Mirisnya, Pemerintah Kabupaten Samosir, Sumatra Utara, juga ikut mendukung ketiganya agar segera hengkang dari sekoÂlah. Bupati Samosir Rapidin Simbolon menyebutkan, ketiga bocah itu ditolak bersekolah lantaran para orang tua siswa lainnya khawatir anak-anak mereka tertular virus HIV.
Bupati bahkan mengusulkan membuat pengajaran terpisah bagi para bocah tersebut. Yakni homeschooling atau belajar di rumah. "Kita harus melindungi semuanya. Kita menjamin hak anak-anak yang tertular HIV. Kita juga menjamin hak anak-anak yang sehat. Kalau semua orang tua murid ini menarik anak-anaknya dari sekolah, tinggal anak-anak itu, apakah ini jalan yang terbaik?" kilahnya.
Namun Sekretaris Eksekutif Komite AIDS HKBP Diak Berlina Sibagariang bersikukuh agar ketiga bocah itu tidak mendapatkan perlakuan diskrimÂinatif. Bahkan diupayakan tetap mendapat pendidikan di sekolah publik dan tidak terusir dari Samosir. "Kita ingin adik-adik kita itu memperoleh haknya. Mereka anak-anak yang punya hak sekolah dan mendapatkan pendidikan," katanya.
Kasus tersebut baru menemui titik terang setelah Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) turun tangan. Menteri PPA, Yohana Yambise menyatakan, pengusiran anak yang terjangkit HIV bertentangan dengan UU Perlindungan Anak. Pihaknya dan Kementerian Kesehatan sampai menurunkan tim unÂtuk menyelesaikan kekeliruan tersebut.
Kisah 3 bocah tersebut hanya satu dari banyak perlakuan diskriminatif terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Beberapa orang yang berani mengaku positif HIV malah dipecat dari pekerjaannya. Bahkan ada pengusaha yang secara gambÂlang menyatakan akan memecat karyawannya yang positif HIV.
Koordinator Kebijakan dan Riset LBH Masyarakat, Ajeng Larasati mengatakan, di kalanÂgan pemerintah sendiri masih ada salah paham soal penanganan masalah HIV/AIDS. Bahkan ada pandangan bahwa permasalahan penanganan penyakit HIV/AIDS adalah tanggung jawab sejumlah kementerian.
"Pemahaman pemerintah di Indonesia masih sangat terkotak-kotak, bahwa HIV adalah tugas Kementerian Kesehatan saja. Itu salah kaprah, persoalan HIV adalah persoalan lintas sektor," katanya di Jakarta, kemarin.
Lantaran lintas sektoral, menÂjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan unÂtuk memastikan ODHA mendaÂpatkan pendidikan yang layak. LBH Masyarakat menyarankan agar dibuat sebuah peraturan untuk mencegah diskriminasi terhadap para pengidap HIV/AIDS.
Misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan perlu memastikan mereka yang mengidap HIV dapat bekerja tanpa diskrimiÂnasi. Di sisi lain, koordinasi antar kementerian juga perlu semakin ditingkatkan. "Yang perlu dilakukan seandainya perangkat kebijakanya sudah ada adalah penegakan. Kalau memang ada yang melanggar sesuai dengan kewenangan kementerian masing-masing," sebut Ajeng.
Sementara itu, pakar hemaÂtologi Zubairi Djoerban menilai stigma masyarakat Indonesia terhadap ODHA muncul karena belum memahami cara penuÂlaran penyakit tersebut.
"Penularan HIV hanya terÂjadi dengan tiga cara, yaitu hubungan seksual, pertukaran atau kontaminasi darah seperti dalam penggunaan jarum suntik bersamaan, dan secara vertikal yang diturunkan dari ibu kepada anak," jelasnya. Di luar dari itu, seperti anggapan masyarakat bahwa virus HIV bisa menular lewat bersentuhan, bersin, atau penggunaan barang yang sama adalah tidak benar.
Zubairi menambahkan, data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 hanya 1 persen masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang HIV keseluruhan seÂcara umum, cara penularan dan pencegahannya, serta cara pemeriksaannya. Sekitar 31,8 persen mengetahui sebagian, 65,2 persen hanya mendapatkan informasi yang tidak lengkap tentang HIV, 2 persen tidak memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.