpol sangat kurang. Empat persoalan itu adalah tidak ada standar etika politik, sistem perekrutan yang tidak berstandar, sistem kaderisasi berjenjang dan belum terlembaga, serta kecilnya pendanaan partai politik dari pemerintah.

Kita tentunya sepakat dengan pernyataan KPK tersebut. Kita juga mendukung KPK yang akan fokus ikut membenahi partai politik sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga itu. Peran KPK dalam pembenahan parpol diharapkan mampu mereduksi maraknya praktik korupsi di kalangan politisi.

Dan yang juga tak kalah penting disepakati adalah bahwa dana parpol dari pemerintah perlu ditambah. Tahun lalu, dana bantuan partai sebesar Rp 108 per suara sah. Secara total, negara menggelontorkan dana sebesar Rp 13,5 miliar bagi partai. Tahun ini, dana bantuan itu naik hampir 10 kali lipat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, saat ini dana bantuan parpol di tingkat pusat sebesar Rp 1.000 per suara sah. Artinya, negara menggelontorkan dana sebesar Rp 111 miliar kepada parpol.

Selain di tingkat pusat, di tingkat provinsi dan kabupaten/kota partai juga mendapatkan dana bantuan dari pemerintah daerah. Berdasarkan PP tersebut, dana bantuan bagi partai di tingkat provinsi sebesar Rp 1.200 dan di tingkat kabupaten/kota sebesar Rp 1.500.

Berdasarkan PP tersebut, dana bantuan parpol itu dapat dinaikkan sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan daerah. Terkait pemanfaatannya, PP 1/2018 menyebutkan, bantuan keuangan kepada parpol diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai dan masyarakat. Selain itu, bantuan keuangan dari pemerintah juga digunakan untuk operasional sekretariat partai politik.

Berdasarkan simulasi yang dibuat KPK dan LIPI pada Agustus 2017, 10 parpol yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2014 hanya mendapat dana bantuan Rp 13,2 miliar setahun. Jumlah tersebut sangat jauh dari kebutuhan dewan pimpinan pusat (DPP) untuk membiayai operasional parpol dalam setahun. Kebutuhan menjadi berlipat apabila ditambah biaya operasional kepengurusan parpol di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

KPK dan LIPI memperkirakan kebutuhan DPP 10 parpol tersebut sekitar Rp 2,6 triliun. Bahkan, ada yang mengusulkan besaran pendanaan parpol 1 persen dari belanja APBN. Dengan besaran belanja APBN Rp 2.000 triliun, alokasi anggaran bantuan parpol mencapai Rp 20 triliun.

Jumlah tersebut boleh jadi sangat minim, apabila dibandingkan dengan uang negara yang bocor atau dikorupsi, serta kongkalikong pembuatan peraturan perundangan untuk menguntungkan segelintir orang.

Saat ini, pemerintah baru mampu memberi bantuan sekitar Rp 122 miliar per tahun bagi 10 parpol yang memiliki wakil di DPR. Kita mendukung negara membiayai parpol minimal 1 persen belanja APBN asal diikuti sejumlah prasyarat dan sanksi tegas.

Dengan demikian, maka partai pun wajib mengikuti aturan main yang akan diterapkan. Pertama, partai wajib memberikan laporan pertanggungjawaban terhadap penggunaan dana tersebut, mengingat dana yang digunakan adalah uang rakyat.

Sesuai aturan, partai wajib memberikan laporan pertanggungjawaban terhadap dana bantuan dari APBN dan APBD itu secara berkala satu tahun sekali.

Partai yang tidak memberikan laporan hingga batas waktu yang telah ditetapkan akan dikenakan sanksi administrasi berupa tidak diberikan bantuan keuangan pada tahun anggaran berkenaan sampai laporan pertanggungjawaban diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Kedua, partai wajib membuat kode etik internal parpol dan memberdayakan lembaga pengawas internal atau ombudsman. Kader yang menyimpang harus diberi sanksi dan bisa ditindaklanjuti ke ranah hukum.

Ketiga, parpol tak boleh lagi meminta mahar politik dari bakal calon anggota legislatif dan kepala daerah. Politik tanpa mahar diharapkan memunculkan calon-calon pemimpin yang kapabel dan berintegritas, tetapi minim modal. Ke depan, kita berharap model perekrutan politik tanpa mahar menjadi sebuah kebutuhan untuk melahirkan pemimpin yang merakyat.

Keempat, parpol juga tak boleh lagi meminta sumbangan atau dana partisipasi dari kadernya yang duduk di lembaga legislatif. Kelima, dana bantuan dari negara juga digunakan untuk membiayai kampanye saat Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pilpres.

Keenam, perekrutan kader secara profesional serta pelatihan kader untuk mencetak calon politikus dan kepala daerah yang berintegritas.

Ketujuh, parpol yang melakukan penyelewengan hendaknya dikenai sanksi, mulai dari pengurangan dana bantuan secara signifikan, tidak mengikuti pemilu pada jenjang tertentu, hingga pembekuan parpol.

Ke depan, kita berharap parpol betul-betul menjadi candradimuka bagi calon pemimpin daerah dan bangsa. Semua itu bisa terwujud apabila negara membiayai kebutuhan parpol dalam upaya mewujudkan parpol berintegritas. Publik hendaknya mendukung adanya dana bantuan partai. Bahkan, besarnya bantuan dana itu perlu dinaikkan lagi. Dengan bantuan dana yang besar, partai juga bisa membiayai kampanye calon kepala daerah dan calon anggota legislatif (caleg) yang mereka usung, tanpa ada mahar politik.

Selama ini, besar dugaan bahwa dana mahar politik dari calon kepala daerah atau bakal caleg berasal dari dana pribadi atau dari orang-orang yang memberikan sponsor. Jika terpilih, calon kepala daerah atau caleg harus mengembalikan uang dengan cara menerima suap, memberikan proyek, atau memberi izin lahan dan tambang kepada orang-orang yang pernah menyokong mereka.

Dengan adanya dana bantuan dari pemerintah yang besar, partai tidak perlu meminta mahar politik kepada calon kepala daerah atau caleg yang ingin maju pada pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum (pemilu). Partai akan lebih leluasa memilih calon pemimpin eksekutif dan legislatif yang benar-benar memiliki kompetensi, kapabilitas, dan integritas tanpa meminta uang mahar.[***]


Jannus TH Siahaan
Penulis adalah Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA